Detail Majalah Online

    Penentuan tajuk entri utama nama-nama Indonesia berdasarkan pola nama Indonesian dan kebiasaan penulisan di bahan perpustakaan

    Entri utama adalah entri yang digunakan dalam suatu kartu utama, biasanya merupakan sebuah tajuk. Dalam makalah ini istilah entri utama diperlakukan sinonim dng kata utama. Makalah ini juga membahas mengenai nama dilihat dari segi ilmu perpustakaan, yang muncul berdasarkan penggunaan nama dalam kehidupan sehari-hari ditambah dengan penulisan nama-nama dalam berbagai bahan pustaka. Nama-nama Indonesia memi...

    Deskripsi Majalah Online
    JudulPenentuan tajuk entri utama nama-nama Indonesia berdasarkan pola nama Indonesian dan kebiasaan penulisan di bahan perpustakaan
    MajalahVisi Pustaka
    EdisiVol. 05 No. 1 - Juni 2003
    Abstrak

    Entri utama adalah entri yang digunakan dalam suatu kartu utama, biasanya merupakan sebuah tajuk. Dalam makalah ini istilah entri utama diperlakukan sinonim dng kata utama. Makalah ini juga membahas mengenai nama dilihat dari segi ilmu perpustakaan, yang muncul berdasarkan penggunaan nama dalam kehidupan sehari-hari ditambah dengan penulisan nama-nama dalam berbagai bahan pustaka. Nama-nama Indonesia memiliki berbagai pola ditambah dengan kebiasaan penulisan nama pengarang dalam berbagai bahan perpustakaan akan berpengaruh terhadap penentuan kata utama. Kata utama nama-nama Indonesia adalah bagian terakhir nama dengan beberapa pengecualian. Ketentuan ini perlu disebarluaskan agar penulisan daftar kepustakaan diberbagai literatur primer dan sekunder serta karya ilmiah yang mengharuskan pemuatan karya yang dirujuk, untuk menganut taat asas yaitu bagian terakhir nama akan menjadi kata utama.

    KeywordTajuk entri, Nama Indonesia, Bahan Perpustakaan
    PengarangSulistyo-Basuki
    SubjekTajuk subjek
    Sumber
    Artikel Lengkap
    1. Pendahuluan
     
       Nama merupakan bagian dari kegiatan pustakawan, terutama pada waktu mengkatalog  bahan perpustakaan . Katalog, bibliografi, majalah indeks dan abstrak yang dibuat pustakawan harus menunjukkan kepada sebuah nama yang seragam sehingga semua bahan perpustakaan  yang ditulis oleh masing-masing pengarang dapat ditelusur tanpa memandang pokok soalnya Pustakawan juga menjumpai kenyataan bahwa banyak nama ditulis dalam bentuk nama yang berlainan, baik nama samaran, nama asli dalam berbagai bentuk, frase maupun nama disertai dengan berbagai inisial. Situasi tersebut mendorong pustakawan untuk membuat peraturan menyangkut nama pengarang. Hal tersebut di Indonesia  terasa ketika pemerintah membuka Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan pada tahun 1952, maka dirasakan perlu untuk menyusun peraturan katalogisasi untuk nama-nama Indonesia guna pengajaran serta pembekalan bagi pustakawan Indonesia.
     
       Entri utama di sini adalah entri yang digunakan dalam sebuah kartu utama biasanya merupakan sebuah tajuk. Dalam makalah ini istilah entri utama diperlakukan sinonim dengan kata utama.

    2. Penelitian sebelumnya
     
    Penelitian nama dapat dilakukan dari berbagai sudut displin misalnya disiplin Antropologi, Geografi, Sejarah maupun Ilmu Perpustakaan. Makalah ini membahas mengenai nama dilihat dari segi Ilmu Perpustakaan, yang muncul berdasarkan penggunaan nama dalam kehidupan sehari-hari ditambah dengan penulisan nama dalam berbagai bahan pustaka.

    2.2. Perundang-undangan

        Ketentuan nama sudah lama dikenal di Indonesia. Misalnya semasa kerajaan Majapahit ada kebiasaan menggunakan nama bintang sebagai nama diri diri misalnya Kudamerta, Banyakwide, Dandanggendis, Lembu Ampal, Gajah Mada dll.  Semasa kesultanan Banten, Sultan Haji (1682 - 1687) memerintahkan semua orang Banten harus pakai nama Arab  . Semasa Belanda berkuasa pada tahun 1864 dalam Gouvernments Besluits tgl 4 Oktober 1864  no. 13 (Staatsblad no. 142) dikeluarkan peraturan pendaftaran nama untuk orang pribumi Kristen (Inlandsche Christenen)  .Peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah  Hindia Belanda walaupun secara tidak langsung mengenai nama termuat dalam  Agrarische Eigendomrect vervanging van Indische orfelijk individual grondbezit door eigendom (Staatsblad th 1872 no. 117) . Peraturan tersebut dikeluarkan karena adanya perubahan nama kecil (nama sejak kecil) menjadi nama tua. Dalam permohonan orang-orang yang ingin memiliki tanah supaya pemohon mencantumkan nama kecilnya. Peraturan  lain ialah ketentuan pemilihan nama (naam aanneming) dimuat dalam Staatsblad 1920 no. 751 tgl 1 Oktober 1920 juncto Staatsblad 1927 nomor 564, mulai berlaku sejak 1 Januari 1926.  Ki Hadiwijana mengatakan bahwa nama kaum (famili) jang telah diatur oleh Pemerintah Negara sejak th 1925 berlaku bagi bangsa Indonesia diluar keradjaan Djawa  Peraturan lain yang mengatur soal nama terdapat pada Staatsblad 1917 - 130 juncto 1918 - 81 mulai berlaku sejak 1 Mei 1919 . Tahun 1961 keluar Undang-Undang no. 4/1961 tentang perubahan atau penambahan nama keluarga. UU tersebut berlaku bagi warganegara Indonesia yang tunduk pada hukum sipil, mulai berlaku sejak 25 Februari 1961. Semasa Orde Baru keluar Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudajaan no, 17485 tgl 18 Juli 1961 yang antara lain berbunyi:
    Mengenai nama panggilan, chusus dimintakan   perhatian agar membuang
    kebiasaan mempergunakan bentuk diminutif (kata panggilan)  keBelanda2an atauKeBarat2an sebagai misal Fransje, Mieke, Mientje, Wiesje, Wimpie dsb dan panggilan terhadap Ibu Bapak dengan
    Mammie, Papie atau Mummy and Daddy. Panggilan2  tsb. mungkin terdengar manis bagi orang Belanda / Inggeris tetapi tidak akan meresap djiwa Indonesia. 
     
       Pada zaman Jepang keluar peraturan yang menyatakan bahwa nama tua harus ditambahkan pada nama kecil sehingga setiap orang Jawa mempunyai nama  yang terdiri atas 2 bagian yaitu nama kecil dan nama tua   Semasa awal Orde Baru keluar Keputusan Presidium Kabinet Ampera no. 17/U/Kep/12/ 1966 tentang peraturan ganti nama bagi warganegara Indoensia jang memakai nama Tjina.

    2.3. Penelitian sebelumnya
     
    Penelitian tentang nama telah dilakukan selama  ini misalnya oleh Kohlbrugge , Prijono , Alwi Dahlan , artikel pendek dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie , Colebrooke  mengenai nama-nama Islam, Snouck Hurgronje , dan Kreemer  mengenai nama-nama Aceh, Mansveld mengenai nama-nama di dataran tinggi Agam , Loeb  dan Marsden  menguraikan sedikiit tentang pemberian nama di Sumatera, Wijngarden mengenai nama pada suku Batak Karo , Siahan  dan Radjabungaran  mengenai nama pada suku Batak, Poensen  dan Geertz  yang menulis sedikit tentang nama-nama Jawa, nama-nama Bali ditulis oleh Geertz  dan Covarubias , Djamour menulis tentang nama-nama Melayu  sedangkan nama-nama Minahasa diteliti oleh Wilken .
     
    Dari segi Ilmu Perpustakaan dalam kaitannya dengan katalogisasi, penelitian dilakukan oleh Roesina Pamuntjak , Made Nata, Notoprajitno dan Soedardi , Moeksan tentang nama-nama Jawa , nama-nama Melayu oleh Kho Lian Tie  sedangkan nama-nama Indonesia diteliti oleh Tairas , Pendit , Rony  dan Sulistyo

    3. Pola  nama-nama Indonesia
     
    Nama-nama Indonesia dapat digolongkan menjadi 6 golongan  atau  7 golongan , 8 golongan  bahkan 20 golongan . Untuk memudahkan pembahasan, dalam makalah ini nama-nama Indonesia digolongkan menjadi 6 kelompok  yaitu (1) Nama diri, (2) Nama tua, (3) Nama keluarga, (4) Nama wanita yang sudah kawin,(5) Nama dengan pola khusus dan sebutan tambahan pada nama.

    3.1. Nama diri

    Nama ini dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu nama diri tunggal, nama diri diikuti inisial dan nama diri majemuk bukan nama keluarga.

    3.1.1. Nama diri tunggal
     
    Nama diri tunggal ialah nama yang terdiri atas sebuah nama saja. Nama ini biasanya diberikan pada seseorang waktu kelahirannya dan biasanya dipakai terus sampai mati. Nama diri dapat diubah karena berbagai alasan misalnya karena sakit-sakitan atau nama dianggap terlalu "berat" atau karena alasan kepercayaan.  Nama diri terdapat diseluruh wilayah Indonesia. Beberapa nama diri dapat diidentifikasi menurut jenisnya misalnya nama yang berakhiran -ti, --wati, --ningsih,--ah, --yah, --nem, ---putri merupakan nama wanita

    3.1.2. Nama diri diikuti inisial 

     Jenis nama ini lazimnya terdapat pada dokumen. Inisial dapat berupaa satu huruf atai lebih. Dilihat dari pengkatallogan, sulit untuk mengetahui nama diri. Contoh:  Marga T
       Abdulhadi W.M.
    3.2.. Nama diri majemuk bukan nama keluarga

     Nama diri majemuk ialah nama diri yang diberikan pada seseorang sejak kelahirannya, terdiri dari dua bagian nama atau lebih yang merupakan satu kesatuan nama. Dalam hal ini nama bagian terakhir diperlukan sebagai bukan nama keluarga sedangkan nama yang jelas mengandung nama keluarga dan sejenisnya akan dibahas pada butir 3.3. Nama diri  majemuk bukan nama keluarga dapat dibagi lagi menjadi nama majemuk yang merupakan nama-nama Islam, nama-nama bukan Islam dan gabungan antara nama Islam dnegan nama bukan Islam. Misalnya pada kelompok pertama terdapat nama seperti Muhammad Syamsuddin, Amir Hakim, Muhamad Isa; pada kelompok kedua terdapat nama seperti Djoko Pranoto, Bambang Sanggota dll Kelompok ketiga merupakan campuran seperti Mohammad Diponegoro, Gunawan Mohamad, Abu Kiswo dll.

    3.3.. Nama tua

    Nama tua ialah nama yang dipergunakan seseorang setelah dewasa atau setelah berkeluarga, lazimnya terdapat di Jawa dan Madura . Biasanya setelah memperoleh nama tua, nama kecil menjadi jarang disebut, ada kalanya ditulis sebagai inisial, bahkan kadang-kadang merupakan tabu untuk disebut. Loeb menulis
    Not only it is forbidden to mention the name of the superiors but
    their names remain taboo after they are dead. It is even forbidden
    to make use of words which contain syllables which were part of the name of former radjasThus in Tanah Djawa, a district in Timur (Toba), it is forbidden to use any word which begins or ends in `hor'. One must therefore called a karabau (horbo) si ranggas. One dare not use common word tuhor for buying but boli, instead. .  :..
    Pada etnis Jawa tidak terdapat kebiasaan menggunakan nama keluarga namun dikenal sejenis pemberian nama yang mirip dengan nama keluarga, dikenal dengan sebutan nunggak semi. Nunggak semi ialah kebiasaan memakai nama tua dari orang tua, dapat dilakukan secara paripurna, sebahagian dan gabungan antara dua nama tua.

    3.4. Nama keluarga

     Nama ini terdiri dari 3 bagian nama atau lebih selalu diakhiri dengan nama keluarga. Penggunaan nama keluarga terdapat di Nusa Tenggara Timur, Ambon, Irian, Boloang Mongondow, Minahasa dan Sangir Talaud. Dalam kelompok ini termasuk pula nama marga dari etnis Batak meliputi 6 subsuku yaitu Toba, Angkola, Mandailing, Simelungun, Dairi atau Pakpak-Dariri, dan Karo

     Penggunaan nama keluarga  dilakukan oleh keluarga bangsawan seperti Djajadiningrat, Pusponegoro, Tedjasukmana dan lain-lain serta keluarga yang menggunakan nama orang tuanya atau nama tua orang tunya sebagai nama keluarga. Contoh Djojohadikusumo, Sastroamidjojo, Djiwandono dll.
     
    Pada kelompok ini termasuk juga nama yang menggunakan kata sambung yaitu sebuah kata yang menghubungkan nama diri dengan nama ayah dan atau nama nenek moyangnya pada generasi yang lalu.  Kata yang digunakan ialah bin, binti, binte, ben, ibn

    3.4. Nama wanita yang sudah kawin.

     Bagi wanita yang sudah kawin, penggunaan namanya sesudah kawin akan bervariasi. Ada yang tetap mempertahankan nama seperti sebelum menikah seperti Aisyah Amini ada yang menggunakan nama ayah (Dewi Fortuna Anwar),  ada yang menggunakan nama suami dengan tambahan sebutan Nyonya atau kadang-kadang Ibu..., ada yang menggunakan nama diri di tambah nama keluarga suami (misal Charlotte D. Pusponegoro, Caroline Maria Tedjanegara), nama diri ditambah dengan nama suami (contoh Nelly Adam Malik, Karminah Supardjo) lalu nama diri ditambah dengan nama keluarga suami diikuti tanda hubung lalu menyusul nama keluarga isteri. Contoh:
      Magdalena Pinajungan-Mahdi
      Itje Sastrodarmodjo-Sinambela
      Roesina Sjahrial-Pamuntjak

    3.5. Nama  dengan pola  khusus.

     Jenis nama-nama ini punya ciri khas, sedikit banyak dipengaruhi oleh kebudayaan atau kebiasaan kelompok etnis maisng-masing.

    3.5.1. Sebutan yang menunjukkan urut-urutan dalam keluarga.

    Nama seperti ini terdapat di Bali yang mengenal sebutan yang menunjukkan urut-urutan dalam kelahirannya. Sebutan tersebut berlaku dari anak pertama sampai keempat selanjutnya dimulai lagi dari sebutan pertama. Anak pertama disebut Wayan dari kata wayahan artinya paling tua, untuk anak wanita sering digunakan sebutan Luh..   Covarrubias mengatakan anak pertama dari kasta Sudra disebut wayang sedangkan dari kasta lebih tinggi disebut Putu atau Gde . Untuk anak kedua diberi sebutan Made atau Nengah,  anak ketiga disebut Nyoman sedangkan anak keempat diberi sebutan Ketut.

    3.5.2. Teknonim

    Teknonim artinya penyebutan orang tua berdasarkan nama anaknya bukannya nama diri orang tua. Misalnya seorang lelaki bernama A kemudian ketika punya anak (sebutkan B) maka sebutan A menjadi Ayahnya B. Kebiasaan ini terdapat di hampir seluruh daerah Indonesia.

    3.5.3. Nama frase

    Nama frase ialah nama yang terdiri dari dua bagian atau lebih atau kalimat yang membentuk suatu pengertian. Dalam kehidupan sehari-hari nama frase sering digunakan untuk memberi ciri khusus pada seseorang sedangkan padabahan perpustakaan tercetak digunakans ebagai pengenal khas. Contoh banyak terdapat pada kolom pojok surat kabar.

    3.5.4. Nama yang terpotong-potong.

    Bentuk ini banyak dijumpai dalam bahan perpustakaan sebagai pengarang. Contoh: Pura-di-Reja
      Suma-di-Pradja
      Surjo-di-puro

    3.5.5. Nama yang berubah.

    Nama seseorang dapat berubah karena menghindari sakit artinya karena seoarng anak selalu sakit-sakitan maka namanya diganti (contoh Bung Karno), karena perkawinan (Suroto menjadi S. Kartodirdjo), diangkat menjadi  penghulu (Amin menjadi Amin Sutan Pamenan), karena kelahiran anak pertama (Paidjo menjadi Bapaknya Paimin),. Karena memperoleh sebutan baru dari istana (Go Tik Swan menjadi Raden Tumenggung Hardjonegoro), karena nama panggilan lebih terkenal daripada nama asli (Pancratius Wardojo lebih dikenal sebagai Pak Besut. Bung Tomo lebih dikenal daripada nama aslinya Sutomo), karena undang-undang (misalnya Tjeng Lie Tin menjadi Anna Maria Sri Susanti Daud), karena menjadi pengarang serta menggunakan nama samaran (Hasbullah Parlindungan mengubah namanya menjadi Matu Mona, Djamaludin menggunakan nama a samaran Adingeoro dan mendirikan organisasi politik maupun sosial (Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantoro, anggota CC PKI Joseph Simandjuntak mengubah nama menjadi Jusuf Adjitorop).

    3.6.Sebutan tambahan pada nama.

    3.6.1. Gelar dan panggilan.

    Pada nama seseorang dapat ditambahkan gelar kebangsawanan atau gelar jabatan (lazimnya berlaku di kraton) dan panggilan. Panggilan misalnya penambahan kata Bang, Bung, Neng db misalnya Bung Hatta, Bung Tomo 

    3.6.2. Nama clan diikutigelar adat

    Pola semacam ini terdapat pada etnik Batak diberikan pada waktu mencapai usia lanjut atau waktu memangku jabatan atau waktu perkawinan.

    3.6.3. Nama atau nama tua diikuti dengan gelar adat.

    Lazimnya berlaku untuk etnis Minang, dapatdiikuti dengabn tambahan kata gelar (Djamaluddin gelar Sutan Maharaja Lelo) atau nama diri langsung diikuti denagn gelar (misal Rustam Sutan Paalindih, Aman Datuk madjoindo)

    3.6.4. Nama diri diikuti dengan nama tempat.

       Nama diri yang diikuti dengan nama tempat disebut conferred name  atau karan desa  biasanya diberikan pada seorang ulama yang tidak disebut nama aslinya melainkan menggunakan daerah asal atau tempat dia membuka pesantren atau perguruan. Misalnya Tengku Cik di Tiro nama aslinya ialah Muhammad Saman, Tuanku Imam Bonjol memiliki nama asli Muhammad Sahab.

    4. Penentuan kata utama

        Berdasarkan pola nama yang ada di Indonesia ditambah dengan nama -nama Indonesia yang tercantum pada bahan perpustakaan, maka langkah berikut ialah menentukan kata utama nama Indonesia. Untuk menentukan kata utama yang akan digunakan pada katalog, bibliografi dan penulisan kepustakaan terdapat empat pendekatan.

    4.1. Pada bagian nama pertama atau  secara langsung

    Penentuan secara langsung artinya bagian pertama nama langsung menjadi kata utama, dikenal pula dengan sebuta straight order. Bila cara ini dianut maka nampak urutan nama sebagai berikut:
    A. Ali
    A. Mukti Ali
    A.Z. Ali
    Abu Ubaidah Ali
    M. Ali
    M. Nashir Ali
    M. Rachmat Ali
    Muhammad Ali
    Rifai Ali
    S. Ali
    Cara tersebut memiliki kelemahan seperti:

    (1)  Bagian nama pertama yang menjadi kata utama adalah inisial seperti nampak pada contoh di atas, dalam hal ini yang menjadi kata utama ialah A. Hal tersebut tidak mungkin bila sebuah huruf akan menjaadi kata utama. Kebiasaan menulis nama inisial dikatakan "nama ketjilnya kebanjakan ditulis dengan tersingkat [sic] dan ada pula naa janng nama ketjilnya sama sekali tidak ditulis lagi."   Contoh yang ditemukan dalam bibliografi seperti kata Muksan nampak di bawah ini
      S. Wojowasito
      O. Notohamidjojo
      M.J. Halim
      L. I. Sud
    Kecenderungan untuk memakai nama atau bagian nama terakhir terdapat pula pada nama orang Indonesia ..

    (2) Inisial tidak mungkin menjadi kata utama lebih-lebih bila sesudah insial ada  nama lengkap. Bila penentuan langsung ini dilaksanakan maka hasilnya ialah entri berdasarkan huruf pertama diikuti nama lain yang justru tertulis lengkap.

    (3) Ketentuan tersebut sulit diterapkan pada nama Indonesia yang menggunakan nama keluarga, nama marga dan nama orang tua. Di dalam katalogisasi ada ketentuan yang menyatakan bahwa dasar kata utama ialah nama keluarga bilamana nama keluarga diketahui.

    (4) Nama-nama yang masih ada hubungan keluarga (anak, bapak, nenek) akan terpisah padahal dalam prinsip pengatalogan dikenal konsep collocation  subkelas dari sebuah klasifikasi berdasarkan asas persamaan. Dalam katalogisais bila menggunakan pendekatan bagian pertama menjadi kata utama akan melanggar prinsip kolokais. Contoh
       Notosusanto
       Nugroho
    Nugroho Notosusanto
    Slamet
    Smita Notosusanto
    Kalau diperhatikan antara Notosusanto dengan Nugroho Notosusanto dan Smita Notosusanto ada hubungan, jadi kalau menggunakan pendekatan pertama justru akan tersebar dan hal tersebut bertentangan dengan prinsip menyatukan hal-hal yang masih ada hubungannya.

    4.2.. Menurut nama keluarga.

     Kemungkinan ini berdasarkan pendapat bahwa bagian nama terakhir merupakan nama keluarga atau nama marga. Ketentuan berdasarkan nama keluarga dapat diterapkan bila pengkatalog menjumpai nama-nama yang jelas-jelas merupakan nama keluarga seperti Sahulata, Sapulete, Tilaar, Weas, Aritong, Sitepu dll. Namun demikian ketentuan ini sulit diterapkan bagi nama-Indonesiayang terdiri dari dua nama atau lebih namun tidak jel;as nama keluarganya. Perhatikan nama Amir Yahya, sulit diketahui apakah Yahya merupakan nama keluarga atau bukan. Tidak ada cara yang tepat untuk mengetahui apakah bagian nama terakhir menurut nama keluarga atau tidak terkecuali pengkatalog kenal pribadi [pada pengarang atau menanyakan langsung pada pengarang. Dalam hal  demikian tugas pengkatalog menjadi tidak praktis, makan waktu untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.
    Pendekatan menurut nama keluarga memiliki kelemahan seperti:
    (1) Sulit membedakan apakah nama seseorang merupakan nama keluarga ataukah merupakan bagian dari nama majemuk bukan nama keluarga. Kalau diketahui bahwa bagian nama terkahir bukan nama keluarga lalu bagimana peraturan penentuan tajuk entri utama
    (2) Tidak ada cara yang tepat untuk menentukan apakah sebuah nama mengandung unsur nama keluarga atau tidak. Di sini pengertian nama keluarga sama dengan patronymic nama mencakup nama keluarga dan marga.
    (3) Sulit diterapkan pada nama-nama yang kurang terkenal. Bagi nama seperti Soemitro Djojohadikoesoemo, Sudjono D. Pusnonegoro, Ali Sastroamidjojo, Nico Kalangi, Pande Radja Silalahi dll bukanlah tugas sulit karena diketahui nama keluarganya. Namun bagaimana dnegan nama pengarang yang tidak diketahui apakah bagian namanya nengandung nama keluarga atau tidak? Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana katalogisasi nama pengarang tetapi bukan nama keluarga?

    4.3. Menurut bagian nama yang paling dikenal.

     Penentuan kata utama pada nama paling terkenal sulit dilakukan lebih-lebih bila pengarang menggunakan nama yang berbeda-beda. Brown pernah menyatakan nama paling terkenal itu justru tidak ada.  Dikatakanya
    What is the best known name of an author? Here is a conundrium
    which would puzzle Plato himself. Is it the name by which he was best known to his contemporaries . . . Is it . . . the name by which he or she is known to history, or is it the name which strikes the cataloguer as easiest to remeember or shorter to write? . . . These illustrations show that there is no such things `best known' which has any permanences, and the rules which give a discretionary power of this kind to cataloguers simply provide a means of creating endless confusionsand variations. 

    Perhatikan contoh di bawah ini.
    M. Taib A. Muin
    K.H.M.T. Thohir Abd. Muin
    M. Taib Thahir Abdul Muin
    M. Thaib Thahir Abdul Muin
    K.H.M. Taib Thahir Abd. Muin
    K.H.M. Taib Thahir Abdul Muin
    M. T. Thahir Abdul Muin
    M. Taib Thohir Abdulmuin
    M. Thaib Thohir A. Muin

    Dari mana yang tertera di atas sulit untuk mencari mana nama yang paling terkenal!
    Kelemahan pendekatan ini ialah:
    (1) Sulit menentukan nama yang paling terkenal. Paling terkenalpun harus dijelaskan apakah dalam konteks kawan-kawannya ataukah tulisannya atau lingkungan keluarganya?

    (2) Ada nama pengarang yang merupakan  ayah dan anak namun susunannya berbeda. Misalnya nama Notosusanto, Nugroho Notosusanto, Smita Notosusanto. Yang pertama merupakan nama ayah, yang kedua lebih dikenal pada nama Nugroho sedangkan nama ketiga merupakan nama yang dikenal pada nama pertama. Namun ketiga-tiganya memiliki hubungan keluarga yaitu ayah, anak, cucu. Lalu bagaimana menentukan kata utamanya.

    (3) Akan terjadi benturan antara nama paling dikenal dengan nama pengarang yang memiliki nama keluarga. Pada nama keluarga sebutan yang terkenal justru nama keluarganya. Lalu bagaimana membuat peraruran penentuan tajuk entri utama?

    4.4. Menurut bagian nama terakhir.
    Penentuan kata utama ditentukanpada bagian nama terakhir dengan  tidak memandang apakah nama terakhir itu merupakan nama keluarga atau tidak.

    Pendekatan ini memilik keuntungan sebagai berikut:
    (1) Pendekatan ini memperhatikan keberadaan nama keluarga atau marga yang terdapat di berbagai daerah Indonesia seperti di Minahasa, Sangihe-Talaud, Ambon, Irian, Nusa Tenggara Timur, Bolaang Mongondwo
    (2) Adanya kecenderungan  pada golongan intelektual dan elite yang mendapatkan pendidikan Barat untuk memakai nama keluarga.  Jones menulis "although his full name is Raden Mangoendiningrat Soedjatmoko, the Ambassador, like many Indonesian, prefer to use only his last name." Bila memperhatikan berbagai nama yang ,muncul di media massa semasa Orde Baru dan Orde Reformasi maka ada kecenderungan untuk menggunakan nama ayah yang diperlakukan sebagai nama keluarga. Hal serupa juga terjadi pada orang-orang Cina keturunan ketika mengubah nama mereka menjadi nama baru ada kecenderungan untuk menggunakan nama keluarga.
    (3) Ketentuan ini sangat luwes dan memudahkan pengkatalog dalam arti pengkatalog tidak perlu pusing-pusing memikirkan atau menelusur apakah bagian nama terakhir merupakan nama keluarga atau tidak. Praktek yang didorong oleh pustakawan Indonesia pada tahun 1950an ini sudah dipraktekkan selama  lebih dari setengah abad dan (hampir) tidak ada kritik akan hal tersebut.   Dengan kata lain praktek tersebut secara tidak langsung sudah disepakati oleh pustakawan Indonesia. Keberadaan AACR2 hendaknya tidak mempengaruhi ketentuan tersebut justru pustakawan Indonesia "melalui Perpustakaan Nasional" harus berani memperbaiki ketentuan yang dianggap keliru yang dimuat dalam AACR 2.
    (4) Ada konsistensi dalam penentuan kata utama bila dibandingkan dengan pendekatan lain.
    (5) Ada aspek praktis bagi pengkatalog maupun pemakai. Mungkin ada kebiasaan pemakai untuk mencari pada bagian nama pertama namun hal tersebut dapat diatasi dengan cara memberikan panduan bagi pemakai serta menyelenggarakan  pendidikan pemakai.
    (6) Angket yang diselengarakan oleh Library of Congress Jakarta Office pada tahun 1968. Ada 250 angket yang diedarkan hanya 130 yang kembali (52%). Angket membuktikan bahwa pengarang yang tidak memiliki nama keluarga menganggap bagian nama terakhir sebagai  bagian nama yang setara dengan nama keluarga. Contoh Soediman Kartohadiprodjo menganggap nama keluarganya ialah Kartohadirpdojo, Taher Ibrahim pada Ibrahim, Njak Adam Kamil pada Kamil, I Goesti Ngoerag Gde Ngoerah pada Ngoerah, Made Pariastra Westra pada Westra..
    (7) Pemakai nama terakhir ini disetujui oleh hampir semua pustakawan Indonesia walaupun tidak secara eksplisit. Kesetujuan mereka nampak pada karya yang dibuat pustakawan seperti majalah indeksa, abstrak dan bibliografi. Pada direktori di mana  dalam penyusunan entri nama melibatkan pustakawan maka penentuan entri berdasarkan nama terakhir seperti Who's who in Indonesia.
    (8) Ada kecenderungan untuk menggunakan nama ayah sebagai nama keluarga sehingga lambat laun nama ayah diperlakukan sebagai nama keluarga. Hal ini terjadi misalnya pada anak-anak dari keluarga yang berhasil atau anak-anakpenguasa sebagaimana nampak pada masa Orde Baru.
    (9) Pustakawan sendiri pernah "mengusulkan kepada Pemerintah agar dibentuk Undang-Undang nama keluarga Indonesia"  sehingga secara tidak langsung mendukung ketentuan kata utama pada bagian akhir nama.
    (10) Beberapa pustakawan khususnya dari lingkungan Perpustakaan Nasional pernah mengatakan bahwa ada pengarang yang protes karena nama mereka di katalog ditentukan pada bagian akhir nama. Pemrotes menginginkan agar kata utama nama mereka ditentukan pada bagian pertama.Di sini timbul pertanyaan apakah perpustakaan harus mengubah keraturan katalogisasi bila ada protes? Di segi lain di lingkungan perpustakaan perguruan tinggi yang setiap tahun menyelenggarakan pendidikan pemakai bagi mahasiswa dan kadang-kadang juga dosen, hal serupa tidak terjadi. Mungkin karena mahasiswa dan dosen sudah diberi tahu cara tersebut, mungkin juga mereka menyadari bahwa memang itulah sistem perpustakaan.

    Di segi lain pendekatan ini memiliki kerugian seperti:
    (1) Tidak semua nama terakhir merupakan nama keluarga. Bagi nama majemuk Indonesia bukan nama keluarga maka bagi beberapa pemakai hal ini nampak janggal.
    (2) Ada pendapat yang mengatakan bahwa panggilan pada nama terakhir bukan merupakan kebiasaan yang ada di Indonesia
    (3) Penyusunan nama pelanggan di buku telepon tidak mengikuti kaidah ini.
    (4) Tidak dapat diterapkan pada nama-nama Arab kelompok nasab yang memakai kata sambung seprrti bin, ibn, ben, binti, binte.
    (5) Tidak dapat diterapkan pada nama yang diakhiri dengan insial seoerti Marga T., Chandra A.M. dll.
    (6) Tidak dapat diterapkan pada nama yang menggunakan nama keluarga majemuk seperti  Mahgdalena Pinajungan-Mahdi, Itje Sastrodarmodjo-Sinambela dll.
    (7) Tidak dapat diterapkan pada nama yang menggunakan tanda sambung seperti Luki-Wijayanti, Sawitri-Suharto, Purbo-Hadiwidjojo dan sejenisnya.
    (8) Tidak dapat diterapkan pada nama-nama Cina.
    (9) Tidak dapat diterapkan pada nama yang diikuti dengan gelar adat seperti yang terdapat di Minangkabau, Tapanuli.
    (10) Adanya keberatan yang diajukan oleh beberapa pengarang yang menyatakan keberatan mereka secara lisan .

