Detail Majalah Online

    Identifikasi Bahan Naskah (Daluang) Gulungan Koleksi Cagar Budaya Candi Cangkuang dengan Metode Pengamatan Langsung dan Uji Sampel di Laboratorium

    Tulisan ini berupaya memaparkan hasil identifikasi naskah berbahan daluang dengan menggunakan dua metode, yaitu pengamatan langsung dan uji sampel di laboratorium. Dalam hal metode pengamatan langsung, digunakan beberapa alat bantu identifikasi agar hasilnya  lebih terukur. Adapun uji sampel di laboratorium mengacu pada Standard Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia (BNSNI) sehingga hasilnya lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dua...

    Deskripsi Majalah Online
    JudulIdentifikasi Bahan Naskah (Daluang) Gulungan Koleksi Cagar Budaya Candi Cangkuang dengan Metode Pengamatan Langsung dan Uji Sampel di Laboratorium
    MajalahJUMANTARA
    EdisiVol. 3 No. 1 - April 2012
    Abstrak

    Tulisan ini berupaya memaparkan hasil identifikasi naskah berbahan daluang dengan menggunakan dua metode, yaitu pengamatan langsung dan uji sampel di laboratorium. Dalam hal metode pengamatan langsung, digunakan beberapa alat bantu identifikasi agar hasilnya  lebih terukur. Adapun uji sampel di laboratorium mengacu pada Standard Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia (BNSNI) sehingga hasilnya lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dua metode tersebut digunakan untuk identifikasi bahan naskah gulungan koleksi Cagar Budaya Candi Cangkuang (CBCC). Karakteristik bahan naskah yang dihasilkan berupa ketebalan bahan, warna bahan, jenis serat, panjang serat, kadar asam dan jenis kerusakan naskah. Adanya kemungkinan penggunaan metode dan hasil identifikasi bahan naskah daluang tersebut diharapkan dapat memperkaya metode kajian naskah dan mempertajam analisis filologis selanjutnya.

    KeywordIdentifikasi, Bahan Naskah, Daluang, Candi Cangkuang
    PengarangTedi Permadi
    SubjekManuskrip Candi Cangkuang
    Sumber
    Artikel Lengkap

    Pendahuluan
    Naskah dibedakan atas adanya fisik dan kandungan teks, fisik naskah adalah medium yang mewadahi teks sebagai kandungannya (Baried, 1985: 4-5; Sudardi, 2001: 18-20; Sudjiman, 1994: 11). Medium dalam naskah dapat dibedakan pula atas dua hal, yaitu bahan dan teknik. Dalam identifikasi naskah, yang pertama kali dapat dilakukan di antaranya adalah pendeskripsian medium. Terkait dengan bahan naskah, daluang merupakan salah satu dari sekian banyak bahan naskah yang digunakan dalam tradisi tulis Nusantara.
    Namun patut dicatat bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan dalam memahami daluang, di antaranya Lubis (1996:37) yang menyatakan bahwa “daluang adalah kertas yang digunakan di Pulau Jawa yang terbuat dari kulit kayu sebagai campuran”. Contoh kesalahan dalam pendeskripsian naskah yang memakai daluang sebagai bahannya adalah pendeskripsian bahan naskah pada koleksi Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat (BPMNSBJB), yang menyatakan bahwa dari 137 buah koleksi naskah yang ada terdaftar, 74 buah di antaranya berbahan “daluang”, 2 buah berbahan saéh, dan 1 naskah berbahan daluang saéh. Dalam hal ini digunakan tiga istilah untuk satu jenis bahan naskah yang sama, yaitu daluang, saéh, dan daluang saéh.
    Di samping itu, terdapat pula kekeliruan dalam pendeskripsian bahan naskah pada materi pameran tetap di BPMNSBJB, yaitu  naskah Babad Pajajaran yang kemungkinannya besar berbahan daluang dideskripsikan sebagai naskah berbahan kulit binatang. Kasus serupa terjadi pada pendeskripsian naskah gulungan CBCC di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Naskah berbahan daluang dideskripsikan sebagai naskah berbahan kulit kambing.
    Terjadinya kesalahan dalam identifikasi naskah berbahan daluang, baik dari segi peristilahan, pengenalan karakteristik bahan, dan aspek-aspek lainnya, bisa jadi disebabkan oleh hilangnya tradisi pembuatan daluang, yang secara otomatis menyebabkan informasi mengenai daluang menjadi terputus. Kini banyak orang, termasuk para petugas yang menangani naskah, tidak mengenal wujud dan ciri-ciri daluang dengan baik.
    Sehubungan dengan hal itu, daluang sebagai bahan naskah yang dihasilkan oleh tradisi tulis Nusantara menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. Dalam hal ini peran kajian kodikologi untuk mengenali bahan, teknik, serta fungsinya diperkirakan dapat memberi jalan bagi pendalaman kajian terhadap naskah serta pengembangan bagi disiplin ilmu filologi.
    Di antara sekian banyak naskah yang berhasil dihimpun dalam berbagai katalog naskah Nusantara, naskah CBCC ternyata belum banyak diteliti, bahkan dalam berbagai katalog naskah pun belum tercantum. Adapun informasi mengenai koleksi naskah CBCC dapat dilihat pada buku Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya yang disusun oleh Zaki Munawar (2002).
    Naskah koleksi CBCC seluruhnya berjumlah tujuh belas naskah dan seluruh bahan naskahnya diperkirakan berupa daluang. Kemasan naskahnya terdiri dari dua bentuk, berupa buku (binding) dan gulungan (scroll). Naskah-naskah koleksi CBCC disimpan di tiga lemari kaca yang berbeda, lima belas buah naskah berbentuk buku disimpan berjajar dalam dua lemari kaca dan dua naskah disimpan terpisah dalam sebuah lemari kaca lainnya, termasuk di dalamnya naskah berbentuk gulungan. Kondisi fisik naskah berbentuk buku umumnya sudah mulai rusak (dari enam belas naskah hanya tiga naskah yang kondisinya masih cukup baik); lembar halamannya terurai dari jilidannya sehingga halaman demi halamannya tercecer, lembab, berjamur, dan aksaranya sudah tidak terlalu jelas, sehingga menyulitkan ketika akan dibaca.
    Buruknya kondisi naskah-naskah berbentuk buku bisa jadi disebabkan oleh tingginya  tingkat penggunaan pada masa naskah itu digunakan atau karena kurang baiknya teknik penjilidan, penyimpanan, dan perawatan naskah, atau karena kurang baiknya pemeliharaan masyarakat pendukung berikutnya. Berbeda dengan yang  berbentuk buku, naskah gulungan kondisinya lebih baik; lembarannya relatif masih utuh, tidak terlalu lembab, tidak terlalu berjamur, dan aksaranya terlihat jelas sehingga memudahkan pembacaan teks. 
    Kondisi naskah berbentuk gulungan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi naskah berbentuk buku mengundang beberapa pertanyaan, di antaranya: apakah naskah yang dikemas dalam bentuk gulungan lebih baik daripada naskah berbentuk buku atau apakah ada kaitan antara bahan naskah dan bentuk kemasan naskah dengan tingkat kekuatan fisik naskah?

    Naskah gulungan koleksi CBCC mempunyai ukuran 176 X 23 cm., kedua permukaannya ditulisi dengan teks beraksara Arab,; tinta yang digunakan untuk menuliskan aksara berwarna hitam dan tinta yang digunakan untuk menuliskan tanda baca berwarna merah.
    Identifikasi bahan naskah gulungan koleksi CBCC pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan berdasarkan pengujian di laboratorium. Pengamatan secara langsung di lapangan dapat dilakukan dengan bantuan alat ukur dan peralatan lainnya yang diperlukan. Alat ukur yang digunakan di lapangan memberikan hasil ukur secara langsung, seperti panjang dan lebar bahan naskah, ketebalan bahan naskah, warna bahan naskah, jenis aksara, dan warna tinta tulis yang digunakan. Adapun pengujian bahan di laboratorium dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan laboratorium dan didasarkan pada metode dan standar yang sudah diakui secara nasional, yaitu SNI.

    Pengamatan Langsung
    Pengamatan terhadap bahan naskah gulungan koleksi CBCC yang bisa dilakukan secara langsung di lapangan adalah berupa pengukuran dimensi panjang dan lebar bahan naskah dengan menggunakan mistar, pengukuran ketebalan bahan naskah dengan menggunakan mikrometer digital, dan pengukuran warna dengan menggunakan tabel warna; di samping itu dilakukan pula pengambilan gambar dengan menggunakan kamera digital untuk keperluan dokumentasi penelitian.
    Setelah dilakukan pengukuran, hasilnya menunjukkan bahwa  ukuran bahan naskah adalah 176 X 23 cm., sama dengan informasi yang diberikan oleh juru pelihara CBCC. Ukuran bahan naskah seperti itu termasuk jarang digunakan dalam penulisan naskah, hal ini dapat di antaranya dapat dilihat pada data dalam Katalogus Naskah Sunda (1988), yang menunjukkan bahwa naskah-naskah Sunda umumnya mempunyai ukuran di bawah ukuran bahan naskah gulungan koleksi CBCC dan umumnya berbentuk buku.
    Kelangkaan ukuran bahan naskah tersebut juga dapat mengindikasikan bahan baku yang digunakannya. Dalam hal ini bisa diyakini bahwa naskah gulungan koleksi CBCC bukan terbuat dari kulit kambing seperti yang dideskripsikan oleh petugas juru pelihara CBCC, berangkat dari asumsi panjang kulit kambing dari bagian leher sampai dengan bagian ekor berkisar antara 90 sampai dengan 120 cm. Di samping itu tidak terdapat bintik-bintik bekas pori-pori dan bekas tumbuhnya bulu seperti pada lembaran kulit binatang pada umumnya. Serat pembentuk lembarannya pun serat panjang seperti halnya serat pembentuk lembaran kulit kayu. Mengenai kepastian jenis serat pembentuk bahan, selanjutnya  akan dipastikan melalui uji laboratorioum.

    Mengenai ketebalan bahan naskah gulungan koleksi CBCC, setelah dilakukan pengukuran ternyata bahwa ketebalan bahannya tidak sama, paling tipis adalah 0.29 mm dan paling tebal adalah 0.48 mm. Berpijak pada adanya variasi ketebalan bahan dan dikaitkan dengan jenis serat pembentuk lembaran yang diduga berasal dari serat kulit kayu, maka dapat dipastikan bahwa bahan naskah gulungan koleksi CBCC dibuat secara tradisional; bukan dibuat secara modern dengan menggunakan mesin pembuat kertas yang dapat menghasilkan kertas dengan ketebalan yang sama karena dibentuk oleh sebuah mekanisme pembentuk lembaran (sheet former) yang presisi.
    Dengan adanya kenyataan serat pembentuk bahan naskah berupa jenis serat panjang yang berasal dari kulit kayu, penentuan bahan naskah pun bisa dirujuk pada adanya daluang sebagai bahan naskah Nusantara. 
    Mengenai warna bahan naskah gulungan CBCC, agar keterukurannya lebih akurat, maka pengukuran warna disandarkan pada tabel warna C/M/Y/K. Setelah diukur secara acak berdasarkan kesamaan dan perbedaan warna yang mencolok, didapatkan hasil ukur warna dengan pola (1) 10/20/50/0, (2) 40/40/50/0, (3) 5/5/50/0, (4), 5/20/50/0 (5), 0/10/50/0, dan (6) 5/10/50/0. Jika keseluruhan pola warna tersebut dikonversikan ke tabel warna yang dikeluarkan oleh Winsor & Newton, maka warna bahan naskah gulungan CBCC dapat termasuk ke dalam warna naples yellow, yellow ochre, atau raw sienna.

    Adanya perbedaan atau gradasi warna yang terdapat pada naskah gulungan CBCC menunjukkan bahwa, jika pada saat pembuatan warna bahan naskah adalah sama, maka perbedaan warna yang dapat disaksikan saat ini adalah perbedaan warna yang dihasilkan atau diakibatkan oleh perjalanan waktu serta perlakuan terhadap naskah itu sendiri.

    Hasil Uji Laboratorium
    Untuk melakukan identifikasi  bahan naskah di labotatorium, berdasarkan informasi studi lapangan yang dilakukan pada tanggal 3 Pebruari 2011 di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) yang berlokasi di Jalan Raya Dayeuhkolot 132 Bandung; Nina Elyani, Kepala Bidang Pengujian, Sertifikasi, dan Kalibrasi, menyatakan bahwa bahan naskah gulungan koleksi CBCC dapat diidentifikasi berdasarkan uji atas (1)  pH atau kadar asam,  (2)  jenis serat,  (3) panjang serat, (4) daya serap tinta atau penetrasi minyak IGT, (5) daya serap air atau Cobb 60, dan  (6) ketahanan lipat. Seluruh pengujian tersebut metodenya didasarkan pada standar yang telah ditetapkan BSNI, yaitu: pengujian pH didasarkan pada SNI 14-0479.2-1998, pengujian jenis serat didasarkan pada SNI 0441-2009, pengujian panjang serat didasarkan pada SNI ISO 16065.2-2010, pengujian daya serap tinta didasarkan pada SNI 14-9584-1989, pengujian daya serap air didasarkan pada SNI 0449-2008, dan pengujian ketahanan lipat didasarkan pada SNI 0491-2009.
    Untuk melakukan uji kualitas bahan naskah diperlukan bahan atau sampel dengan ukuran minimum 15 X 20 cm yang akan hancur setelah proses pengujian berlangsung. Ukuran minimun bahan untuk uji kualitas tersebut nampaknya tidak dapat dipenuhi karena naskah gulungan CBCC merupakan benda koleksi dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya. Keberadaannya harus senantiasa dijaga dan harus tetap berada di lokasi CBCC. Etika keilmuan filologi juga tidak memperkenankan untuk pengambilan bahan naskah karena akan merusak naskah itu sendiri.
    Namun demikian, ternyata masih terdapat peluang untuk melakukan uji pH atau kadar asam, penentuan jenis serat, dan panjang serat bahan naskah karena contoh bahan naskah yang diperlukan untuk pengujian tersebut tidak terlalu besar, yaitu sekitar 1 X 1 cm untuk uji kadar asam dan 1 X 1 cm untuk uji jenis serat dan panjang serat. Sampel bahan diambil dari bagian naskah gulungan CBCC yang koyak, yang selanjutnya disebut sampel utama.

     

    Pengujian kadar asam serta penentuan jenis dan panjang serat bahan naskah gulungan CBCC menjadi sangat penting untuk dilakukan karena melalui pengujian ini akan dapat diketahui apakah bahan naskah tersebut termasuk kertas yang kuat, dengan permanensi (kekuatan) dan durability (ketahanan) tinggi, atau bahkan sebaliknya seperti yang dipaparkan Lukman (2009: 55).
     
    “permanensi adalah kemampuan kertas untuk tetap stabil dan tahan terhadap aksi kimia, baik dari dalam maupun dari lingkungan sekitarnya. Sementara itu, ketahanan (durability) merupakan sifat ketahanan kertas terhadap perlakuan fisik yang dapat menyebabkan rusaknya kertas, contohnya goresan dan lipatan. Permanensi berhubungan dengan stabilitas kimia kertas, sedangkan ketahanan berhubungan dengan kekuatan fisik.”

    Adapun menurut Harvey, dalam Lukman (2009: 56), dinyatakan bahwa ukuran terpenting yang menjadi penentu kertas bersifat permanen adalah kadar pH, yaitu kadar keasaman atau kebasaan suatu kertas dengan skala 0 – 14, di mana skala pH 0 menunjukkan derajat asam, skala pH 7 menunjukkan sifat netral, dan  skala pH 14 menunjukkan derajat basa.
    Selanjutnya, mengenai unsur asam pada yang terdapat dalam kertas (termasuk daluang), Wan Mamat (1988:62--63) memaparkan bahwa,

    “unsur asam atau lignin, pada dasarnya merupakan salah satu bahan baku pembuatan kertas dan sudah dipergunakan sejak kira-kira seratus tahun yang lalu, lignin juga merupakan kandungan dari serat kayu itu sendiri. Di samping lignin, penggunaan zat-zat kimia seperti clorine untuk pemutih kertas, potassium alumunium sulphate untuk penghalus permukaan kertas (bahan kimia dalam proses pembuatan kertas pabrikan) dan penggunaan tinta tulis yang mengandung unsur iron gallotannate (garam besi) juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan tingkat keasaman (acid sulfurik) bahan naskah menjadi tinggi”.

    Secara kebetulan, di sekitar lokasi CBCC, tepatnya di Desa Cangkuang Kecamatan Leles, ditemukan naskah yang bahannya diperkirakan sejenis dengan bahan naskah gulungan koleksi CBCC, yang oleh pemiliknya, Zaki Munawwar, diserahkan kepada penulis agar bahannya dapat dimanfaatkan untuk uji laboratorium. Sampel ini selanjutnya disebut sampel pembanding. Di samping itu, diuji pula sampel daluang hasil rekonstruksi, selanjutnya disebut sampel rekonstruksi, agar didapatkan gambaran mengenai kualitasnya guna pemanfaatan praktis selanjutnya.

     

    Berdasarkan laporan hasil uji atas ketiga sampel yang dikeluarkan BBPK tertanggal 17 Pebruari 2012, dari sampel utama didapatkan hasil uji pH sebesar 4,81 ± 0,01, hasil uji jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 2,725 mm; dari sampel pembanding didapatkan hasil uji pH sebesar 5,96 ± 0,02,  hasil uji jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 2,985 mm,  daya serap tinta permukaan atas 48,5 ± 2,9, daya serap tinta permukaan bawah 53,3 ± 3,6, daya serap air permukaan atas 15,4 ± 2,1, dan daya serap air permukaan bawah 17,0 ± 0,7; adapun dari sampel rekonstruksi didapatkan hasil uji pH sebesar 6,82 ± 0,01,  hasil uji jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 3,575 mm,  daya serap tinta permukaan atas 50,2 ± 9,1, daya serap tinta permukaan bawah 77,5 ± 29,2, daya serap air permukaan atas 150,0 ± 3,5, dan daya serap air permukaan bawah 193,1 ± 1,4, ketahanan lipat arah serat sebesar 4246 ± 935, dan ketahanan lipat silang serat 496 ± 333.  Seluruh hasil uji tersebut didasarkan pula pada kondisi ruang pengujian dengan suhu 23 ± 10 C, kelembaban ruangan pada RH 50 ± 2 %. Untuk memudahkan pembahasan, berikut ini adalah tabel hasil uji dimaksud.

    Tabel di atas memuat hasil uji atas tiga parameter yang dapat dibandingkan dari sampel utama, sampel pembanding, dan sampel rekonstruksi, yaitu pH, jenis serat, dan panjang serat. Derajat pH sampel utama 4,81 ± 0,01, derajat pH sampel pembanding 5,96 ± 0,02, dan derajat pH sampel rekonstruksi 6,82 ± 0,01; jenis serat ketiga sampel adalah softwood; dan panjang serat sampel utama 2,727 mm, panjang serat sampel pembanding 2,985 mm, dan panjang serat sampel rekonstruksi 3,575 mm.
    Hasil perbandingan atas tiga parameter di atas menunjukkan bahwa untuk derajat pH, sampel utama memiliki derajat keasaman paling tinggi, diikuti oleh sampel pembanding, dan sampel rekontruksi. Tingkat derajat keasaman yang didapat dari perbandingan hasil uji tersebut, untuk sampel utama dan sampel pembanding, secara objektif menunjukkan tingkat derajat keasaman pada waktu pengujian; sedangkan untuk sampel rekonstruksi, di samping menunjukkan tingkat derajat keasaman pada waktu pengujian, juga menunjukkan tingkat kadar asam pada waktu selesai pembuatan. Ross Harvey, dalam Lukman (2009: 59), menyatakan bahwa kadar pH kertas pada waktu pembuatan tidak boleh kurang dari 6,5 agar dapat dikategorikan sebagai kertas permanen.
    Melihat kenyataan bahwa kadar pH bahan naskah gulungan koleksi CBCC termasuk ke dalam kategori di bawah netral atau cenderung asam, maka penanganan naskah-naskah koleksi CBCC selanjutnya menjadi sangat penting untuk diperhatikan; karena jika penanganannya tidak dilakukan secara baik, maka tingkat penurunan kualitas bahan naskah akan berlangsung dengan cepat dan mengakibatkan kerusakan naskah-naskah itu sendiri.
    Selanjutnya untuk jenis serat, ketiga sampel menunjukkan jenis serat yang sama, yaitu jenis softwood. Namun demikian, setelah melakukan penelusuran lebih lanjut atas penggolongan jenis serat, softwood adalah pengolongan jenis serat untuk kayu dan bukan untuk jenis serat kulit kayu. Menurut Iswanto (2008: 1) dan Sucipto (2009: 1), secara umum kayu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu hardwood (kayu keras atau kayu daun lebar) dan softwood (kayu lunak atau kayu daun jarum); dan yang membedakan keduanya adalah keberadaan sel pembuluh yang hanya terdapat pada kayu daun lebar.
    Mengenai kulit kayu, Batubara (2008) menyatakan bahwa pada dasarnya kulit kayu dan kayu adalah dua bagian yang berbeda, kayu adalah jaringan xylem dan kulit kayu adalah jaringan phloem; kedua jaringan ini merupakan pembentuk struktur kayu secara utuh. Dengan demikian, untuk penentuan jenis serat ketiga sampel di atas, karena dikategorikan sebagai jenis yang sama, maka  akan lebih baik jika digolongkan ke dalam jenis serat kulit kayu (daluang); Teygeler (1995) menyarankannya dengan menyatakan bahwa “ finally dluwang can be defined as beaten treebark (tapa) of paper – mulberry tree (Broussonetia papyrifera Vent.) from Java or Madura.”
    Adapun untuk panjang serat, sampel utama memiliki panjang serat yang paling pendek, selanjutnya diikuti oleh sampel pembanding, dan sampel rekonstruksi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ketahanan lipat sampel utama dan sampel pembanding lebih rendah dari sampel rekonstruksi, karena panjang serat berbanding lurus dengan ketahanan lipat dan kekuatan kertas, seperti yang dipaparkan Budi (1995: 105).

    “Secara umum panjang serat mempunyai peranan langsung terhadap sifat-sifat kekuatan kertas, hal ini dikarenakan panjang serat erat hubungannya dengan banyaknya kontak perkesatuan sel. Selain itu kekuatan internal dalam serat atau sel, lebih besar dari pada ikatan antar sel. Selain itu lembaran kertas yang terdiri dari kumpulan sel-sel yang terpisah terikat kembali satu sama lain secara lamai tanpa adanya tambahan bahan perekat, sehingga kekuatan kertas lebih didasarkan atas exobond dari luas permukaan setiap selnya. Semakin panjang sel serat akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kekuatan pada kertas, artinya semakin panjang serat, maka kekuatan kertasnya semakin baik.”

    Namun demikian, panjang serat ketiga sampel di atas, masih lebih panjang jika dibandingkan dengan panjang serat dari empat jenis kayu yang diteliti oleh Budi (1995: 103) yaitu, kayu terap 1,413 mm, kayu meranti merah 1,345 mm, kayu kapur 1,410 mm, dan kayu keruing 1,689 mm. Dengan demikian, kekuatan kertas berbahan baku kulit kayu seperti yang terdapat pada ketiga sampel yang diuji di BBPK masih lebih tinggi tingkat kekuatan kertasnya jika dibandingkan dengan kertas berbahan baku kayu terap, kayu meranti merah, kayu kapur, dan kayu keruing.

    Penyimpanan dan Perawatan Naskah
    Penyimpanan dan perawatan naskah memerlukan penanganan yang baik, karena pada dasarnya bahan naskah mudah rusak jika tidak ditangani dengan baik. Di beberapa tempat penyimpanan koleksi naskah yang sudah maju, naskah disimpan di ruangan khusus dengan suhu  dan kelembaban udara tertentu. Naskah pun ditempatkan dalam lemari, rak, dan kotak yang terbuat dari kertas bebas asam.
    Mengenai suhu ruangan untuk penyimpanan naskah, Wan Mamat (1988:57--58) menyatakan bahwa suhu ideal berkisar antara 550F (130C) sampai dengan 650F (180C) dengan kondisi udara yang mengalir, sedangkan kelembaban berkisar 50%. Alat untuk mengatur suhu ruangan dikenal sebagai air conditioning (AC) dan alat untuk mengatur kelembaban dikenal sebagai higrometer. Dengan memperhatikan hal tersebut, laju kerusakan bahan naskah dapat diperlambat dan kondisi fisiknya dapat dipertahankan sehingga suatu naskah dapat bertahan lebih lama.
    Naskah gulungan koleksi CBCC dengan dimensi 176 X 23 cm. saat ini tampak disimpan dalam sebuah lemari kaca yang cukup baik sehingga terbebas dari debu dan serangga yang dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada naskah. Pengemasan dan penyimpanan naskah dalam bentuk gulungan diperkirakan ada sudah sejak lama, diperkirakan sejak bahan naskah dibuat sampai saat ini.
    Pengemasan naskah dalam bentuk gulungan sepertinya merupakan pengemasan yang cukup baik untuk dimensi panjang 176 cm, karena dalam bentuk gulungan serat-serat pembentuk lembaran bahan akan lebih  terjaga dibandingkan jika dikemas dalam bentuk lipatan, memungkinkan serat pembentuk lembaran bahan akan putus sebagai akibat dari proses buka tutup lipatan yang berulang.

    Walaupun saat ini penyimpanan dan perawatan naskah sudah cukup baik, yaitu naskah disimpan dalam lemari kaca sehingga terhindar dari kontak langsung dengan udara luar, debu, dan terbebas dari jamahan tangan, namun secara kasat mata terlihat bahwa pada permukaan bahan naskah masih terdapat beberapa kerusakan yang mungkin akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut.
    Faktor penyebab kerusakan naskah yang nampak, di antaranya, adalah faktor lingkungan. Hal ini tampak dari adanya bagian naskah yang lembab karena terhidrolisis oleh udara basah. Bagian naskah yang lembab ini kemudian menimbulkan kerusakan lebih lanjut, yaitu mendorong tumbuhnya jamur. Di samping itu terdapat pula kulit telur kecoa yang menempel di permukaan bahan naskah dan beberapa lubang kecil yang diperkirakan disebabkan serangga sejenis kutu buku. Adanya jamur, kulit telur kecoa, dan lubang-lubang pada naskah menunjukkan adanya faktor biologis sebagai penyebab kerusakan naskah.

    Atas dasar hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa kerusakan bahan naskah gulungan koleksi CBCC, di antaranya, disebabkan oleh faktor usia, faktor lingkungan, faktor biologis, dan faktor mekanis.
    Pada kalangan masyarakat tertentu di Indonesia saat ini, khususnya masyarakat tradisional, terdapat kegiatan penyimpanan dan perawatan naskah secara tradisional. Berdasarkan pengamatan sepintas, upaya yang dilakukan masyarakat tradisional dalam melakukan penyimpanan dan perawatan naskah memberikan keuntungan bagi kondisi naskah, sehingga keberadaan naskah masih dapat disaksikan sampai saat ini. Upaya yang dilakukan masyarakat tradisional di antaranya dengan menyimpan naskah pada kotak kayu, menyimpan naskah di atas tempat yang agak tinggi pada bagian dinding rumah agar tidak terjangkau anak-anak, membungkus naskah dengan kain, dan ada kalanya di dalam kotak kayu dan bungkusan kain tersebut disertakan pula beberapa batang cerutu, biji cengkih, bunga melati, dan sebagainya.

    Cerutu, biji cengkih, dan bunga melati yang disimpan di dalam kotak kayu ataupun kain pembungkus naskah ternyata dapat menghindarkan serangan rayap, kutu buku, semut, ataupun serangga pengganggu lainnya yang dapat mengakibatkan kerusakan pada naskah. hal ini dapat dipahami karena ternyata baik cerutu, biji cengkih, dan bunga melati masing-masing mempunyai aroma khas yang tidak disukai serangga.

    Di beberapa tempat tertentu, yang masyarakat pendukungnya masih memegang teguh adat istiadat, naskah dan benda-benda koleksi lainnya hanya boleh dibuka dan dilihat satu tahun sekali, biasanya pada bulan-bulan yang dianggap sakral, seperti bulan Mulud sekaligus dengan melakukan prosesi pembersihan pusaka. Pengaturan waktu untuk membuka dan membersihkan naskah beserta benda-benda yang dianggap keramat (termasuk mengkeramatkan naskah), ternyata ada sisi positif dan sisi negatifnya. Sisi positifnya adalah memberikan ketahanan bagi naskah itu sendiri, dalam hal ini naskah tidak sembarang waktu dijamah tangan dan dibuka tutup. Sisi negatifnya adalah kandungan informasi naskah tidak diketahui masyarakat banyak sehingga, jika terjadi penurunan kualitas kondisi naskah, maka tingkat kerusakannya tidak cepat diketahui dan kerusakannya tidak akan dapat dicegah.

    Daftar Pustaka
    Baried, Siti Baroroh (1985). Pengantar Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
    Batubara, Ridwanti (2008). Kimia Kulit Kayu, Potensi dan Peluang Pemanfaatannya. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
    Budi, Agus Sulistyo (1995). “Morfologi Serat Pulp dari Empat Jenis Kayu Daun Lebar dalam Hubungannya dengan Kekuatan Kertasnya”. Jurnal FRONTIER Nomor 17. September 1995.
    Ekadjati, Edi S. (1988). Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation.
    Lubis, Nabilah (1996). Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.
    Lukman (2009). “Penggunaan Kertas Permanen sebagai Pencegahan Kerusakan Kertas”. Jurnal BACA Vol. 30, No. 1, Agustus 2009 (01-72).
    Munawar, Zaki (2002). Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya. Garut: Dinas Pariwisata Seni dan Budaya.
    Sudjiman, Panuti (1994). Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
    Teygeler, René (1995). “Dluwang, a Javanese/Madurese Tapa from The Paper-mulberry Tree” dalam wwwIIAS NewsletterIIASN-6Southeast Asia. Dikunjungi pada tanggal 14 April 2004.
    Wan Mamat, Wan Ali Hj. (1988). Pemuliharaan Buku dan Manuskrip. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.

    Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

    Jumlah pengunjung