Desa dan Kota Menghadapi Masalah Literasi yang Sama

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Bandung, Jawa Barat—Penulis Maman Suherman menilai dikotomi literasi pedesaan dan literasi urban sudah tidak relevan. Pasalnya, dia menilai pada masa kini batasan antara desa dan kota sudah tidak ada.

Problematika yang dialami desa dan kota sudah hampir sama. Dia menyebut, desa dan kota menghadapi masalah literasi yang sama yakni memaknai bahwa literasi bukan sekadar membaca dan menulis.

Hal ini disampaikan penulis Maman Suherman dalam talkshow di gelaran Perpusnas Writers Festival (PWF) 2023. Pria yang akrab disapa Kang Maman ini menyatakan saat ini, angka melek huruf di Indonesia sudah tinggi yakni di atas 96 persen. Namun, kemampuan untuk memahami bacaan dinilai masih rendah.

“Apakah kita sudah mengikuti Ki Hajar Dewantara, jadi baca dan memahami. Persoalan di perpustakaan, gedung ada tapi aktivitas tidak ada. Harusnya, di perpustakaan daerah ada buku dari hasil karya lokal,” ujarnya di De Majestic, Bandung, Jabar, pada Kamis (7/9/2023).

Kang Maman menambahkan, literasi bukan sekadar perpindahan buku dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, aktivitas dalam mendukung literasi juga membutuhkan dana dan dukungan materiil. Selayaknya perpustakaan jangan merasa bangga jika memiliki banyak koleksi buku. Seharusnya, perpustakaan bangga jika banyak orang yang membaca koleksi bukunya.

“Literasi adalah hulu hingga hilir, jadi bukan hanya punya TBM. Tapi membaca buku agar anak-anak yang datang merasa bisa berguna. Ini bukan tentang kognitif, afektif, psikomotorik, tapi belajar keteladanan seperti Ki Hajar Dewantara yakni Taman Siswa. Sehingga perpustakaan bukan hanya tentang Gedung,” urainya.

Sementara itu, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Nero Taopik menyatakan sejak 2012 sudah aktif membangun Komunitas Ngejah di Garut, Jabar. Dia menyebut, saat ini tercatat ada 2.300 TBM di Indonesia. Namun diyakini jumlahnya melebihi itu yakni 5.000 TBM. “Sebanyak 80 persen saya yakin ada di pedesaan,” tambahnya.

Pria yang biasa disapa Kang Opik ini mengaku aktivitasnya banyak dilakukan di pedesaan. Meski begitu, mendorong literasi urban dapat dilakukan dengan rancangan yang tepat yakni optimalisasi pemanfaatan keberaan infrastruktur teknologi digital yang cenderung sudah bagus, pemanfaatan ruang publik/fasilitas umum dengan menyediakan akses literasi, serta menyediakan program yang menyesuaikan dengan kultur masyarakat perkotaan yang identik dengan mobilitas tinggi.

Dia menambahkan, mendorong literasi urban dapat dilakukan dengan memiliki program khusus yang menyasar daerah-daerah pinggiran kota yang biasanya dihuni mayoritas kaum urban, serta optimalisasi program kolaborasi antarpihak.

“Contoh dan bentuk kegiatannya, kalau di daerah pinggiran hanya disediakan pojok baca tidak diselenggarakan kegiatan atau aktivitas, pastinya tidak akan laku. Harusnya ada pengelola atau pendampingan. Atau gerakan literasi di halte,” urainya.

Pendiri Koran Gala Bonni Irawan yang juga hadir sebagai narasumber menyatakan, secara survei, Indonesia memiliki angka yang bagus dalam pemberantasan buta aksara. Namun kenyataannya, banyak media cetak yang tutup sejak 2018. Bahkan yang terbaru, Toko Buku Gunung Agung juga menutup tokonya.

Dia menambahkan, hal ini bukan berarti minat baca turun dan angka literasi. Menurutnya, literasi adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Menurut UNESCO, jelasnya, ada enam literasi dasar yakni literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan.

“Harus ada gerakan agar enam literasi dasar ini dapat dilakukan. Maka desain literasi urban harus menyelesaikan masalah di kota yakni hoaks, kesehatan mental, dan lainnya,” pungkasnya.

Reporter: Hanna Meinita

Fotografer: Ahmad Kemal Nasution

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung