Description of Online Magazine
Judul | Rakornas Perpusnas 2014 : Budaya Baca Budaya Kreatif |
Majalah | Warta |
Edisi | Vol. 19 No. 1 - Januari 2014 |
Abstrak | Dalam sambutannya saat membuka Rakornas Perpusnas Tahun 2014 yang dilaksanakan tanggal 12-14 Maret 2014, Wagub DIY mengatakan bahwa budaya membaca adalah budaya kreatif, namun pada kenyataannya membaca belum menjadi kegemaran atau budaya bagi masyarakat begitu juga dengan perpustakaan sebagai muara pertemuan dari segala bidang disiplin keilmuan dan pengetahuan masih belum optimal pemanfaatannya. Kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi sanggup mengubah paradigma masyarakat dari tradisi oral (lisan) menuju tradisi audio visual secara cepat namun tradisi membaca yang semestinya berperan sebelum beralih menuju tradisi audio visual terlewatkan dan mengakibatkan budaya membaca yang belum menjadi kokoh kemudian goyah. Minat baca merupakan kondisi yang variatif sesuai dengan lokalitas serta sangat bergantung dengan sejauh mana masyarakat menganggap urgensi sebuah informasi. Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2007 menunjukkan bahwa merupakan kewajiban provinsi (Pemprov), kabupaten (Pemkab), maupun kota (Pemkot) untuk menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan. Perpusnas memasukkan fokus peningkatan pengembangan perpustakaan dan budaya gemar membaca ke dalam prioritas rencana kerja pemerintah (RKP) di tahun 2014 selain peningkatan kualitas layanan jasa perpustakaan dan informasi. Revitalisasi perpustakaan merupakan salah satu jalan pembaharuan fungsi-fungsi perpustakaan sebagai sumber pengetahuan dan menyasar pada 4 (empat) prioritas yaitu pengembangan e-library; perpustakaan keliling; penguatan perpustakaan umum kabupaten/kota dan pengembangan perpustakaan desa/kelurahan. Perpusnas mengharapkan melalui berbagai kegiatan tersebut, masyarakat sadar dan mulai berutinitas membaca dalam kesehariannya. |
Keyword | Perpustakaan; Rakornas; Minat baca; Perpusnas; Taman Baca Masyarakat |
Pengarang | Hartoyo Darmawan |
Subjek | Minat Baca |
Sumber | |
Artikel Lengkap |
Sleman, DIY—Menarik mendengar pernyataan Wakil Gubernur Daerah Istimewa (DIY) Sri Paduka Paku Alam X saat membuka kegiatan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Perpusnas Tahun 2014, 12-14 Maret. Saat itu, lewat sambutan membuka Rakornas, Wagub DIY mengatakan bahwa budaya membaca adalah budaya kreatif.
Namun, kondisi umum yang terjadi di berbagai belahan Tanah Air tidak seratus persen mutlak. Membaca belum menjadi kegemaran atau budaya bagi masyarakat. Perpustakaan pun yang digadang-gadang sebagai muara pertemuan dari segala bidang disiplin keilmuan dan pengetahuan masih belum optimal pemanfaatannya.
Tidak memungkiri jika kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) sanggup mengubah paradigma masyarakat dari tradisi oral (lisan) menuju tradisi audio visual secara cepat. Saking cepatnya, tradisi membaca yang mestinya berperan sebelum beralih menuju tradisi audio visual malah dilompati. Akibatnya, budaya membaca yang belum menjadi ajeg (kokoh) kemudian goyah sehingga dalam sekejap masyarakat mulai perlahan menikmati beragam kecanggihan dan kecepatan dari teknologi seperti televisi, radio streaming, internet, gadget, hand phone dan lain sebagainya. Hingga sekarang!. Coba perhatikan di setiap sudut tempat dan waktu, tanpa batasan usia telah mampu merelakan penglihatannya di depan kecanggilan teknologi tersebut berlama-lama.
