Detail Majalah Online

    Sinurat Ring Merega; Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna

    Tulisan ini bermaksud memetakan hal-hal yang berkaitan dengan kolofon Naskah Sunda Kuna (NSK), mencakup identitas penulis atau penyalin, tempat, dan waktu penulisan naskah. Sebagai titik pijak saya menggunakan penelusuran Munawwar Holil dan Aditia Gunawan (2010) atas NSK koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dengan pertimbangan bahwa di Perpustakaan Nasional tersimpan  NSK dalam jumlah terbesar, di samping yang disimpan oleh masyarakat.
    Untuk menganalisis identitas penu...

    Deskripsi Majalah Online
    JudulSinurat Ring Merega; Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna
    MajalahJUMANTARA
    EdisiVol. 3 No. 1 - April 2012
    Abstrak

    Tulisan ini bermaksud memetakan hal-hal yang berkaitan dengan kolofon Naskah Sunda Kuna (NSK), mencakup identitas penulis atau penyalin, tempat, dan waktu penulisan naskah. Sebagai titik pijak saya menggunakan penelusuran Munawwar Holil dan Aditia Gunawan (2010) atas NSK koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dengan pertimbangan bahwa di Perpustakaan Nasional tersimpan  NSK dalam jumlah terbesar, di samping yang disimpan oleh masyarakat.
    Untuk menganalisis identitas penulis-penyalin, serta tempat dan waktu penulisan NSK, pertama-tama saya  menyajikan tabel yang berisi kode, judul, nama penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan NSK. Kedua, saya  melakukan analisis atas penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan.

    KeywordNaskah Sunda Kuna, Kolofon
    PengarangAtep Kurnia
    SubjekManuskrip
    Sumber
    Artikel Lengkap

    Pendahuluan
    Menurut hasil rekatalogisasi Holil dan Gunawan (2010), Perpustakaan Nasional mengoleksi 63 Naskah Sunda Kuna (NSK). Di samping menerakan jumlah NSK, kedua penulis itu juga melampirkan pemerian NSK yang ada di Perpusnas RI. Dari lampiran tersebut dapat diketahui ada beberapa puluh NSK yang mengandung kolofon di akhir teksnya, karena kedua penulis itu juga menyeertakan manggala atau awal teks NSK dan  kalimat-kalimat yang ada di akhir teksnya. Oleh karena itu, untuk keperluan tulisan ini penelusuran keduanya sangat membantu.
    Saya juga menggunakan berbagai sumber bacaan untuk menambah luas pemahaman, termasuk di dalamnya, transkripsi, transliterasi, dan terjemahan NSK yang selama ini telah dikerjakan para filolog dan peneliti NSK. Selain itu, bahan-bahan bacaan mengenai perikehidupan kegiatan literasi di Jawa Tengah dan Timur, Bali, dan India, sejauh yang saya  baca, juga digunakan sebagai perbandingan untuk membaca identitas penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan NSK.
    Untuk menganalisis identitas penulis-penyalin, serta tempat dan waktu penulisan NSK, pertama-tama saya  menyajikan tabel yang berisi kode, judul, nama penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan NSK sebagaimana yang saya baca pada tulisan Munawwar Holil dan Aditia Gunawan serta bahan-bahan dari bacaan lainnya, yang pada gilirannya ditambahkan pada tabel  yang telah dibuat. Kedua, saya  melakukan analisis atas penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan.

     

    “Beunang Diajar Nulis ”
    Dari tabel di atas, kita berkenalan dengan tujuh nama penulis-penyalin NSK, yakni Buyut Ni Dawit, Kai Raga, Cucu Sang Sida/Buyut Tejanagara, Euncu nu Ngaherang, Buyut Tejanagara, Sang Bujangga Resi Laksa, dan Sang Guguron.
    Ketujuh nama di atas, dengan jelas menunjukkan jenis kelamin berbeda. Ada penulis perempuan dan ada juga laki-laki. Penulis perempuan diwakili Buyut Ni Dawit, sementara penulis laki-laki diwakili Kai Raga dan Sang Bujangga Resi Laksa. Sedangkan Cucu Sang Sida/buyut Téjanagara, Euncu nu Ngahérang, Buyut Téjanagara, dan Sang Guguron belum dapat dipastikan jenis kelaminnya. Mengenai Buyut Ni Dawit, ada keterangan menarik mengapa ia diasumsikan sebagai perempuan. Menurut Saleh Danasasmita, dkk , Buyut Ni Dawit adalah seorang wanita. Selengkapnya Danasasmita menyatakan:

    Bila kata “buyut” berarti cicit, bukan gelar kehormatan untuk pertapa ulung, tentu penyusunnya adalah cicit Ni Dawit tanpa diketahui siapa namanya. Ada petunjuk bahwa pengarangnya wanita, sebab ia bertapa di Gunung Kumbang di pertapaan Ni Teja Puru Bancana. Pada halaman 39 iapun asyik mengisahkan sebuah gisa (lesung) dengan istilah-istilah yang khas untuk wanita seperti “dyangiran”, “dikasayan”, dan “dipesekkan”. Di samping itu, iapun paham benar kelengkapan pakaian bidadari yang tentu dikhayalkannya dari pakaian wanita bangsawan dalam zamannya.

