Keluarga adalah Tonggak untuk Lestarikan Kekayaan Lontar di Ubud

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Medan Merdeka Selatan, Jakarta - Lontar di Ubud diberlakukan sebagai benda sakral sehingga tenget (magis). Karena sering hanya diberlakukan sebagai benda sakral, lontar-lontar ini tidak dibuka atau dirawat bahkan dibiarkan dimakan rengat. Namun, di keluarga-keluarga yang hidup dengan tradisi nyastra lontar justru sering dibuka, dibaca, dan dipakai sebagai bahan rembug sastra. Untungnya Bali memiliki perhatian terhadap kelangsungan bahasa dan aksara Bali dengan dibuatnya Perda yang mewajibkan penulisan aksara Bali di ruang-ruang publik serta diangkatnya penyuluh bahasa Bali di setiap kecamatan.

Narasumber kedua yakni Koordinator Staf Khusus Presiden RI sekaligus Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, A.A.G.N Ari Dwipayana, pada acara pada acara bertema “1 Data Digital Naskah Nusantara” yang diselenggarakan secara daring, Kamis (4/3/2021) menuturkan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang mempunyai harta karun luar biasa, tidak hanya sumber daya alamnya namun juga kekayaan naskah nusantara (lontar) yang sesungguhnya masih tersimpan di keluarga-keluarga yang ada di Indonesia. Puri Kauhan Ubud dalam 34 tahun terakhir ini berupaya untuk mengusung satu pendekatan yang berbasis pada keluarga di dalam perlindungan, pengembangan, dan pemajuan kebudayaan. “Kita tidak bisa memajukan kebudayaan kalau tidak menyentuh keluarga, maka salah satu strategi besar yang harus dilakukan untuk melindungi warisan bangsa ini adalah dengan menggunakan keluarga,” tuturnya.

Ari juga menjelaskan Puri Kauhan Ubud adalah pewaris kekayaan budaya Bali berlokasi di desa Ubud, Gianyar, Bali. Bukan hanya pertemuan dua sungai yakni Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon, Ubud juga merupakan tempat pertemuan (campuan) tradisi-adat budaya dengan modernitas. Puri Kauhan Ubud didirikan oleh Cokorda Ketut Rai kemudian dilanjutkan oleh Anak Agung Gde Oka Kerebek yang merupakan seorang sastrawan, Jaksa Ubud, juru bahasa dan juga sedahan (bendahara Puri).

Anak Agung Gde Oka Kerebek mewarisi lontar-lontar mulai dari babad, tutur, kakawin, Usadha dan sebagainya. Dia menyusun semacam katalog lontar yang dimiliki oleh Puri dan Grya di sekitar Ubud. Demi menjaga lontar-lontar tersebut, pada momen saniscara (Sabtu) umanis wuku watugung, lontar dikeluarkan dari tempat penyimpanan untuk diselenggarakan upacara Saraswati sebanyak dua kali setahun.     

Keluarga Puri Kauhan menjaga agar lembaran naskah-naksah yang tercecer tetap utuh dengan membuatkan penyangga dari kayu, yang bernama Penapes atau Takepan. Setelah tahapan konservasi selesai, kemudian masuk ke tahap digitalisasi dengan teknis yang sederhana antara lain dengan memberikan kode agar mudah untuk dikenali dan melibatkan beberapa penyuluh untuk ikut belajar. Setelah “virus” konservasi dan digitalisasi lontar ini menular, mulai banyak Puri dan Grya yang terbuka untuk dilakukan konservasi oleh para penyuluh.

Reporter: Basma Sartika

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung