Pendahuluan
Kata lontar memiliki kaitan erat dengan sumber bahan dasar pembuatannya, yaitu rontal /daun ental/tal (sejenis daun palma/borassus flabelliformis). Lontar sebagai produk budaya kaya makna telah mengangkat citra tradisi Bali di tengah-tengah pergaulan peradaban masyarakat dunia. Warisan budaya yang satu ini juga telah memberikan aura keluhuran dan mentransmisikan keunggulan pemikiran masyarakat Bali yang melahirkannya. Tradisi lontar di Bali memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan umur yang tua seiring dengan nilai-nilai
sejarah, agama, filsafat, pengobatan, sastra, dan ilmu pengetahuan tinggi lainnya. Lontar perekam jagat pemikiran masyarakat Bali sampai dalam bentuknya sekarang merupakan saksi sejarah dan menjadi penampang historik masyarakat pendukungnya.
Pewarisan tradisi lontar di Bali berlanjut dari generasi ke generasi dalam suasana kerohanian dan kemurnian hati nurani. Masyarakat Bali meyakini lontar adalah wahana bersemayam Sang Hyang Aji Saraswati, yaitu manifestasi Ida Sang Hyang Widi (Tuhan) sebagai sumber ilmu pengetahuan. Setiap 6 bulan sekali, bertepatan dengan perhitungan kalender Bali Sabtu Kliwon Wuku Watugunung lontar-lontar dibuatkan upacara piodalan Saraswati. Pada hari ini masyarakat menghaturkan aneka banten pasucian Weton Saraswati. Keesokan harinya, pada hari Minggu Umanis Watugunung, masyarakat Bali pagi-pagi benar membawa toya kumkuman (air suci) menuju sumber-sumber mata air atau pantai melaksanakan upacara banyu pinaruh (menyambut turunnya ilmu pengetahuan).
Para panglingsir (orang tua berpengetahuan) di Bali memaparkan kata Saraswati ke dalam dua bentuk dasar, yaitu saras dan wati. Saras diterjemahkan sebagai sang mraga toya, dangan mes membah (beliau yang berbadankan air, begitu mudah mengalir atau sesuatu yang mengalir) dan kecap bebaos sang mraga wagmi sajroning bebaosan (kata-kata orang bijaksana saat memberikan petuah). Wati diterjemahkan sang adrue (pemilik). Dari uraian itu, kata Saraswati diterjemahkan sebagai Ida Sang mambek toya tur wagmi sajroning bebaosan yang artinya beliau yang mengalirkan air suci pengetahuan. Saraswati adalah sumber dari segala sumber kata-kata bijak (mraga wagmi). Karena itu, Dewi Saraswati juga dijuluki Dewi Wagmiswari (Dewi Kata-kata) atau Wagmimaya (Kata-kata Bertuah). Julukan yang lain untuk memuliakan Dewi Saraswati sebagai sumber ilmu pengetahuan yaitu: Putkari Dewi, Bhatari Dewi, Sarada Dewi, dan Brahma Putri. Itulah Saraswati, Dewi sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang berupa tastra (manuskrip aksara Bali) yang bersemayam di mahligai lontar.
Lontar Warisan Budaya
Lontar adalah produk budaya Bali dan telah diakui menjadi warisan budaya dunia. Betapa tidak. Menurut Bali Cultural Heritage Coservation, Volume 10 (1998: 2-6) lontar Bali termasuk salah satu warisan budaya dunia karena memiliki karakteristik, seperti: 1) warisan budaya intelektual (intellectual heritage), 2) tradisi yang hidup (living tradition), 3) mudah dipindahkan (moveable), 4) memiliki wujud fisik (tangible) dan non-fisik (intangible), 5) memiliki fungsi dan kedudukan yang terhormat dan disucikan dalam masyarakat (abstract), dan 6) sudah menjadi salah satu warisan dunia (wolrd heritage).
Lontar Warisan Intelektual
Kekayaan pemikiran dan rohani masyarakat Bali secara tradisi terekam dalam manuskrip lontar. Masyarakat Bali berkeyakinan lontar memiliki arti yang penting dan sangat bermanfaat untuk hidup dan kehidupannya. Lontar dengan segala bentuk wacana penuturannya memotret dan memberikan cermin kehidupan yang dapat dijadikan smerti, yaitu contoh dan implementasi kehidupan yang patut dan tidak patut dilakukan. Itu artinya, kandungan lontar dengan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup yang pernah ada dan dimiliki masyarakat Bali masa lampau dapat dikembangkan untuk menata dan meningkatkan kehidupan spiritual dan material saat ini dan masa-masa mendatang.
Tradisi keberaksaraan dan keterpelajaran pada lontar adalah warisan budaya yang sangat berharga dan penting. Bukan saja penting untuk para leluhur dan orang Bali kini, tetapi juga penting untuk menghiasi khazanah intelektual masyarakat luas lainnya. Semuanya masih relevan dan patut diwarisi, dilestarikan, dan diteruskan agar tercapai kehidupan material-spiritual yang lebih baik. Tradisi masyarakat Bali mempelajari dan menekuni lontar disebut anak nyastra (a man of letters) yang artinya beliau yang terpelajar (gelettered). Mereka itulah yang sesungguhnya steak holders lontar di Bali.
Lontar Tradisi yang Masih Hidup
Kita meyakini tradisi lontar adalah tradisi masyarakat Bali yang sudah tua. Walaupun usianya telah tua, tradisi ini masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat Bali. Keadaan ini berbeda jauh dengan masyarakat Indonesia lainnya yang mewarisi tradisi manuskrip. Sekriptorium-sekriptorium yang ada di Bali masih menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya.
Hidupnya tradisi lontar dalam masyarakat Bali sangat didukung oleh masih hidupnya aktivitas budaya dan sumber alam lainnya, seperti:
(1) Tersedianya cukup banyak pohon lontar. Pohon lontar yang menjadi sumber utama bahan penulisan lontar tumbuh subur di belahan Timur dan Utara pulau Bali. Jumlahnya mencapai ribuan pohon. Pohon lontar adalah sumber alam yang dapat diperbaharui. Mengingat lontar memiliki multimanfaat, seperti untuk bahan anyaman dan kerajinan tangan lainnya, maka pohon lontar dibudidayakan dengan baik, sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya tidak pernah berkurang.
(2) Masih adanya orang yang mewarisi tradisi pembuatan daun lontar sebagai bahan rumah pintar” Dewa Catra, dan yang lainnya.
(3) Adanya pusat-pusat penulisan lontar dan kegiatan penyalinan lontar di masyarakat.
(4) Adanya sekolah khusus yang mengajarkan cara menulis lontar, seperti SMUN I Sidemen (dulu SMU Sidamaha) Karangasem, Jurusan Sastra Bali di berbagai perguruan tinggi di Bali, seperti Fakultas Sastra di Universitas Udayana, Unisha Singaraja, IKIP PGRI Bali, IHDN, Universitas Dwijendra, dan perguruan tinggi lainnya.
(5) Masih banyak orang yang mampu menulis lontar secara tradisional.
(6) Adanya perpustakaan lontar yang memiliki latar belakang sejarah yang penting seperti: Gedong Kitrya di Singaraja, Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Perpustakaan Lontar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Perpustakaan Musieum Bali, Perpustakaan Unhi Denpasar, Balai Bahasa Denpasar, dan yang lainnya, yang menyimpan lontar-lontar penting yang dibutuhkan masyarakat.
(7) Tradisi membaca lontar dalam aktivitas bersastra di Bali secara tradisional erat kaitannya dengan sistem upacara dan sistem keagamaan Hindu di Bali.
(8) Adanya kegiatan mabasan (membaca, menyanyikan, dan mengapresiasi) karya-karya sastra tradisional Bali di lingkungan masyarakat Bali, yang menjadikan manuskrip lontar sebagai bahan bacaannya.
(9) Perkembangan pariwisata menyumbangkan peran untuk mempertahankan tradisi lontar, seperti di desa Tenganan Pegringsingan Karangasem. Banyak anggota masyarakat Tenganan Pagringsingan menggambar dan menulis prasi serta melukis di atas media daun lontar. Lontar-lontar dalam bentuk baru itu khusus dibuat untuk dijual sebagai komoditas pariwisata ( BUIP, Bali CHC: Volume 10, 1999: 3-4).
(10) Banyak masyarakat umum yang mengoleksi lontar, baik sebagai warisan maupun atas usahanya sendiri membangun perpustakaan pribadi.
(11) Aktivitas lomba menyalin huruf Latin ke dalam aksara Bali di atas lempiran lontar untuk tingkat SMP dan SMA terus digalakkan. Lomba menyalin huruf Latin ke dalam aksara Bali di atas lempiran lontar selalu ada dalam ajang Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar, Pekan Olahraga dan Seni Pelajar (Porsenijar) se-Bali, Pesta Kesenian Bali, dan pihak penyelenggara lainnya, serta acara-acara khusus seperti Gebiar Nyurat Lontar oleh Pemerintah Kota Denpasar. Acara ini dikaitkan dengan misi Kota Denpasar sebagai Kota Kreatif Berwawasan Budaya Unggulan.
Mudah Dipindahkan
Wujud fisik lontar cukup simpel. Dengan panjang antara 30 cm. sampai 60 cm. dan lebar tidak lebih dari 4 cm. lontar mudah dibawa dan dibaca. Karena fisiknya yang sederhana ini lontar juga mudah dipindahtangankan, maka tidak jarang lontar diperjualbelikan sebagai barang antik. Sejumlah masyarakat pemilik lontar menjual lontar warisannya dengan beragam alasan, diantaranya: ingin menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya, tidak mampu mengurus sehingga kuatir rusak di tempat, untuk modal usaha, dan beragam alasan ekonomi lainnya. Alasan-alasan ini pula yang membuat semakin bersemangatnya para ”pemburu” lontar, baik dari kalangan masyarakat lokal maupun mancanegara. Golongan yang terakhir ini yang memanfaatkan tenaga lokal untuk keluar masuk desa ’mengejar’, lontar yang berusia tua dan berkarakter antik dan unik.
Lontar-lontar tua, antik, dan unik yang telah dijual masyarakat Bali tentu tidak dapat diidentifikasi judul dan isinya. Karenanya lontar-lontar yang sudah raib ke luar dari pulau Bali dan tidak sempat katedun (disalin ke dalam naskah yang baru) ini tidak dijumpai di perpustakaan-perpustakaan yang ada. Diperkirakan bahwa lontar yang telah ”raib” jumlahnya ratusan, kalau tidak mau dikatakan ribuan.
Memiliki Wujud Fisik dan Non-Fisik
Jumlah lontar yang ada di masyarakat dapat diperkirakan lebih dari 55 ribu cakep (dalam kesatuan yang utuh) lontar. Jumlah itu belum termasuk yang tersimpan di perpustakaan lontar yang resmi, seperti di Gedong Kirtya. Di tempat ini tersimpan sebanyak 2414 cakep, di Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana tersimpan sebanyak 738 cakep, di perpustakaan Balai Bahasa Denpasar tersimpan sebanyak 90 cakep, di Perpustakaan Universitas Hindu Indonesia tersimpan sebanyak 151 cakep, di Perpustakaan Lontar Universitas Dwijendra Denpasar tersimpan sebanyak 50 cakep, di Perpustakaan Museum Bali tersimpan 60 cakep, dan di Perpustakaan Lontar Dokumentasi Budaya Bali, Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tersimpan sebanyak 2274 cakep.
Lontar yang tersimpan di lembaga-lembaga resmi biasanya mendapat pemeliharaan yang baik, sedangkan yang tersimpan di rumah-rumah penduduk, khususnya di Griya dan Puri di Bali yang jumlahnya begitu banyak, perlu mendapat penanganan fisik secara khusus agar terhindar dari kelapukan. Perlu dilakukan usaha-usaha konservasi dan pengobatan secara ilmiah dan bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan kemauan bersama, baik dari kalangan masyarakat pengoleksi maupun dari pihak pemegang kebijakan, yaitu instansi pemerintah yang terkait. Diperlukan juga kemauan politik dari para wakil rakyat, DPRD, tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota di seluruh Bali. Kalau semua pihak cermat dalam menangani dan mensosialisasikan fungsi strategis manuskrip lontar Bali, tentu nilai manfaat lontar dapat disumbangkan untuk memperkaya khazanah budaya bangsa dan budaya dalam lingkup internasional.
Lontar sebagai bagian dari khazanah ilmu kepustakaan memiliki kodifikasi keilmuan yang kompleks dan beragam. Para ahli kepustakaan lontar, baik ilmuwan luar negeri maupun dalam negeri, membuat klasifikasi lontar Bali secara sangat beragam, sesuai dengan keluasan pengetahuan masing-masing mengenai jenis dan isi naskah lontar yang didapatkannya. Th Pigeaud yang telah mempelajari klasifikasi Freiderich (1847) dan R. Van Eck (1875), pada tahun 1967 mengklasifikasikan kepustakaan lontar Bali menjadi empat kategori besar, yaitu : (1) Religion and Ethics, seperti pustaka lontar: a. weda, mantra, dan puja, b. Kalpasastra, c. Tutur, d. Sasana, dan e. Niti; (2) History and Mythologi, seperti pustaka lontar : babad, pamancangah, usana, prasasti, dan uwug/rusak/rereg; (3) Belles Lettres, seperti pustaka lontar parwa, kakawin, kidung, geguritan dan parikan, serta satua; dan (4) Science, Arts, Humanities, Law, Folklore, Customs, antara lain: usada, prasi, awig-awig, uar-uar, sima, pipil, urak dan yang lainnya. Klasifisasi termutakhir yang banyak dirujuk adalah klasifikasi yang diterapkan Nyoman Kadjeng dari perpustakaan lontar Gedong Kirtya Singaraja (1928), yaitu: (1) Weda, yang terdiri dari jenis lontar weda, mantra, dan kalpasastra; (2) Agama, yang terdiri dari jenis lontar palakreta, sasana, dan Niti; 3) Wariga, yang terdiri dari jenis lontar wariga, tutur, kanda, dan usada; (4) Itihasa, yang terdiri dari jenis lontar parwa, kakawin, kidung, dan geguritan; (5) Babad, yang terdiri dari jenis lontar pamancangah, usana, dan uwug/rereg/rusak; dan (6) Tantri yang terdiri dari jenis lontar tantri dan satua. Kemudian I Ketut Suwidja menambah klasifikasi lontar Gedong Kirtya dengan kelompok VII, yaitu lelampahan, yang memuat lakon-lakon pertunjukan kesenian gambuh, wayang, arja dan yang lainnya.
Klasifikasi manuskrip lontar di atas telah dapat memberikan citra wujud fisik naskah lontar yang ada di Bali. Wujud fisik naskah lontar yang disebut pengetahuan-pengetahuan lain oleh kalangan peneliti pernaskahan di Bali dikelompokkan karena menguraikan pengetahuan tertentu, seperti pengetahuan kearsitekturan (Astakosali, Astakosala, Asthabhumi, Wiswakarma, dan yang lain). Lontar memuat kode etik arsitektur tradisional seperti Dharmaning Sangging, dan yang berhubungan dengan upacara penyucian bangunan, seperti lontar Pemlaspas. Naskah leksikografi dan tata bahasa seperti lontar Adiswara, Ekalavya, Kretabasa, Suksmabasa, Cantakaparwa, Dasanama, dan yang memakai judul Krakah, seperti Krakah Sastra, Krakah Modre dan yang lainnya. Lontar Ekalawya dan Dasanama tidak sekedar memuat daftar kata, tetapi juga memuat sejumlah makna sinonim, sedangkan lontar Krakah antara lain memuat uraian beserta makna istilah dalam naskah-naskah tertentu. Naskah hukum juga ditemukan dalam dunia lontar di Bali. Beberapa yang penting adalah: lontar Adigama, Dewagama, Kutara Manawa, dan Purwadhigama. Lontar-lontar hukum yang lebih banyak bercorak Bali, diantaranya: Kretasima, Kretasima Subak, Paswara, dan awig-awig. Lontar yang memuat pengetahuan astronomi biasanya memakai judul Wariga dan Sundari. Lontar jenis ini banyak dijumpai. Banyak menguraikan masalah-masalah pertanian seperti penentuan iklim, hari baik atau buruk untuk suatu pekerjaan, sampai dengan penentuan hari-hari baik untuk upacara keagamaan (Agastia: 1985:13-14).
Memiliki Abstraksi Nilai
Fungsi dan kedudukan lontar dalam masyarakat memiliki kaitan yang erat dengan sistem kepercayaan dan kehidupan keagamaan masyarakat Bali. Lontar bagi masyarakat Bali adalah kitab suci yang selain disucikan juga dipelajari untuk dijadikan pegangan hidup sehari-hari (suluh nikang prabha). Ada hari khusus yang ditetapkan untuk menghormati dan mensucikan lontar, yaitu hari Puja Saraswati. Puja Saraswati mendapat tempat istimewa bagi umat Hindu di Bali sehingga masuk ke dalam sistem kalender Bali. Hari dan Wuku peringatan Puja Saraswati ditempatkan pada hari terakhir, yaitu hari Sabtu (Saniscara) dan Wuku terakhir, Watugunung.
Hari khusus tersebut ditandai dengan kegiatan mengumpulkan benda-benda pusaka lontar. Puja Saraswati ditandai dengan kegiatan membuat candi aksara atau candi pustaka (mengumpulkan lontar-lontar terpilih) yang dijadikan sthana bagi Sang Aji Saraswati, kemudian orang Bali melakukan pemujaan pada pagi hari, sedangkan pada malam harinya (semalam suntuk) membaca dan menyanyikan sastra-sastra lontar pilihan. Sang Hyang Aji Saraswati, Hyang Wagiswari disimbolkan bersthana dalam aksara suci. Lontar-lontar suci disthanakan sebagai candi Tastra Saraswati (candi pustaka, candi bahasa, candi sastra, ataupun candi aksara) yang adalah tempat suci bagi Saraswati. Aksara menjadi badan Sang Hyang Aji Saraswati.
Warisan Budaya Dunia
Lontar kaya wujud dan jenis, serta kaya makna dan filosofi. Para ahli pernaskahan dari berbagai belahan dunia mengakui bahwa lontar merupakan warisan budaya dunia yang harus diselamatkan, dilestarikan, dan dimanfaatkan. Manakala warisan budaya dunia ini lenyap, itu berarti salah satu warisan dunia yang penting telah hilang. Manakala hal itu benar-benar terjadi, hal itu merupakan kebodohan, kemunafikan, dan kesalahan besar yang dilakukan oleh generasi “anak bumi” di dunia ini. Karena itu, sudah saatnya dilakukan upaya yang lebih besar dan kuat untuk menyelamatkan lontar sebagai warisan budaya dunia. Perlindungan yang sifatnya mengharuskan pewaris lontar untuk menyelamatkan, melanjutkan, dan mempelajari lontar yang diwarisinya adalah implementasi keberlangsungan hidup dan kehidupan lontar sebagai warisan budaya dunia.
Tradisi Menulis di Atas Daun Lontar
Sebelum mencermati goresan artistik aksara Bali di atas daun lontar, perlu dipahami apa yang dimaksud dengan aksara Bali sebagai lambang bahasa, karena melalui aksara Balilah bahasa sebagai unsur universal dari kebudayaan itu terdokumentasikan. Aksara Bali adalah lambang bahasa yang telah mengambil fungsi dan peran sebagai lambang identitas masyarakat Bali. Aksara Bali adalah wahana atau sarana untuk mengungkapkan segala hal tentang kebudayaan Bali (BUIP, CHC, 1999:4).
Dalam tradisi penulisan lontar, sebelum memulai menggoreskan pangrupak di atas lempiran lontar, seorang pengawi atau penyalin biasanya melakukan ritual kecil untuk memohon anugerah ke hadapan Ida Sang Hyang Aji Saraswati, sida sidi kasaraswaten. Hakikat menulis adalah mempraktikkan yoga spiritualitas, mengasah dan mempraktikkan seluruh kemampuan intelektual dan kualitas intuitif, kehalusan rasa, serta menjaga irama pernafasan yang teratur dan jernih. Sebagaimana dinyatakan dalam lontar Tutur Saraswati, Hyang Yogiswara difilsafatkan berstana pada kedua mata penulis lontar, Bhagawan Mredhu berstana pada kedua tangan penulis, dan Baghawan Reka berstana pada ujung pangrupak. Dengan cara ini mereka yakin akan berhasil menciptakan teks lontar yang utama dan memiliki jiwa (ruh suci). Karena itu pula, seorang penulis lontar selalu berusaha keras agar tidak mematikan atau ngucek (mencoret) aksara. Mereka percaya hal itu akan mendatangkan akibat buruk pada diri, seperti umur pendek. Mencoret sandangan aksara yang berada di atas pangawak (badan pokok aksara) seperti ulu akan mengakibatkan kebutaan atau berkurangnya daya ingat, mencoret taleng/taling dan bisah/wisah berakibat pancet (sakit pinggang), dan melangkahi aksara akan mengakibatkan kebodohan.
Kepercayaan ini menjadikan lontar yang ada kelihatan bersih serta rapi tulisannya, dan tampak seperti tidak ada penulisan. Tidak pernah ada aksara Bali yang dicoret. Seandainya terjadi salah tulis, penulis membubuhkan dua sandangan (pangangge) aksara, sehingga aksara yang salah tulis tidak berbunyi (mati). Sandangan yang lazim dipakai adalah ulu dan suku. Karenanya, ada perumpamaan yang jamak dituturkan dalam masyarakat Bali, yaitu ”bagaikan aksara memakai dua sandangan suara, masuku (memakai suku) dan maulu (memakai ulu)”, yang artinya sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi alias sudah mati. Bagaimana membaca lontar yang banyak ditemukan aksara matinya? Pembaca lontar harus tanggap, cepat-cepatlah melirik aksara berikutnya yang merupakan sambungan aksara didepannya.
Secara tradisi, pengarang karya sastra Bali (pangawi) dan penedun (penyalin) lontar adalah para stake holders bahasa, sastra dan aksara Bali. Dalam aktivitas penulisan lontar, para stake holders ini menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1) pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan (alat penjepit lembaran lontar yang akan di tulis terbuat dari bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua sisinya), (3) serbuk tinggkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang dibakar sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar, (4) bantalan kasur kecil sebagai alas menulis, (5) dulang kayu (sejenis meja yang bundar) sebagai meja tulis, (6) penggaris dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu menghasilkan urut-urutan aksara Bali yang lurus, rapi dan bersih), (7) panakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (8) kapas atau kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas material penghitam, (9) dan sesajen seperlunya.
Jenis pangrupak yang dipakai menggores lontar disesuaikan dengan maksud dan tujuan penulisan; yaitu: pangrupak dengan kelancipan 45 derajat untuk menulis aksara Bali, pangrupak dengan kelancipan 70 derajat untuk membuat prasi (menggambar di atas daun lontar), dan pangrupak kelancipan sedang (kurang lebih 10 derajat), lebar, dan tajam untuk memotong rontal. Cara menulis di atas daun lontar berbeda dengan di atas kertas. Demikian juga menggunakan pangrupak berbeda dengan cara menggunakan pisau dapur atau alat pertukangan lainnya. Pangrupak memiliki tiga mata sisi yang tajam untuk menghasilkan karakter aksara Bali ideal, yaitu aksara Bali yang memiliki kakuub (karakter) wayah dan ngatumbah/matan titiran (bundar, lembut, halus, dan mengagumkan). Masing-masing pangrupak juga memakai hiasan, ada yang menyerupai pendeta, patung hanoman, burung merak, aksara Ongkara, dan yang lainnya.
Menulis di atas daun lontar menggunakan pangrupak, memerlukan keterampilan menulis yang khusus, yang berkaitan dengan posisi tangan saat menggores lontar. Tangan kiri berada di posisi bawah untuk mengalasi atau memegang lontar, sedangkan tangan kanan berada di posisi atas memegang pangrupak seraya menggerakkan jari-jemari tangan sedemikian rupa. Ibu jari dan jari tengah tangan kanan menjepit lembut pangrupak, telunjuk menekan halus saat menggoreskan bentukan aksara. Jempol kiri bertugas mendorong-dorong pangrupak hingga terjadi pergerakan lontar ke arah kanan. Dua jemari tangan kanan lainnya, jari manis dan kelingking, membantu menjaga kestabilan dan berfungsi mensuplai energi kelembutan sehingga tangan tidak mudah lelah.
Dalam menggoreskan aksara Bali dari kiri ke kanan harus dicermati ruang-ruang diantara tiga lubang yang ada di kiri, tengah, dan kanan. Terdapat empat garis yang tersedia di atas rontal. Mulailah menulis dari garis yang memiliki ruang paling sempit, dengan aksara digantung pada garis yang telah disediakan. Perhatikan lebar ruang yang disediakan di antara garis-garis yang tersedia. Berkosentrasi dan menciptalah dengan perasaan halus, lembut, tenang, dan senang. Goresan simbol aksara yang pertama sangat mempengaruhi besar kecil dan kehalusan aksara berikutnya. Karena itu jagalah hati, cerdaskan intuisi dan intekstualitas yang dimiliki. Bernafaslah yang teratur. Lemah lembut dalam ketenangan hati yang menakjubkan. Sekali-kali nikmati bunyi irama yang ditimbulkan oleh goresan yang dibuat. Irama yang mengkhusukkan.
Proses Pembuatan Lempiran Lontar
Lontar terbuat dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama, sampai berabad-abad. Bagi masyarakat Bali, lontar memiliki wibawa, taksu (kekuatan ilahi), dan dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan tidak lepas dari dasar-dasar budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang melahirkannya. Di samping itu, lontar Bali dibuat dengan cara yang saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan kesabaran yang tinggi, dan dalam suasana yang khusuk, sehingga menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai.
Penulisan prosesi daun lontar ini disajikan berdasarkan pengalaman penulis meneliti prosesi pembuatan lempiran lontar dan berdasarkan bahan bacaan yang ada. Pada kesempatan ini penulis sarikan informasi pembuatan lempiran daun lontar sebagaimana yang dilakukan oleh Ida I Dewa Gde Catra di Rumah Pintar Tradisional di bilangan jalan Untung Surapati, Amlapura, di ujung Timur pulau Bali. Berikut penulis sarikan teknik tradisional Prosesi Pembuatan Lempiran Lontar (2010) Bali seperti yang dilakukan budayawan lontar asal Puri Sidemen Karangasem ini.
Ida I Dewa Gde Catra (pelaku prosesi pembuatan lempiran lontar yang paling produktif sampai hari ini di Bali) menyebut helai daun lontar yang dihasilkannya sebagai lempiran. Daun lontar atau lempiran yang dimaksud berbentuk blanko, dihasilkan melalui proses khas teknologi tradisi Bali, selempir demi selempir sehingga menghasilkan pepesan. Satu bendel terdiri dari 100 lempiran. Inilah lempiran lontar kosong yang siap ditulisi. Dinyatakan pula pembuatan lempiran lontar memakan waktu yang relatif lama, rumit, membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Tujuannya adalah mendapatkan mutu lempiran yang baik, bertahan dalam waktu yang panjang, mudah ditulisi, serta bentuknya indah dan rapi.
Sebelum prosesi pembuatan lontar dilakukan, seniman lontar perlu memperhatikan jenis pohon rontal yang akan dipetik daunnya. Pohon rontal yang baik adalah yang telah berumur lebih dari 30 tahun., Pohon tersebut harus tumbuh di tanah yang mengandung kapur, tanah bebatuan seperti tanah lahar, tanah di tepi laut, yang mendapat sinar matahari langsung dari pagi hingga sore. Pohon itu juga sudah pernah disadap niranya, sehingga tidak banyak mengandung sagu. Pohon rontal yang tumbuh di tanah yang subur, daunnya kurang baik dibuat pepesan karena tebal, berserat besar-besar dan kaku.
Masyarakat Bali membedakan pohon rontal atas dua jenis, yaitu rontal luh (betina) yang dapat menghasilkan buah atau tuak (nira) dan rontal muani (jantan) yang tidak menghasilkan buah. Rontal muani berbunga tetapi bunganya tidak pernah menjadi buah. Demikian pula jenis dan kualitas daun pohon rontal berbeda-beda. Pohon rontal yang daunnya luwes, kenyal, serat halus disebut ron tal taluh (telor). Pohon yang daunnya tebal berserat kasar dan kaku seperti kulit binatang disebut ron tal belulang. Sedangkan pohon yang helai daunnya panjang dan lebar disebut dolog (menyerupai senjata dolog, yaitu sejenis golok yang panjang). (pohon rontal, pohon lontar, pohon tal???)
Daun tal yang dipilih untuk prosesi pembuatan pepesan berkatagori panyaja (muda atau menengah). Usia daun tal penyaja diketahui dari kategori hijau daunnya juga ditandai dari posisi kecondongan pelepahnya yang kurang lebih 45 drajat, dengan semua ujungnya panjut (merapat dan sedikit mengering). Sedangkan lontar yang masih muda berupa busung (janur) ataupun yang sudah berupa danyuh/wayah (tua) tidak dapat dimanfaatkan sebagai lempiran pepesan. Pemetikan daun tal untuk pepesan menggunakan joan anggetan (galah yang ujungnya memakai pisau). Daun tal yang berbentuk kipas kangget (dipotong dan dicari ) hanya bagian tengah saja, tidak lebih dari empat sampai enam helai setiap satu pelepah daun tal. Mengingat daun tal cukup tebal dan tiap bilahnya terdiri dari dua helai dalam satu lidi, maka agar benar-benar kering seperti yang diinginkan, tentu proses pengeringannya memakan waktu yang cukup lama. Daun tal harus dijemur di tempat yang terang beberapa kali, sehingga benar-benar renyah (kering benar). Musim petik daun tal yang baik pada sasih kasanga - kadasa (seputar bulan Maret - April), yang disebut kreta masa, dan sasih katiga-kapat (seputar bulan September - Oktober), yang disebut gegadon. Bulan-bulan ini adalah musim kemarau, saat matahari bersinar panas dan langit terang benderang.
Daun tal petik kering yang dipilih untuk pepesan adalah yang bilahnya panjang, lebarnya sesuai, permukaan rata tidak tuludan (berlekak-lekuk), seratnya halus, tidak berbintik-bintik, dan helai daunnya tidak terlalu tebal atau terlalu tipis. Bilah daun tal petik kering dipotong ujung dan pangkalnya dengan ukuran panjang tertentu sesuai dengan keperluan. Ngesit (melepas lidi) dilakukan secara hati-hati agar bilah daun lontar kering petik tidak amis (rusak).
Bilah daun tal kering petik yang sudah kasit (dilepaskan lidinya) dikumpulkan dan ditata sedemikian rupa, kemudian kakum (direndam) selama tiga minggu. Pada minggu pertama air kum berwarna keruh kekuningan dan berbau kurang sedap sehingga harus diganti setiap hari, pagi, dan sore. Pada minggu kedua dan ketiga air kum diganti setiap tiga hari sekali, hingga benar-benar bersih, tidak berbuih, dan tidak berbau lagi. Ngekum (merendam) daun tal kering petik dengan tujuan menghilangkan sagunya, agar hampa tak rapuh (serbukan) yang disukai rayap.
Tiga minggu prosesi ngekum tal telah berlalu. Daun tal diangkat dan di diguyur air bersih, dijemur, ditebarkan sedemikian rapi di tempat yang terang sehingga hari itu juga dipastikan benar-benar kering. Dua hari dua malam diangin-anginkan untuk tiga bulan kemudian baru direbus. Merebus daun tal kering petik memerlukan panci besar, tunggu, kayu api, dan air yang cukup dan harus dijaga dengan saksama. Ramuan bahan pengawet seperti kulit pohon kayu intaran, kayu wong, kulit pangkal pohon kelapa, batang kantewali, daun sambiroto, umbi gadung diparut. Rempah-rempah seperti: lada, merica, jebug harum, dan jebug (buah pinang yang tua) semua dirajang dan kemudian ditumbuk hingga halus menjadi serbuk. Bahan-bahan itu digunakan sesuai dengan jumlah rontal yang akan direbus. Saat perebusan, setiap kali air rebus menyurut petugas harus menambahkan air secukupnya, berulang-ulang hingga lima sampai enam jam. Lebih lama direbus hasilnya lebih baik. Daun tal yang dianggap telah masak jangan langsung diangkat. Biarkan agar dingin dengan sendirinya. Setelah dingin, angkat dan segera jemur di tempat yang lapang dan mendapat sinar matahari penuh. Agar lebih cepat kering, lontar dibolak-balik selembar demi selembar. Setelah merata kering, diangkat perlahan-lahan agar tidak pecah, kemudian dayuhin (diangin-anginkan) di tempat yang teduh. Tiga puluh sampai dengan lima puluh lembar lontar disatukan, diikat ujung, tengah dan pangkalnya, lalu simpan di tempat yang aman, terhindar dari sinar matahari, ujan, hawa panas berlebihan. Lama menyimpan tiga-empat bulan, dan semakin lama disimpan kualitasnya semakin membaik.
Blagbag, pres tradisional untuk lontar yang dibuat dari kayu dengan menggunakan pasak. Alat ini digunakan untuk meluruskan dan memampatkan serat dan rongga-rongga yang kemungkinan masih terdapat pada lontar setelah proses pengeringan. Caranya, daun lontar yang telah direbus dan disimpan berbulan-bulan dimasukkan ke dalam penjepit blagbag secara teratur sesuai dengan panjang lontar masing-masing. Setelah berjumlah seratus, disela dengan penampang kayu (pandalan), demikian juga selanjutnya hingga penuh, sesuai kapasitas blagbag, kemudian pasak dipasang. Setelah beberapa hari lontar mengalami pemampatan, pasak pun akan menjadi longgar, sehingga harus disela dengan pandalan dan dipasak kembali hingga mampat. Proses ini dilakukan berminggu-minggu, kadang berbulan-bulan, hingga rontal benar-benar lurus dan rata.
Pembuatan lontar pepesan didahului dengan pembuatan mal yang dibuat dari daun tal dengan panjang dan lebar yang telah ditetapkan, lalu diisi lubang sebasar jarum. Mal ditempal di atas daun tal, jarum pirit (paser tradisional Bali) ditusukkan pada tengah-tengah lubang kecil mal yang di kiri, kanan, dan tengah. Mirit artinya melubangi lontar di samping kiri, kanan, dan tengah tepat di titik ujung pirit. Lontar yang telah mapirit (berlubang) dimasuki lidi (jelujuh) agar tidak mudah bergerak saat diiris dan dirapikan pinggirannya.
Langkah berikutnya dalam proses pembuatan lontar adalah nepes (menjepit), nyerut (mengetam), dan nyepat (menggaris). Nepes adalah pres terakhir lontar tepesan, nyerut adalah merapikan ujung pangkal dan diisi cat tradisional Bali agar kelihatan indah dan rapi. Sedangkan nyepat adalah pembuatan lontar tepesan siap tulis (gores) dengan pangrupak (pisau tulis tradisional Bali).
Kesimpulan
Lontar sebagai manuskrip masyarakat Bali telah mengangkat citra tradisi peradaban Bali di tengah-tengah intelektualitas peradaban dunia. Manuskrip lontar adalah produk budaya Bali yang kaya makna dan memberikan citra keluhuran dan keunggulan jagat pemikiran masyarakat Bali yang melahirkannya. Warisan dan tradisi lontar telah berusia cukup tua. Di Bali banyak dijumpai lontar yang berumur tua yang memiliki nilai sejarah, filsafat, agama, pengobatan, sastra, dan ilmu pengetahuan tinggi lainnya.
Pewarisan tradisi lontar di Bali berlanjut dari generasi ke generasi. Sebagai tradisi yang hidup, manuskrip masyarakat Bali ini didukung oleh ketersediaan bahan baku yang cukup, kegiatan penulisan lontar yang masih berlangsung, kegiatan pembacaan yang masih semarak, dan penelitian teks naskah lontar yang semakin meningkat.
Sebagai warisan budaya, manuskrip lontar di Bali memiliki karakter antara lain: (a) warisan budaya intelektual (intellectual heritage), (b) tradisi yang masih hidup (living tradition), (c) mudah dipindahkan (moveable), (d) memiliki wujud fisik (tangible) dan non-fisik (intangible), (e) memiliki fungsi dan kedudukan terhormat atau disucikan oleh masyarakat Bali (abstract), dan (g) menjadi salah satu warisan budaya dunia (world heritage).
Secara tradisi, pengarang karya sastra Bali (pangawi) dan penedun (penyalin) lontar adalah para stake holders bahasa, sastra dan aksara Bali. Dalam aktivitas penulisan lontar, para stake holders ini menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1) pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan (alat penjepit lembaran lontar yang akan di tulis terbuat dari bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua sisinya), (3) serbuk tingkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang dibakar sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar, (4) bantalan kasur kecil sebagai alas menulis, (5) dulang kayu (sejenis meja yang bundar) sebagai meja tulis, (6) penggaris dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu menghasilkan urut-urutan aksara Bali yang lurus, rapi dan bersih), (7) penakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (8) kapas atau kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas material penghitam, (9) dan sesajen seperlunya.
Lontar terbuat dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama, sampai berabad-abad. Bagi masyarakat Bali, lontar memiliki wibawa, taksu (kekuatan ilahi), dan dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan tidak lepas dari dasar-dasar budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang melahirkannya. Di samping itu, lontar Bali dibuat dengan cara yang saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan kesabaran yang tinggi, dan dalam suasana yang khusuk, sehingga menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai.
Daftar Pustaka
Agastia, IBG (1985). Keadaan dan Jenis-Jenis Naskah Bali. Yogyakarta: Javanologi.
Catra, Ida I Dewa Gde, ”Prosesi Pembuatan Daun Lontar”, Denpasar: Jurusan Sastra Daerah FS Universitas Udayana .
Medera, I Nengah, dkk. (2005). Pedoman Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Rai Putra, Ida Bagus (2006). ”Teknik Nyurat Aksara Bali untuk Kejuaraan”. Denpasar: PWII Bali.
------------- (2008). ”Tastra Sastra Saraswati”. Makalah diskusi hari suci Saraswati. Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar.
Simpen AB, I Wayan (1973). Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Bali Daerah Tingkat I Bali.
Tim Consultancy Service (1999). BUIP CHC Volume 10. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.