    Untuk memperluas bahasan mengenai keterlibatan perempuan dalam kegiatan baca-tulis dalam NSK, ada baiknya dilihat sumber lain yang terkait dengan hal tersebut. NSK Bujangga Manik, misalnya, dapat kita jadikan salah satu rujukan. Pada baris ke-850 hingga 868 naskah itu, digambarkan Bujangga Manik “digoda” oleh rahib perempuan. Inilah gambarannya:

    850 Datang tiagi (wa)don,             Datang seorang pertapa    perempuan,
          na rua mamarayaeun.            rupanya ingin menjalin     persaudaraan.
          Téka béka mulung lanceuk,    Hingga terus-terang menganggap   kakak,
          carékna: ‘Kaka lanceuking,     katanya: ‘Kakandaku,
          Rakaki Bujangga Manik,         Yang mulia Bujangga Manik,
    855 haup aing ebon-ebon,            kemarilah, aku ini rahib    perempuan,
          aing na pitiagieun,                 aku calon biarawati,
          manan hésé ku mamanéh,     daripada sulit-sulit memikirkan    diri sendiri,
          rusuh ku na panga/wakan,  /16r/ repot karena penampilan badan,
          héman ku na karuaan.’          sayang sekali akan     ketampananmu.’
    860 Carékna Bujan(ga) Manik:      Bujangga Manik berkata:
          ‘Ku ngaing dirarasakeun.        ‘Biarlah kupertimbangkan    dahulu.
          Bawaing apus sata(m)bi,         Kubawa kitab  selengkapnya, 
          Ngaran(n)a na Siksaguru.        Yang berjudul Siksaguru. 
          Carék di na apus téa:             Menurut kitab itu: 
    865 “Kadiangganing ring geni,       "Bagaikan kobaran api, 
          lamun padeukeut deung eu(n)juk,     jika berdekatan dengan  ijuk, 
          mu(ng)ku burung éta seungeut,        sudah pasti terjadi     kebakaran, 
          kitu lanang deungeun wadon”.’          begitulah antara laki-laki    dengan perempuan .”

    Di samping Bujangga Manik, tulisan H.I.R. Hinzler perihal naskah-naskah lontar di Bali  bisa juga dijadikan rujukan. Ketika membahas para penulis atau penyalin naskah (scribes), Hinzler (1993: 464) menyatakan:
    There was no caste or sex restriction on learning to write. References to males and females being able to read and write are to be found in literary texts as well as in the colophons of manuscripts. Literary sources show this as early as the sixteenth century, but data in texts from the nineteenth century are the most abundant.

    Dari uraian Hinzler, tidak ada pembatasan yang jelas [dalam hal kasta dan jenis kelamin]  penulis dan pembaca naskah ketika tradisi itu hidup di Bali, dan agaknya hal itu dapat diparalelkan dengan kehidupan para pembaca dan penulis yang hidup di Jawa Timur, Tengah, dan Jawa Barat, sekiranya tradisi menulis dan membaca naskah masih hidup di wilayah yang bersangkutan. Sebagaimana kita ketahui, tradisi menulis manuskrip di Bali sangat terpengaruh budaya literasi India dan Jawa Timur, terutama setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit, di penghujung abad ke-15. Bila diterapkan pada tradisi menulis NSK, maka hal tersebut pun agaknya tidak akan jauh berbeda.
    Selanjutnya, yang menarik adalah Kai Raga. Nama penulis-penyalin ini agaknya bukan nama sebenarnya. Bisa jadi nama itu adalah nama gelaran. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa naskah yang ditulisnya. Dari keempat naskah yang diakhiri dengan keterangan Kai Raga, terselip naskah yang berisi unsur keislaman, yakni NSK “Wirid” (KBG 75). Menurut Holil dan Gunawan (2010: 146), naskah kertas daluang, bersampul kertas marmer berwarna merah dan berjumlah 12 halaman itu berisi perihal asal-usul terciptanya alam dan manusia, ditulis Kai Raga pada hari Jum’at Kliwon, bulan Muharram.
    Karya yang ditulis Kai Raga tersebut bisa jadi sangat kontras dengan naskah lain yang tertulis atas namanya, misalnya NSK Kropak 420 yang ditulis di atas lontar, beraksara dan berbahasa Sunda Kuna dan berisi dialog yang bersifat moral-religius antara pendeta dengan Pwah Batari Sri sebagai penguasa alam kahyangan. Di dalamnya, diterangkan pula tentang persiapan dan pelaksanaan kegiatan peribadatan. Demikian pula dengan NSK L 423 yang juga ditulis oleh  Kai Raga, di atas daun lontar, beraksara Sunda Kuna dan Cacarakan, berbahasa Sunda kuna, yang  isinya hampir sama dengan NSK L 420.
    Hal tersebut mengindikasikan, bahwa Kai Raga melintasi zaman yang sangat panjang. Kalau dikaitkan dengan  nama satu orang pasti mengandaikan orang  yang berumur sangat panjang, hingga beratus tahun. Oleh karena itu, saya yakin Kai Raga tidak merujuk pada nama seseorang, melainkan kepada nama gelaran. Mengenai hal ini, penelusuran Pleyte mengenai Kai Raga dan tulisan Hinzler dapat digunakan untuk membaca perihal tidak dipentingkannya nama pribadi bagi para penulis-penyalin naskah yang masih berada di bawah bayang-bayang budaya literasi Hindu-Budha.
    C.M. Pleyte menelusuri identitas Kai Raga . Menurut penemuannya, Kai Raga yang menyerahkan beberapa NSK kepada Raden Saleh yang pada tahun 1865 ditugaskan untuk berkeliling Priangan untuk mengumpulkan peninggalan purbakala, termasuk NSK. Kai Raga yang dianggap menyerahkan naskah kepada Raden Saleh adalah cucu Kai Raga yang menjadi pemuka kelompok keagamaan, yang pertapaannya terletak di Gunung Cikuray, Garut. Selain itu, pada 1904, Pleyte berkunjung ke Cikuray. Saat itu, ia mendapat keterangan dari lurah Desa Ciburuy bahwa,  menurut cerita rakyat di sana, pada mulanya nama Cikuray adalah Sri Manganti, yang didasarkan pada nama sebuah kampung yang terletak di lereng sebelah barat gunung tersebut.  Menindaklanjuti perjalanan itu, Pleyte mengirim surat kepada Asisten Residen Garut, C.F.K. Huls van Taxis. Dalam jawabannya, van Taxis menerangkan bahwa Cikuray memang mulanya biasa disebut Sri Manganti. Pada mulanya Kampung Sri Manganti termasuk dalam wilayah Desa Cigedug, namun kampung tersebut tidak dikenal lagi karena telah ditinggalkan penduduknya. Van Taxis juga menyatakan bahwa orang tidak ingat lagi mengenai keberadaan pertapa di tempat tersebut. Mengenai ihwal cucu Kai Raga, sejak tahun 1856, tidak ada lagi keterangan yang lebih lanjut. Pleyte meyakini orang tersebut dipastikan telah meninggal dan tidak meninggalkan keturunan.
    Uraian Kai Raga dapat pula dibandingkan dengan Kiai Windusana yang memelihara dan menuliskan kembali sejumlah naskah Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, dan Jawa Modern di lereng Gunung Merbabu sebagaimana yang ditelusuri I. Kuntara Wiryamartana dan Willem van der Molen . Menurut kedua filolog itu, Windusana hidup di sekitar abad ke-18. Ia dikenal sebagai pendeta tinggi dalam agama Budha dan dilaporkan memiliki ribuan naskah yang aneh. Namun saat Bataviaasch Genootschap mengambil naskah-naskahnya pada tahun 1852, jumlahnya hanya berkisar empat ratusan naskah.
    Selain menyatakan para penulis naskah itu bisa laki-laki maupun perempuan, Hinzler menyatakan dua hal lain yang berkaitan dengan para penulis-penyalin naskah. Pertama, berkaitan dengan kriteria dan profesi penulis-penyalin naskah. Menurut Hinzler, di Bali:

    A Scribe, usually man, was a person of distinction. This is apparent from the colophons of eighteenth and nineteenth-century manuscripts. The rulers of the kingdom employed scribes (manghuri, panyarikan, panulisan) not only of high-caste families, but also of low-caste families . ...
     
    Bila pernyataan tersebut kita tarik kepada kegiatan literasi NSK, maka sebenarnya mengindikasikan bahwa para penulisnya cenderung menyembunyikan nama mereka sebenarnya karena mereka justru sedang menyembunyikan diri dari dunia luar atau cenderung mengasingkan diri, bahkan menolak dunia luar sebagaimana yang dapat kita temukan sosoknya pada diri Bujangga Manik. Mereka kebanyakaan berasal dari kalangan agamawan dan ada juga yang berasal dari kalangan istana. Tidak terbatas hanya pada laki-laki semata, melainkan perempuan pun ikut terlibat di dalamnya, baik karena mereka menjadi anggota kelompok agamawan maupun karena termasuk kalangan istana.

    Giri Sunya
    Dari tabel di atas kita juga dapat berbicara mengenai tempat NSK ditulis. Dari tabel itu nampak bahwa gunung dan sekitarnya, seperti bukit dan puncak gunung (hulu), menjadi pilihan para penulis-penyalin NSK untuk menulis. Dari tabel itu kita juga  mendapatkan nama Gunung Kumbang (Kawih Panyaraman), Gunung Larang Sri Manganti (Carita Ratu Pakuan, Ratu Pakuan, Carita Purnawijaya, Carita Purnawijaya), Gunung Larang Sela (Kawih Panyaraman), Gunung Cikuray (Pitutur ning Jalma, Bimaswarga/Bimaleupas, Sanghyang Swawar Cinta, Kaluputan Sanghyang Darma), Gunung Jedang (Sanghyang Sasana Maha Guru, Sanghyang Hayu, Sanghyang Hayu, Siksa Guru), Giri Sunya (Sanghyang Hayu), dan Gunung Cupu (Sanghyang Hayu).
    Sebagai catatan, sebagaimana yang termaktub pada pembahasan mengenai penulis, dapat diketemukan keterangan bahwa Larang Sri Manganti adalah nama lama Gunung Cikuray. Dengan demikian, kalau dihitung, maka kita mendapatkan delapan naskah yang dalam kolofonnya diterangkan ditulis di Gunung Cikuray.
    Meski banyak yang berlatar gunung, namun ternyata ada dua naskah yang merujuk ke daerah dekat atau di sekitar laut., seperti Naskah Kropak 1 Peti 85 Sanghyang Siksa Kandang Karesian ternyata ditulis di Nusakrata? Dan Carita Jati Mula ditulis di Sagara Wisésa. Kata nusa dan sagara  dengan jelas mengindikasikan daerah yang paling tidak berdekatan dengan lautan.  Namun tetap saja dengan banyaknya nama yang berkaitan dengan gunung mengindikasikan sentralnya tempat tersebut sebagai tempat penulisan NSK. Oleh karena itu, dalam bagian berikut disajikan ulasan mengenai peran gunung dalam peri kehidupan orang Sunda atau Jawa Barat.
    Menurut Agus Aris Munandar , gunung memang dijadikan sebagai tempat keramat bagi kalangan masyarakat yang ada di Jawa Barat. Keyakinan ini tidak saja hidup ketika ke daerah ini hadir pengaruh agama Hindu-Budha, melainkan telah ada sebelumnya, yakni ketika masyarakatnya berada di masa prasejarah. Dari masa prasejarah, terutama dari masa bercocok tanam dan perundagian, di Jawa Barat banyak peninggalan megalitik yang terdapat di wilayah yang bergunung-gunung. Tradisi megalitik ini berkaitan dengan konsep kultus leluhur, yakni pemujaan pada arwah nenek moyang. Adapun tempatnya yang berada  di daerah ketinggian, seperti gunung, menunjukkan bahwa masyarakat prasejarah di Jawa bagian barat percaya bahwa leluhur bersemayam di puncak-puncak gunung, bukit, dan dataran tinggi lainnya. Situs-situsnya, misalnya, situs Gunung Padang di Cianjur, Pangguyangan, Salak Datar, Lebak Sibedug, Arca Domas di pusat Kanekes, Banten Selatan, Batu Lulumpang di Garut, Cipari, Cireme, dan sebagainya.
    Saat memasuki periode pengaruh Hindu-Budha (kurang lebih abad ke-9 hingga abad ke-16), gunung juga begitu sentral perannya. Karena dalam keyakinan kosmologis Hindu-Budha, Gunung Mahameru yang mempunyai empat puncak lain yang lebih rendah dan terletak di tengah benua yang bernama Jambhudwipa dipercaya sebagai pusat alam semesta. Sementara alam semestanya berbentuk pipih melingkar seperti cakram. Gunung tersebut dikelilingi tujuh lautan dan tujuh pegunungan berselang-seling. Di puncaknya terdapat tempat tinggal para dewa, yang dikepalai Dewa Indra. Di kedelapan arah mata anginnya dijaga dewa Astadikpalaka sebagai pelindung alam semesta.
    Demikian pula yang terjadi pada keyakinan kosmologis Budha. Di Gunung Meru terdapat alam berlapis-lapis. Bedanya, di luar lingkaran tujuh pegunungan itu terdapat lagi samudera, yang di tengahnya, pada keempat arah mata angin utama, terdapat empat benua. Benua yang terletak di sebelah selatan Gunung Meru dinamakan Jambudwipa, tempat hidup manusia dan hewan, sementara ketiga benua yang ada di timur, utara, dan barat dihuni oleh mahluk ajaib.
    Keyakinan ini terbawa ke Pulau Jawa, dan tentu saja ke Tatar Jawa Barat, dan kemudian diterapkan pemeluk agama Hindu-Budha yang ada di sana ke dalam lingkungan mereka. Dalam hal ini, Munandar, misalnya, menafsirkan Prasasti Kawali I, terutama baris ke-5 sampai ke-7, berkaitan dengan keinginan Prabu Raja Wastu untuk menyelaraskan purinya dengan gambaran alam semesta menurut ajaran Hindu-Budha. Demikian pula Sri Baduga Maharaja yang membangun gugunungan, seperti yang termaktub dalam Prasasti Batutulis, atau dalam NSK Sewaka Darma terdapat  uraian bahwa para dewata Hindu mempunyai istana yang indah di Gunung Kendan, Medang, dan Menir.
    Oleh karena kekeramatan itulah, gunung dan tempat-tempat di sekitarnya dijadikan tempat tinggal, pengamalan keagamaan, dan penyebaran ilmu oleh kalangan agama Hindu dan Budha, yang disokong serta dilindungi kekuasaan kerajaan yang ada di Tatar Jawa Barat. Dalam beberapa hal, bagaimana penguasa melindungi situs yang ada di gunung dan sekitarnya, yang dijadikan tempat penyebaran ilmu keagamaan khususnya dapat terlihat dari sepak terjang Rakeyan Darmasiksa, Prabu Jayadewata, dan Prebu Niskala Wastukancana. Rakeyan Darmasiksa dalam NSK Kropak 632 (Amanat Galunggung) menegaskan pentingnya memelihara kabuyutan atau tempat yang dikeramatkan karena menjadi pusat pengamalan serta penyebaran ilmu keagamaan, terutama Kabuyutan Galunggung. Ia menyatakan [Terjemahan dari pernyataannya?]:  

    “Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan kekuasaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, para pedagang (orang asing) yang akan merebut Kabuyutan di Galunggung ”

    Hal itu karena dengan dikuasainya Kabuyutan Galunggung, maka orang yang menguasainya akan beroleh manfaat dari sana, seperti: memperoleh kesaktian dari tapa, unggul dalam berperang, dan lama berjaya. Kabuyutan itu akan dikuasai orang lain karena telah ditinggalkan rama dan resi, dua dari tiga unsur “trias politika” Sunda kuna. Dengan demikian, kabuyutan itu harus dipertahankan sekuat tenaga, bahkan sampai titik darah penghabisan. Nasihat Rakeyan Darmasiksa juga sekali lagi menekankan pentingnya Kabuyutan Galunggung:

    “Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di sana....Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain .”

    Hal ini pun diperjelas dalam NSK Kropak 406 (Carita Parahyangan), yang menyatakan bahwa Rakeyan Darmasiksa adalah raja Sunda yang mendirikan lembaga pendidikan bernama Sanghyang Binayapanti, dengan kompleks pendidikannya yang  disebut kabuyutan. Selain itu, Rakeyan Darmasiksa, yang digambarkan sebagai titisan Dewa Wisnu, menjamin keberlangsungan kehidupan keagamaan, baik  yang menganut kepercayaan kepada leluhur (ngawakan jati Sunda) maupun yang memeluk agama lainnya. Dan yang lebih penting, ia mendorong berlangsungnya tradisi baca-tulis atau literasi di kalangan agamawan, sekaligus juga di kalangan istana .
    Hal serupa juga dilakukan Prabu Jayadewata. Pada Prasasti Kabantenan (E.42-43) ia mengamanatkan kepada rakyatnya untuk menjaga dan memelihara Jayagiri, Sunda Sembawa, dan tanah Dewa Sasana yang berada di Gunung Samaya sebagai  daerah yang tidak boleh diganggu gugat. Wilayah tersebut juga tidak boleh dikenai pajak karena merupakan daerah larangan, tempat tinggal para wiku. Yang mencoba mengganggu daerah-daerah tersebut diperintahkan untuk dibunuh. Dalam Prasasti E-44 daerah larangan itu disebut dengan nama kabuyutan dan kawikuan.
    Dalam Kropak 406 (Carita Parahyangan) pun ada gambaran penguasa Sunda yang berdedikasi tinggi pada kehidupan keagamaan sekaligus kegiatan literasinya, yaitu Prebu Niskala Wastukancana. Pada masa Kerajaan Sunda diperintah oleh raja yang merupakan adik Dyah Citraresmi yang gugur di Bubat, Kerajaan Sunda mengalami kejayaan. Salah satu bukti kejayaannya: sang resi dapat tenteram melaksanakan tugas kependetaannya, menjalankan kebiasaan leluhur ... dan sang wiku tenteram melaksanakan atau menunaikan undang-undang dewa (Sang resi  enak ngaresianana, ngawakan na purbatisti purbajati .... Sang wiku enak ngadewasasana, ngawakan sanghyang Watangageung,  enak ngadeg manurajasunyia).
    Kabuyutan-kabuyutan yang dikenal selama ini antara lain: Kanekes (Banten), Koleang, Jasinga (Bogor), Sanghyang Tapak (Sukabumi), Sunda Sembawa dan Jayagiri (Bekasi?), Cisanti (Bandung), Wanareja dan Ciburuy (Garut), Galunggung (Tasikmalaya), dan Kawali (Ciamis). Dari sekian nama kabuyutan itu yang dikenal sebagai tempat penulisan NSK, karena secara jelas atau tertulis dalam NSK atau tempat diperolehnya sejumlah NSK seperti yang diinventarisasi oleh Gunawan dan Holil (2010), yakni Kabuyutan Ciburuy dan Kabuyutan Wanareja di Garut, Kabuyutan Kawali di Ciamis, Kabuyutan Cisanti di Bandung, dan Kabuyutan Koléang, Bogor.
    Dari Kabuyutan Koleang antara lain ditemukan NSK Kropak 1095 (Langgeng Jati), 1097 (Carita Jati Mula), 1099 (Pakéeun Raga), 1101 (Sasana Sang Pandita), 1102 (Para Putera Rama dan Rahwana), 1103 (Serat Jati Niskala), 1104 (Primbon), jeung Kropak 105. Ti Cisanti, Bandung, aya Kropak 620 (Tutur Bwana), 621 (Sanghyang Sasana Maha), 622 (Warugan Lemah), 623 (Bimaswarga), 624 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), 625 (Sri Ajnyana), dan Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta).
    Dari kabuyutan yang ada di Garut, antara lain ditemukan NSK Kropak 610 (Pitutur ning Jalma), 633 (Siksa Guru), 634 (Sanghyang Hayu), 635 (Sanghyang Hayu), 636 (Sanghyang Hayu), 637 (Sanghyang Hayu), 638 (Sanghyang Hayu), 639 (Serat Buana Pitu), 641 (Arjunawiwaha), dan Kropak 642 (Siksa Guru). Ke sebelah timurnya, ke Ciamis, ditemukan Kropak 406 (Carita Parahyangan & Fragmen Carita Parahyangan), 407 (Carita Raden Jayakeling), 408 (Kawih Panyaraman), 409 (Kapaliasan), 412 (Fragmen Carita Parahiyangan), 413 (Ajaran Islam), 414, 415 (Mantra Darma Pamulih), 416 (Carita Purnawijaya), 418 (Nur Illahi), 422 (Jatiniskala), 423 (Carita Purnawijaya), Naskah Bambu 426 B (Kaleupasan), Naskah Bambu 426 C (Sanghyang Jati Maha Pitutur), 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), dan Kropak 631 (Candrakirana).
    Pada tataran praktisnya, menurut Edi S. Ekadjati , ada tiga jenis kegiatan yang dilakukan di kabuyutan. Pertama, melakukan upacara ritual. Kedua, melaksanakan pendidikan. Ketiga, mendalami dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan (agama). Jenis kegiatan pertama antara lain dalam bentuk mendoakan raja serta pejabat negara dan rakyat pada umumnya, menyelenggarakan dan memimpin upacara ritual, dan membaca teks-teks keagamaan. Untuk keperluan itu pejabat negara dan masyarakat umum sering datang ke kabuyutan dan sebaliknya penghuni kabuyutan sering pula diundang ke wilayah negara. Mengajarkan pengetahuan agama, mendidik anak-anak calon pendeta, memberi nasihat orang, memberi contoh cara hidup di mandala termasuk jenis kegiatan kedua (pendidikan).
    Anak-anak dan orang muda yang memilih kegiatan keagamaan sebagai jalan hidupnya memasuki kompleks dan menjadi siswa (sisya) di kabuyutan untuk menerima berbagai ilmu pengetahuan (agama) dan tata cara hidup sebagai penghuni kabuyutan. Mendalami ilmu pengetahuan (agama), mengarang suatu ilmu pengetahuan, dan menulis naskah (asli atau salinan) tergolong kegiatan intelektual.
    Selanjutnya Ekadjati menjelaskan mengenai bahan ajar dan spesialisasi guru-guru yang ada di kabuyutan. Ia menjelaskan bahwa bahan ajarnya berupa berbagai pengetahuan agama (Hindu-Budha) dan ajaran hidup yang berasal dari intisari pengalaman, aturan, dan renungan para leluhur (patikrama). Berbagai pengetahuan tersebut telah dikuasai oleh para guru yang kemudian disampaikannya secara lisan dan tertulis kepada siswa-siswanya. Di antara guru-guru itu ada yang memiliki spesialisasi pengetahuan, seperti: brahmana menguasai aneka macam mantra, pendeta menguasai pustaka, janggan menguasai berbagai jenis upacara ritual, pratanda menguasi ilmu agama dan parigama.
    Sebagaimana uraian Ekadjati di atas, hasil akumulasi ilmu pengetahuan tersebut, baik yang ada di kabuyutan sendiri maupun yang datang dari luar, kemudian diwujudkan dalam bentuk karya tulis. Media tulisnya terdiri atas beberapa jenis bahan (lontar, nipah, kelapa, aren, pandan, bambu), sedangkan alat tulisnya berupa pisau pangot, kalam, dan tinta. Penulisan itu merupakan tugas pendeta yang menjadi penanggungjawabnya.
    Di sana juga terlihat lalu-lintas naskah antar satu kabuyutan dengan kabuyutan lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya rahib atau pendeta pengelana yang (berkelana?) sambil belajar dari satu kabuyutan ke kabuyutan lain, yang tidak hanya berada di Jawa Barat saja, namun ada juga yang berada di luar Jawa Barat. Jadi, memang terjadi penulisan, penyalinan, penerjemahan, penyaduran naskah-naskah yang dihasilkan dari daerah lain dan kemudian dibawa oleh para rahib pengelana tersebut ke Tatar Jawa Barat. Contoh rahib pengelana ini adalah tokoh Bujangga Manik atau Perebu Jaka Pakuan atau Ameng Layaran yang berkeliling Pulau Jawa dan Bali. Dari Jawa Barat, ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan melintasi Pulau Bali untuk belajar keagaamaan. Dalam perjalanan tersebut memang Bujangga Manik tidak terlepas dari naskah-naskah yang dibawa dan dibacanya.
    Dengan kehadiran nama-nama tempat yang berkaitan dengan pulau dan laut dapat diduga bahwa, pada prinsipnya, yang diutamakan adalah keberjarakan dari dunia ramai. Seperti yang kita saksikan dari peri kehidupan Bujangga Manik yang dalam perjalanannya senantiasa mencari tempat-tempat sepi, karena keramaian itu akan terasa mengganggunya. Dalam beberapa adegan, misalnya, ia memang mencari tempat-tempat sepi.

    Titimangsa
    Dari tabel di atas juga dapat dibahas mengenai titimangsa atau waktu penulisan NSK, karena  nampak bahwa pada NSK terdapat keterangan hari, bulan, dan tahun.
    Pada praktiknya, para penulis-penyalin NSK ada yang hanya menyertakan hari saja, seperti yang dapat kita temukan pada NSK sebagai berikut: Kropak 622 (Warugan Lemah), Rabu Manis. Namun ada juga yang menyertakan hari dan bulan, yakni Kropak 1** (Sanghyang Siksa Kandang Karesian) bulan ke-10, Selasa Manis dan Kropak KBG 75 (Wirid), Jum’at Kliwon, bulan Muharam. Yang menyertakan bulan saja bisa dikatakan merupakan yang paling banyak bila dibandingkan dengan yang menyertakan hari maupun tahun. NSK berikut memakai bulan saja sebagai titimangsa penulisan NSK: Kropak 621 (Sanghyang Sasana Maha Guru) ditulis pada bulan ke-4;  Kropak 623 (Bimaswarga/Bimaleupas), bulan ke-1; Kropak 625  (Sri Ajnyana), bulan ke-8; Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta), bulan ke-8; dan Kropak 633 (Siksa Guru), bulan ke-10.
    Sementara yang memakai keterangan tahun ada: Kropak 634 (Sanghyang Hayu), 1445 S (± 1523 M); Kropak 641 (Arjuna Wiwaha), 1256 S (1334 M); dan Kropak 642 (Siksa Guru), Tahun Saka hlar twa ya wu? Ada pula yang hanya campuran antara bulan dan tahun, yang terdapat pada Kropak 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian) bulan ke-3, 1440 Saka (1518 M). Sementara Kropak 638 (Sanghyang Hayu) terbilang yang paling lengkap menyertakan hari, bulan, dan tahun penulisannya, yaitu dimulai Selasa Kliwon, bulan ke-7, selesai hari Pon bulan ke-9, 1357 S (± 1435 M);
    Dari paparan di atas nampak beberapa kenyataan yang patut dibahas secara luas dan  mendalam. Pertama, nampaknya tidak ada aturan yang ketat, dalam artian tidak ada keharusan atau kewajiban untuk mencantumkan  titimangsa pada umumnya NSK, sehingga   terkesan arbitrer alias sewenang-wenang, tergantung pada penulis-penyalin naskahnya.
    Kedua, kesewenang-wenangan itu juga terjadi pada pemilihan unsur waktu yang dicantumkan ketika penulis-penyalin NSK memberikan keterangan waktu penulisan. Hal itu terbukti dari tabel di atas. Pemilihan unsur waktu penulisan NSK sangat acak, dalam artian bahwa ada yang  hanya yang memakai hari, bulan, atau tahun saja, namun ada juga yang mencantumkan campuran dua sampai tiga unsur waktu, dan ada yang mencantumkan  campuran hari dengan bulan, hari dengan tahun, bulan dengan tahun. Ada juga yang bisa dikatakan lengkap menyebutkan ketiganya.
    Ketiga, penggunaan candrasangkala atau kronogram. Penggunaan kode-kode ini memang biasa dilakukan oleh para penulis-penyalin naskah-naskah di India. Para penulis-penyalin naskah di India biasanya memberikan catatan penomoran dengan menggunakan kata-kata dan huruf-huruf. Mengenai hal ini George Buhler menyatakan :

    In many manuals of astronomy, mathematics and metrics, as well as in the dates of inscriptions and of MSS, the numerals are expressed by the names of things, beings or ideas, which, naturally or in accordance with the teaching of the Sastras, connote numbers.

    Sementara untuk penomoran yang menggunakan huruf, Buhler menyatakan:

    Two system of numeral notation, according to Burnell originally South-Indian, which both employ the phonetically arranged characters of the alphabet, have still to be described, as they are not without interest for paleography.

    Dalam hal ini Buhler memberikan contoh dari angka 0 hingga 49, meskipun ada yang ia lewati. Angka 0 bisa diwakili oleh kata Sunya,  Ambara, Akasa, dan Ananta. Angka 1 diekspresikan dengan rupa, indu, sasi, sitarasmi, bhu, mahi,  adi, nayaka, dan tanu. Angka 9 digambarkan dengan anka, nanda, cidra.
    Pada penomoran menggunakan huruf, Buhler menyatakan ada dua sistem yang dipakai. Sistem pertama dianggap hanya huruf-huruf konsonan yang tak mempunyai huruf vokal yang penting, seperti pada huruf k=1, kh=2,  t=6, th=7, y=1, dan m=5. Sistem kedua memakai konsonan bervokal untuk penomoran, seperti huruf  ka  hingga ke  la  yang berarti sama dengan 1 hingga 34, atau ka sampai kah yang sama dengan 1 hingga 12.
    Baik penggunaan kata-kata maupun huruf, keduanya, selain digunakan untuk penonoran halaman naskah, juga digunakan untuk memberikan titimangsa penulisan naskahnya. Untuk contoh penggunaan dari kata-kata, Buhler memberikan contoh dari Pancasiddhantika, 4, 44: kha – kha- veda- samudra= 0-0-4-4-1=14400. Sementara untuk penggunaan huruf, Buhler memberikan contoh dari Sarvanukramani:

                                                 2 3     1    565     1
                                                 khago=ntyan=mesam=apa

    Penggabungan angka-angka di atas nilainya sama dengan 1565132, yang mengandung arti penulis-penyalinnya memaksudkan angka-angka itu pada masa-masa selepas masa awal Kaliyuga, yang menghasilkan pada musim semi yang siang maupun malamnya hampir sama waktunya (vernal equinox), 24 Maret 1184 Masehi, sebagai tanggal diselesaikannya.
    Keterangan ini bisa menjadi jalan memahami kehadiran kata-kata maupun huruf-huruf yang digunakan pada akhir sejumlah NSK. Untuk Kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian), misalnya, di akhir naskahnya terdapat kata-kata nora catur sagara wulan yang sama dengan tahun 1440 Saka atau, bila dikonversi ke penanggalan masehi, menjadi 1518 Masehi. Demikian juga pada naskah NSK Kropak 634 (Sanghyang Hayu) terdapat kata-kata panca warna catur bumi  yang artinya 1445 Saka, atau 1523 Masehi. Dalam NSK ditemukan juga kata-kata yang belum ditemukan artinya, seperti NSK Kropak 408 (Sewaka Darma) yang mengandung kata-kata akhir nanu namas haba jaja atau NSK Kropak 642 (Siksa Guru) yang diakhiri dengan kata-kata hlar twa ya wu?
    Sugan aya sastra leuwih suda baan, kurang wuwuhan.

    Cibiru, Maret-April 2012

    Daftar Pustaka
    Atja (1968). Tjarita Parahijangan Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Nusalarang.
    Atja (1970). Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda-Kuno dari Lereng Gunung Tjikuraj. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.
    Buhler, George (1980). Indian Paleography. New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation
    Danasasmita, Saleh dkk. (1987). Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan”. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan Nasional
    Darsa, Undang A.  dan Edi S. Ekadjati (2003). “Fragmén Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406)”. Séri Sundalana 1: Tulak Bala. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda (PSS).
    Darsa, Undang A. (2007). “Carita Ratu Pakuan (Kropak 410): Suntingan dan Terjemahan Naskah Sunda”. Seri Sundalana 6: Menyelamatkan Alam Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda .
    Edi S. Ekadjati (2004, 20 Nopember). “Pendidikan di Tatar Sunda I”. HU Pikiran Rakyat.
    Gunawan, Aditia & Munawwar Holil (2010). “Membuka Peti Naskah Sunda Kuna di  Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi”. Seri Sundalana 9: Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda
    Hinzler, H. (1993). “Balinese Palm-Leaf Manuscripts”. BKI 149 No. 3.
    Molen, W. Van der dan I. Wiryamartana (2001). “The Merapi-Merbabu Manuscripts: A Neglected Collection”. BKI 157 No. 1.
    Munandar, Agus Aris (1991). “Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan Karya Sastra”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, Bogor, 11-13 Nopember.
    __________ (2001). “Sebaran Situs Arkeologi di Jawa Barat: Tinjauan Terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan”. Makalah Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I, Bandung, 22-24 Agustus 2001, dan kemudian dimuat dalam Prosiding KIBS 1 Jilid 1 (2006).
    Noorduyn, J. & A. Teeuw (2009). Tiga Pesona Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan, teks Sunda kuna oleh Tien Wartini dan Undang A. Darsa,  dari Three Old Sundanese Poems (2006). Jakarta: Pustaka Jaya.
    Pleyte, C.M. (1914). “Poernawidjaja’s Hellevaart of de Volledige Verlossing”. TBG No. 56.

     

     

    Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

    Jumlah pengunjung