Padahal Universitas Indonesia (UI) seperti dikutip dari Republika, (17/3) telah menyebutkan, gaya hidup yang banyak berkutat dengan perangkat TI bisa memicu serangan vaskuler pada tubuh (stroke). Jari-jari yang sangat aktif bermain HP atau gadget berpotensi mengalami penyumbatan dan pecahnya pembuluh darah karena kurangnya aktivitas produktif. Ini diperkuat dengan riset dari Universitas Exeter (AS) yang menemukan efek mengejutkan pada otak para pengguna gadget yang timbul karena reaksi dari logam yang sangat aktif pada sebagian besar barang elektronik, yaitu tungsten. Peningkatan tungsten dalam tubuh bisa menyebabkan resiko stroke.
Lalu, bagaimana jika aktivitas audio visual ditukar dengan membaca. Mungkin tidak sampai setengah jam, mata mereka sudah berasa lelah, ngantuk, dan akhirnya buku yang dibacanya ditutup. Kenyataan ini yang banyak dialami manusia, termasuk mungkin pribadi kita sendiri. Patut direnungkan. Budaya baca belum beranjak jauh dari tempatnya. Kebiasaan membaca masih kalah dominan dibanding kebiasaan menonton. Inilah pekerjaan rumah besar bagi tiap daerah untuk kembali menyadarkan masyarakat betapa pentingnya membaca bagi tiap sendi kehidupan.
Minat baca merupakan kondisi yang variatif sesuai dengan lokalitas. Variasi dan kebutuhan akan informasilah yang menentukan keberhasilan suatu bacaan. Minat baca masyarakat sangat tergantung sejauh mana masyarakat menganggap urgensi sebuah informasi. Artinya, persepsi individulah yang menentukan kualitas minat baca. Jika suatu informasi dianggap tidak penting, maka masyarakat tidak akan berminat membaca. Pun sebaliknya.
Jika dicermati Undang-undang No. 43 tentang Perpustakaan tahun 2007, menunjukkan kewajiban provinsi (Pemprov), kabupaten (Pemkab), maupun kota (Pemkot) untuk menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan.
Organisasi PBB, UNESCO, pada tahun 2012 mencatat, indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya ada satu yang mempunyai minat baca. Sementara UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen, sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen.
Kepala Perpusnas Sri Sularsih dalam suatu kesempatan Rakornas di Yogyakarta mengatakan program peningkatan minat baca saat ini berfokus pada (a) program dan sosialisasi minat baca, (b) membangun komunitas membaca di masyarakat dan partisipasi indsutri penerbitan dalam menciptakan komunitas baca, dan (c) menyusun kerangka kerja kebijakan wajib baca bekerja sama dengan lembaga pemerintah, sekolah dan perguruan tinggi.
Kepala Perpusnas menyadari esensi dari membaca akan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat sepanjang masa. Sehingga program minat baca terus dikuatkan. Perpusnas memasukkan fokus peningkatan pengembangan perpustakaan dan budaya gemar membaca ke dalam prioritas rencana kerja pemerintah (RKP) di tahun 2014, selain peningkatan kualitas layanan jasa perpustakaan dan informasi. Dan terus berlanjut menjadi prioritas pembangunan perpustakaan di tahun 2015, antara lain stimulan pengembangan perputakaan, peningkatan keberagaman dan intensitas promosi perpustakaan dan pembudayaan kegemaran membaca. “Melakukan promosi perpustakaan dan gemar membaca untuk mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat sudah bagian dari tanggung jawab bersama. Tidak hanya Perpusnas,†imbuh Sri Sularsih.
Revitalisasi Perpustakaan
Karena menjadi tanggung jawab bersama, yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana mensinkronisasikan program pusat dan daerah agar upaya peningkatan pemanfaatan perpustakaan dan pembudayaan gemar membaca bisa sejalan. Pasal 39 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan pemerintah dan pemda mengalokasikan anggaran perpustakaan dalam APBN dan APBD. Jangan lupakan, perpustakaan merupakan pusat sumber informasi, Iptek, kesenian, dan kebudayaan dalam sistem pendidikan nasional.
Urusan pemerintahan di bidang perpustakaan memang telah menjadi urusan bersama. Keberadaan UU tentang Perpustakaan yang mengatur hal itu juga telah diselaraskan dengan PP No. 38 Tahun 2007 (pasal 7) tentang pembagian urusan pemerintah antara pemerintah, pemprov, dan pemkab/pemkot yang menyatakan bahwa perpustakaan adalah urusan bersama berkaitan dengan pelayanan dasar. Selain itu pemerintah secara serentak juga wajib menggalakkan promosi gemar membaca dan/dengan memanfaatkan perpustakaan.
Sejumlah strategi kebijakan nasional siap diusung Perpusnas. Pertama, melakukan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai sarana belajar sepanjang hayat. Kedua, meningkatkan ketersediaan layanan perpustakaan secara merata, termasuk jumlah perpustakaan serta kemudahan akses. Ketiga, meningkatkan kualitas dan keberagaman koleksi perpustakaan. Keempat, meningkatkan promosi gemar membaca dan pemanfaatan perpustakaan. Kelima, meningkatkan kompetensi dan profesionalitas tenaga perpustakaan. Dan keenam, melakukan Revitalisasi perpustakaan.
Revitalisasi perpustakaan merupakan salah satu jalan pembaharuan fungsi-fungsi perustakaan sebagai sumber pengetahuan. Revitalisasi perpustakaan menyasar pada 4 (empat) prioritas, antara lain pengembangan e-library, perpustakaan keliling, penguatan perpustakaan umum kabupaten/kota, pengembangan perpustakaan desa/kelurahan.
Revitalisasi perpustakaan masuk ke dalam prioritas ke-11 dari program Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2014, yaitu kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi, yang memuat unsur peningkatan kualitas pelayanan jasa perpustakaan dan informasi yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai serta meningkatnya upaya pengembangan perpustakaan dan budaya gemar membaca. Ujung dari semua itu adalah peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.
Hingga tahun 2013, revitalisasi di bidang pengembangan e-library telah menyentuh 33 provinsi dan 93 kabupaten/kota. Untuk perpustakaan keliling (MPK) telah digelontorkan sebanyak 529 unit. Sedangkan, penguatan perpustakaan umum di kabupaten/kota telah diberikan pada 350 perpustakaan. Dan terakhir, pengembangan perpustakaan desa/kelurahan sudah menyentuk di 23.281 titik.
Taman Baca Masyarakat
Menurut sumber yang diperoleh dari Direktorat Pembinaan Masyarakat Ditjen PAUD, Nonformal, dan Informal Kemedikbud, ide pendirian taman baca masyarakat telah dimulai sejak tahun 1970. Dulunya bernama Taman Bacaan Kampung (TBK), hasil kerjasama Depdikbud dengan UNICEF yang bertujuan memfasilitasi pemeliharaan keberaksaraan.
Alhasil, karena mendapatkan apresiasi luas dari masyarakat, di tahun 1980, program TBK berkembang menjadi Taman Baca Masyarakat (TBM). Targetnya pun diperluas mencapai 1.000 TBM di 5 (lima) provinsi. Di tahun 1992, berkembang lagi, kala itu jangkauan manfaat TBM diperluas menjadi bagian dari tindak lanjut peningkatan baca-tulis-hitung (calistung) dan mendorong minat baca masyarakat. Target semakin diperlebar hingga mencapai 1.000 TBM di 1.000 kecamatan.
Tiga tahun berselang, di tahun 1995, TBM dijadikan sebagai program nasional untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Spektrum jangkauan kian diperluas hingga di seluruh provinsi. Di awal tahun 2000, TBM telah masuk ke dalam sektor pendidikan non formal dengan judul yang beragam, seperti ruang baca publik, rumah baca, gubug baca, TBM Mandiri, TBM@mall, cakruk pintar, dan lain sebagainya.
