Ekonomi Pilkada dan Kepemimpinan Negarawan

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

KORUPSI tiada henti! Baru-baru ini menjerat juga salah seorang komisioner KPU pusat yang ditangkap KPK, namun pihak-pihak yang diduga terlibat seolah terlindungi. Kasus ini mau tidak mau menghantui pelaksanaan pilkada serentak kelima yang bakal digelar September 2020. Akan diikuti oleh 270 daerah, terdiri dari 9 pilgub/wagub, 224 pilbup/wabup dan 37 pilwalikot/wawalikot; dengan biaya penyelengaraan Rp 15,31 triliun, di luar biaya yang disiapkan para kontestan.

Sungguh sangat mahal. Sementara itu hasilnya tidak berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan. terbukti banyak gubernur/wagub, bupati/wabup dan walikota/wawali yang terjerat korupsi, dibawa ke kursi pesakitan dan jeruji besi. Asimetris dan pemborosan yang luar biasa. Hingga Januari 2020 ada 130-an kepala daerah yang terjerat kasus korupsi: belum lagi soal kolusi dan nepotisme yang tidak pemah disidik dan tiada bertepi.

Inilah sisi gelap dari ekonomi pilkada (termasuk pemilu lainnya), akibat dari pemilu berbiaya ultra mahal; di tengah-tengah kegundahan terhadap tarik menarik kepentingan perlu atau tidaknya amandemen kelima UUD 1945. Satu pihak, ada yang ingin kembali ke UUD 1945 asli dan di pihak lainnya ingin mengamandemennya sesuai anasir-anasir politik tertentu maupun melanggengkan kekuasaannya, dengan dalih mengatasnamakan kepentingan rakyat. Bagaikan buah simalakama!

KALKULASI EKONOMI

Anggaran yang sangat mahal tidak berbanding lurus dengan hasil pilkada yang bersih, jurdil dan dapat dipertanggungjawabkan. Belum lagi biaya yang disiapkan oleh para calon kepala daerah baik yang diusung oleh parpol maupun calon perseorangan. Secara emperik seorang calon bupati harus menyiapkan sekitar Rp 30 miliar untuk maju menjadi calon dan pasti lebih besar lagi untuk maju menjadi gubernur maupun presiden.

Kondisi demikian, berpotensi membuka peluang terjadinya korupsi yang dilakukan oleh para kontestan yang terpilih. Pun, dampak ekonominya relatif kecil hanya tumbuh sekitar 0,1 persen akibat adanya kegiatan kampanye seperti pengadaan alat peraga, spanduk, kaos-kaos, iklan-iklan, hiburan. Dan kini, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan kampanye melalui medsos telah menggerus keuntungan para pebisnis alat peraga kampanye.

Di sisi lain, dampak sosialnya cenderung negatif karena terjadi polarisasi dukungan, masyarakat menjadi terbelah, terpecah-pecah dan susah disembuhkan. Rawan disintegrasi bangsa dan memperlemah rasa persatuan dan kesatuan bangsa

POLITIK DINASTI

Geliat pilkada sudah dirasakan sejak awal 2019 dan bermunculan para bakal calon yang kasak-kusuk ke  sana ke mari untuk mendapat tiket pencalonan dari parpol, termasuk putra-putri. Menantu dan kerabat dekat para penguasa negeri ini. Tak pelak, politik dinasti bakal mendominasi pesta demokrasi pada Pilkada 2020.

Rakyat harus cerdas memilih agar negara ini tidak semakin terpuruk oleh modus-modus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bagaikan jamur di musim hujan, politik dinasti pada pilkada serentak tahun ini bakal semakin tumbuh subur dengan munculnya para bakalcalon dari keluarga elit politisi yang sedang duduk di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Mereka mendalilkan dirinya memiliki hak untuk dipilih, walau dalam tataran etis politik perlu dipertanyakan. Ini asimetris dengan apa yang rakyat perjuangkan dalam reformasi tahun 1998. Oleh karena itu, rakyat harus cerdas dalam memilih gunakan hati nurani. Harus berani tolak politik uang, tolak politik dinasti maupun tolak politik dagang sapi.

LAWAN KOTAK KOSONG (TAKSONG)

Catatan KPU RI bahwa pada 2016 ada tiga daerah melawan kotak kosong, 2017 ada sembilan daerah, dan 2018 ada enam belas daerah. Tahun 2020 ada 237 daerah yang melaksanakan pilkada, termasuk Makassar diulang lagi, karena saat Pilkada 2018 menang kotak kosong. Tragis memang, lawan kotak kosong saja kalah, itu artinya calon yang maju tidak dikehendaki rakyat.

Di sinilah diperlukan ketajaman parpol mengajukan calon-calonnya yang bukan berdasarkan survai abal-abal hanya sekedar mengejar untung belaka. Rakyat yang semakin cerdas harus terus berani memilih calon yang benar-benar baik, bukan sekedar pencitraan yang ujung-ujungnya menyengsarakannya.

Pemimpin bangsa harusnya yang berkarakter negarawan, bukan sekedar mencari menang dengan menghalalkan semua cara. Menurut H Darmakusuma, dkk (penyusun bahan ajar kepemimpinan Lemhannas R.I.) bahwa karakteristik seorang negarawan semakin penting saat ini karena di era globalisasi (yang saling keterhubungan dan saling ketergantungan antara bangsa-bangsa di dunia semakin besar) prinsip-prinsip kepemimpinan semakin mengglobal.

Generalisasi berbagai karakter yang ‘extraordinary’ dari seorang negarawan tersebut di antaranya, 1) berbudi luhur (magnanimity); 2) Siap untuk berkorban (selfsacrifice) dan tanpa pamrih (selflessness); 3) Memiliki visi yang jelas (clear vision); 4) Bijaksana (excellence virtues); 5)Teguh hati (courageous, versed in the principle);  dan 7) Rasa keadilan (senseof justice) yang tinggi.

Menurut Cohen (2004) ada 10 essential principles of the art of the strategist yaitu: 1) Commitfully to a definite objective; 2) Seize the initiative and keep it; 3) Economize to mass our resources; 4) Use strategic positioning; 5) Do the unexpected: 6) Keep things simple; 7) Prepare multiple, simultaneous alternatives; 8) Take the indirect route to your objective; 9) Practice timing and sequencing, 10) Exploit your success.

Dengan demikian postur negarawan dapat di identifikasikan antara lain: 1) Memiliki karakter bangsanya secara mendasar yang berakar pada ideologi, konstitusi dan konsensus dasar lainnya; 2) Menghayati Indeks Kepemimpinan & Kenegarawanan yang unggul; 3) Sadar dan waspada terhadap bahaya keamanan yang bersifat komprehensif; 4) Selalu peka terhadap dinamika lingkungan strategi (nasional, regional, dan global); 5) Mampu berpikir objektif, kritis, profesional, komprehensif, integral dan sistemik; 6) Mampu bekerja sama dan berpikir serta bertindak lintas disiplin dan lintas sektoral dalam pengambilan keputusan; 7) Selalu menjadi penggerak proses demokrasi sebagai karakter pemerintahan; 8) Melihat tujuan nasional dan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan; 9) Selalu menjunjung tinggi integritas dan kejujuran intelektual dan 10) Selalu beranggapan bahwa kemajuan sains dan teknologi yang sesuai dengan nilai agama merupakan kunci peradaban bangsa.

Harapannya agar dalam Pilkada nanti akan terpilih para kepala daerah yang memiliki karakter pemimpin negarawan yang selalu berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara, buka pada kepentingan pribadi, keluarga, krooni-kroni maupun asing. Sehingga terjamin kesejahteraan dan keamanan daerah dan nasional Indonesia menuju Indonesia maju dan jaya selama-lamanya. Semoga. (ndu/k18)

OLEH:

KRAT SUHARYONO S. HADINAGORO, M.M. 

PEMERHATI KETENAGAKERJAAN & EKONOMI KERAKYATAN

 

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung