Medan Merdeka Selatan, Jakarta – Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) menerima sebanyak 536 naskah kuno sunda yang diserahkan oleh Yayasan Ngariksa Budaya Indonesia.
Naskah kuno sunda tersebut merupakan koleksi R. Haris Sukanda Natasasmita dan Viviane Sukanda Tessier yang dihimpun pada tahun 1970-1980-an.
Akuisisi ini menambah koleksi 467 naskah manuskrip Sunda yang telah dimiliki Perpusnas, sehingga totalnya menjadi 1.003 naskah.
Angka ini menempatkan Perpusnas sebagai institusi yang mengoleksi manuskrip Sunda terbanyak di dunia mengalahkan Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda yang menyimpan 785 naskah sejenis.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Perpusnas E. Aminudin Aziz menyampaikan penyerahan ini bukan hanya sekadar penambahan koleksi, tetapi juga memiliki makna strategis dalam pengarus-utamaan naskah nusantara.
"Pengarus-utamaan naskah nusantara adalah program yang kita gagas untuk bisa dimulai implementasinya pada tahun 2024 ini dan kita berusaha untuk menggalurkan ini menjadi satu program prioritas di Perpusnas," ujarnya dalam Gelar Wicara Tokoh Pernaskahan Nusantara: Kerja Bersama Menuju Pengarusutamaan Naskah Nusantara, yang diselenggarakan secara hibrida pada, Rabu (7/8/2024).
Plt. Kepala Perpusnas menyatakan bahwa proses pengumpulan dan penataan naskah ini telah menjadi prioritas utama bagi lembaga tersebut, meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar.
"Saya mencoba berbicara dengan kawan-kawan di perpustakaan tentang apa yang sudah dikerjakan terkait penataan naskah. Ternyata, mereka telah banyak bekerja mengumpulkan naskah, namun publikasinya memang masih kurang," ungkapnya.
Dia mengatakan keterbatasan sumber daya manusia dan biaya yang diperlukan untuk preservasi naskah menjadi salah satu kendala utama.
"Naskah-naskah yang sudah rusak harus melalui proses konservasi terlebih dahulu, yang memakan waktu dan biaya cukup besar, sementara tenaga yang kita miliki terbatas," jelasnya. Oleh karena itu, tim di Perpusnas melakukan seleksi prioritas untuk menentukan naskah yang harus didahulukan dalam proses pelestarian.
Selain tantangan internal, Perpusnas juga menghadapi desakan dari pihak luar untuk mengakuisisi naskah-naskah dari berbagai daerah. "Kami berterima kasih kepada pihak-pihak yang memperhatikan naskah-naskah dari luar dan siap bekerja sama. Hari ini kita berkumpul bersama untuk menyatakan komitmen bersama dalam melestarikan warisan Nusantara ini," lanjutnya.
Penyerahan naskah kuno Sunda ini juga menjadi momen penting yang dihasilkan dari kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan DREAMSEA (Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia) yang telah mendigitalisasikan naskah kuno tersebut.
“Kami akan memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat terhadap naskah-naskah ini, melalui digitalisasi dan penyediaan informasi di laman resmi Perpusnas. Kami percaya, masa lalu adalah pembelajaran bagi kita untuk menatap masa depan,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Ngariksa Budaya Indonesia Lukman Hakim Saifuddin mengatakan penyerahan naskah kuno ini sebagai upaya untuk mendorong negara melalui Perpusnas agar lebih proaktif dalam menjaga kekayaan peradaban masa lalu.
Menurutnya, tantangan utama bangsa ini adalah bagaimana mengatasi keterputusan dari masa lalu yang sarat dengan nilai-nilai dan kearifan leluhur.
"Seringkali kita kehilangan konteks ketika menghadapi berbagai persoalan, baik sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, politik, maupun agama, karena kita terputus dari nilai-nilai dan kearifan para leluhur kita," ujar Lukman.
"Oleh karenanya, Ngariksa berikhtiar untuk menghadirkan masa lalu dalam konteks kekinian sebagai bekal untuk menatap masa depan, agar kita tidak terputus dari nilai-nilai dan keluhuran kearifan para pendahulu kita," lanjutnya.
Sementara itu, dalam Gelar Wicara Principal Investigator DREAMSEA Oman Fathurahman menyampaikan program DREAMSEA memiliki fokus pada inventarisasi dan digitalisasi manuskrip yang rentan dengan pendekatan proaktif.
"Sejak 2017, DREAMSEA telah mengubah pendekatan menjadi lebih proaktif. Kami tidak lagi menunggu proposal datang, tetapi mencari dan menginventarisasi manuskrip yang membutuhkan bantuan digitalisasi, dengan mendatangi komunitas local yang memiliki manuskrip berharga tetapi tidak memiliki akses untuk melestarikannya," jelasnya.
Selama tujuh tahun terakhir, program yang didukung oleh filantropis dari Arcadia Fund ini telah berhasil mendatangi 168 pemilik manuskrip di berbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
"Dari upaya ini, kami telah berhasil menyelamatkan 8.570 manuskrip melalui proses digitalisasi," terangnya.
Kurator Utama British Library Annabel Teh Gallop menyatakan sekitar 500 naskah nusantara di British Library secara keseluruhan koleksi telah didigitalkan.
"Kami memulai proyek ini tahun 2013-2023. Di British Library tidak anggaran khusus untuk digitalisasi, sehingga harus di cari melalui anggaran dari luar seperti yayasan maupun penderma," ungkapnya.
Reporter: Wara Merdeka
Dokumentasi: Prakas/Aji/Alfian