Dalam perkembangaannya, Kemendikbud memiliki pola pembinaan yang berjenjang. Pertama, pola pembinaan mengacu perluasan akses. Di tahap ini, pemerintah mendukung dibentuknya TBM rintisan (baru). Kemendikbud menganggarkan dana Rp. 30 juta per TBM, dan diprioritaskan untuk kabupaten/kota yang belum memiliki minimal 10 TBM di wilayahnya yang menjadi target nasional. Di tambah dengan peningkatan kuantitas koleksi hingga 1.000 koleksi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Targetnya, lewat cara ini kemauan masyarakat ke TBM bisa meningkat.
Kedua, yaitu pola peningkatan mutu TBM yang sudah berjalan. Dukungan diberikan bagi TBM yang sudah berkembang selama minimal dua tahun, yaitu dana sebesar Rp. 30 juta/ TBM plus sejumlah fasilitas elektronik. Penambahan koleksi hingga 2.000 eksemplar, dan bantuan unit komputer. Dengan begitu, semangat masyarakat jadi meningkat. Masyarakat pun diajak melek informasi teknologi (IT).
Dan ketiga, pola inovasi dan networking layanan. TBM yang sudah dikenal eksistensinya disertakan membentuk kerjasama layanan dan inovasi layanan. TBM akan diberi dana hingga Rp. 150 juta per, tapi harus dibarengi dengan sejumlah kegiatan inovatif. Lokasi TBM diperluas hingga menyasar di ruang publik, seperti rumah sakit, bandara, mall, pasar, dan terminal. Jadi, masyarakat tidak hanya sebatas membaca saja namun bisa pro aktif mengikuti berbagai kegiatan yang disediakan TBM.
Data dari Kemendikbud tahun 2013 menyebutkan provinsi Jawa Barat memiliki ketersediaan TBM paling banyak, yaitu 1.222 unit. Sedangkan provinsi Papua Barat mempunyai unit TBM paling sedikit, yaitu 18 unit.
Nah sekarang, yang selanjutnya harus diperhatikan adalah bagaimana mengemas gerakan gemar membaca menjadi program yang berhasil merespon kesadaran masyarakat untuk mau membaca. Memasyarakatkan gemar membaca terlihat seperti mudah tapi realitasnya memerlukan kegigihan. Ini disebabkan masyarakat mulai terlena dengan kecanggihan perangkat audio visual, sehingga membaca tak perlu lagi menggunakan buku. Tinggal klik atau download, yang mau dibaca langsung terpampang.
Padahal, sejatinya membaca yang baik tetap harus lewat bahan bacaan yang utuh. Dan tidak semua masyarakat melek teknologi, terutama yang tinggal di pedalaman, pelosok, pulau terluar yang jauh dari akses teknologi yang memadai. Perpusnas mencoba melakukan strategi dengan kampanye, workshop, seminar, penyuluhan, hingga penunjukkan Duta Baca Indonesia (DBI). “Itu merupakan bagian dari promosi perpustakaan dan gemar membaca,†beber Deputi Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Woro Titi Haryanti.
Perpusnas berharap lewat rentetan kegiatan tersebut, masyarakat sadar dan mulai berutinitas membaca dalam kesehariannya. Tiada hari tanpa membaca. Apa saja, yang penting bermanfaat positif bagi pengembangan intelektualnya. Kita tentu ingat, membaca dapat membuka jendela dunia. Ketika jendela dunia sudah terbuka, masyarakat Indonesia dapat melihat keluar, sisi-sisi yang ada dibalik jendela tersebut. Sehingga cara berpikir masyarakat akan maju dan keluar dari zona kemiskinan menuju kehidupan yang sejahtera.
Tapi, harus diingat pula, sehebat apapun gerakan populis yang dicanangkan, entah itu berlabel kampanye gemar membaca, penyaluran MPK, hibah buku, dan sebagainya, tanpa ada penyadaran pentingnya sebuah informasi atau ilmu pengetahuan, minat baca masyarakat akan tetap rendah.
|