    4.5. Perlukah keseragam penentuan nama untuk Asia Tenggara?

    Penentuan entri utama nama-nama Indonesia tidak saja mendapat perhatian dari pustakawan Indoensia melainkan juag dari kalangan pustakawan Asia Tenggara dan negara lain yang memiliki banyak bahan perpustakaan asal Indonesia.. Walaupun Malaysia dan Brunei dan juga Thailand (dengan beberapa pengecualian)  menggunakan bagian nama pertama sebagai kata utama,  kiranya hal tersebut tidak perlu kita ikuti demi keseragaman pengatalogan. Filipina justru menentukan kata utama pada bagian akhir nama. Singapura menentukan kata utama pada nama keluarga tergantung pada etnisnya misalnya Cina diatur menenut ketentuan nama-nama Cina, untuk nama-nama  Melayu diatur menurut ketentuan nama Melayu yang berlaku di Malaysia sedangkan nama-nama India menganut  aturan yang berlaku di India.  Indonesia harus menentukan sendiri karena perkembangan budaya dan sejarah yang berlainan sehingga masing-masingnegara memiliki peraturan tersendiri.

    5. Penggunaan dalam bahan perpustakaan

     Penggunaan nama-nama dalam bahan perpustakaan misalnya dalam entri ensiklopedia,daftar kepustakaawn yang menyertai setiap karya ilmiah, majalah sekunder seperti bibliografi, majalah indeks dan abstrak dapat melibatkan pustakawan dapat pula tidak melibatkan pustakawan. Dalam penyusunan entri nama. Hal tersebut berpengaruhpada penyusunan nama-nama.
    5.1. Pengunaan dalam bahan perpustakaan (pustakawan tidak dilibatkan)

     Kalau memperhatikan entri pada berbagai buku rujukan seperti direktori, biografi, buku telepon maka kita dapat mengetahui bahwa tidak ada penyusunan nama yang bauk, bahkan buku telepon cenderung menggunakan bagian pertama. Hal tersebut mungkin terjadi karena pelanggan diminta untuk menentukan nama yang akan disusun dalam buku direktori.

     Hal serupa dengan berbagai ensiklopedia umum maupun khusus sehingga entri nama yang disusun tidak konsisten. Perhatikan entri Ensiklopedia Indonesia, Ensiklopedia Islam Indonesia.


    5.2. Pustakawan dilibatkan dalam penyusunan netri nama

     Tiadanya  konsistensi dalampenentuan kata utama juga terjadi berbagai ensiklopedia, namun hal tersebut tidak terjadi pada buku rujukan yang di dalamnya diikutsertakan pustakawan. Karya Roeder Who¿s who in Indonesia  misalnya menggunakan nama bagian terakhir sebagai kata utama karena di dalam tim redaksi ada pustakawan. Pada terbitanseperti Bibliografi Indonesia, Bibliografi nasional Indonesia, Indeks madjalah ilmiah, Indeks majalah ilmiah Indonesia, Index of Indonesian Learned Periodicals dan Indonesian Abstracts sepenuhnya menggunakan bagian nama terakhir sebagai kata utama. Banyaknya kata utama berdasarkan bagian nama terakhit ditunjukkan oleh Zubaidah Isa

    Tabel 1 Entry word in Indonesian names
    Name of bibliography Listed Last element entry First element entry
    Pekan Buku Indonesia 1954 211 197 14
    Berita Bibliografi 1961 200 170 30
    Berita Bibliografi 1964 450 435 15
    Bibliografi Nasional Indonesia 1963 ¿ 1965 850 710 140
    Indonesian Abstracts 1961 114 56 58
    Indonesian Abstracts 1962 119 85 34
    Indonesian Abstracts 1963 594 429 165
    Indonesian Abstracts 1964 229 163 66
    Indonesian Abstracts 1965 124 98 26
    Indonesian Abstracts 1966 92 66 26
    Indonesian Abstracts 1967 80 66 14
    Bibliografi Nasional Indonesia kumulasi 1964 ¿ 1965 391 365 26
    Regional Bibliography of Social Science Publications Indonesia 1951 153 140 13
    Total 3905 3257 648
     
    Dalam pengertian di atas last element entry sama dengan inverted order sama dengan kata utama pada bagian akhir nama. Hal serupa juga dilakukan pada Indeks Majalah Ilmiah Indonesia dan Index of Indonesian Learned Periodicals yang menunjukkan bahwa katautama nama Indonesia adalah bagian akhir nama. Sistem serupa dapat dijumpai pada indeks majalah Sastra.

    6. Manakah yang akan kita pilih?

    Berdasarkan pendekatan yang dilakukan sambil memperhatikan pola nama-nama Indonesia serta kebiasan penulisan nama di berbagai bahan perpustakaan, maka pendekatan keempatlah yang paling cocok. Adapun pendekatan itu ialah kata utama nama-nama Indonesia adalah pada bagian akhir nama dengan beberapa pengecualian.

    Walaupun merujuk ke bagian nama terakhir, peraturan yang akan dibuat juga memuat pengecualian untuk
    (a) Nama-nama yang menggunakan nasab seperti bin, ibn, ben, binti, binte., baik untuk nama-nama Indonesia maupun Arab
    (b) Nama yang diakhiri dengan inisial
    (c) Nama yang diikuti dengan gelar adat

    Hal yang tidak memungkinkan penentuan kata utama pada bagian akhir dapat ditampung pada peraturan pengecualian .Maka usulabn peraturan untuk nama-nama Indonesia berbunyi sebagai berikut:

    6.1. Nama Indonesia

    6.1.1. Umum

    Bagi pengarang yang menggunakan lebih dari satu bagian nama dalam karyanya,  maka  kata  utama ditentukan  pada  bagian  nama  yang terakhir  diikuti dengan bagian bagian nama  lainnya.  Penunjukan seperlunya dibuatkan dari bagian nama yang paling dikenal.
    Contoh :      Sutono, Urip
                 x Urip Sutono

    Sutanaya, I Made
    Saragih, Janna

    6.2. Perkecualian

    (1) Nama dengan unsur nama di, el, nan dan sebagainya.
    Bagi  pengarang yang memiliki nama yang mengandung unsur  seperti di,  el,  nan dan sebagainya, maka bagian nama  yang  dihubungkan oleh kata kata ini dianggap sebagai satu kesatuan nama.
    Contoh: Atma di Redja
    Usman el Muhammady, Muhammad,Tengku
    (2) Nama yang kadang kadang ditulis terpisah  dan  kadang kadang disatukan
    Bagi  pengarang yang menulis namanya kadang kadang  terpisah  dan kadang kadang menjadi satu, maka tajuk ditentukan pada nama  yang disatukan.  Penunjukan dibuatkan dari bagian nama  yang  terpisah apabila ini merupakan bagian terakhir nama tersebut.
    Contoh: Suriadiredja
      X Di-Redja, Surja
      X Redja, Surja-di

    (3) Nama yang berakhir dengan inisial atau singkatan
    Bagi pengarang yang bagian terakhir namanya terdiri atas  inisial atau  singkatan  yang  kepanjangannya  tidak  diketahui   setelah menggunakan sumber acuan, maka kata utama ditentukan pada  bagian pertama daripada nama dengan tidak mengubah urutannya.
    Contoh : Marga T.
                    Abdul Hadi W.M.

    (4) Nama yang memuat gelar tradisi
    Bagi  pengarang  yang menggunakan nama diri yang  disertai  gelar tradisi, maka kata utama ditentukan pada bagian nama sesudah kata gelar Daeng, Datuk, Sutan dan sebagainya.
    Penunjukan dibuatkan dari bagian petama nama diri dan bagian nama terakhir, bila terdapat lebih dari satu nama sesudah nama gelar.
    Contoh:Radjo Endah, Sjamsuddin Sutan
          x Endah, Sjamsuddin Sutan Radjo
          x Sjamsuddin Sutan Radjo Endah

    Palindih, Rustam Sutan
          x Rustam Sutan Palindih

    7.2. Perubahan pada AACR 2.

    Perubahan  untuk nama-nama Indonesia  yang perlu diusulkan ialah:
    (i) 22.26C1 khusus untuk nama-nama yang diawali dengan kata Adi, Budi, Djoko dan sejenisnya . Tidak ada alasan yang kuat mengapa nama-nama tersbeut ditentukan pada bagian pertama. Di kalangan pustakawan Indonesia ada juga pendapat demikian yang mengatakan bahwa bagi  nama yang dimulai dengan Sri, Endang  dan sejenisnya, maka kata utamanya  ditentukan  pada nama pertama tanpa alasan jelas . Mereka lupa bahwa nama Sri di budaya Jawa tidak selalu mengacu pada nama wanita dan nama Endang di  etnik Sunda mengacu pada nama lelaki sementara di etnis Jawa pada nama wanita.

    (ii) 22.26E. Nama yang mengandung unsur nama tempat.
    Ini harus diubah karena pustakawan sulit mengetahui apakah nama seseorang itu nama diri atau merupakan nama tempat. Nama seperti  Nehemia Samosir sulit bila ditentukan pada nama Nehemia dengan alasan Samosir adalah nama tempat. Padahal Samosir juga nama marga dan dengan demikian entri utama ditentukan pada nama marganya.

    7. Penutup
     
    Nama-nama Indonesia memiliki berbagai pola ditambah dengan kebiasaan penulisan nama pengarangdalam berbagai bahan perpustakaan akan berpengaruh terhadap penentuan kata utama. Berdasarkan berbagai pertimbangan maka kata utama nama-nama Indonesia ialah bagian terakhir nama dengan beberapa pengecualian. Ketentuan ini perlu disebarluaskan agar penulisan daftar kepustakaan di berbagai literatur primer dan sekunder  serta karya ilmiah yang mengharuskan pemuatan karya yang dirujuk,   untuk menganut taat asas yaitu  bagian terakhir nama akan menjadi kata utama.



    Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

    Jumlah pengunjung