MEMAKNAI PERANAN PENTING PERPUSTAKAAN DALAM MENYONGSONG INSENTIF DEMOGRAFI 2030

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

   INSENTIF atau Bonus demografi tidak sertamerta datang dengan sendirinya manakala tidak dipersiapkan dengan benar dan sedini mungkin, termasuk penguatan peranan penting perpustakaan hingga ke pelosok nusantara. Diiringi penguatan literasi untuk masyarakat melalui peningkatan kualitas layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial sehingga menghadirkan layanan prima dan ruang publik yang memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan diri guna meningkatkan kesejahteraannya. Saat ini, kita memiliki 164.610 perpustakaan menempati urutan ke-2 dunia setelah India (323.605 perpustakaan), Rusia (113.440) dan China (105.831). Kita mengapresiasi kinerja perpustakaan nasional dibawah kepemimpinan Muhammad Syarif Bando (Alumni PPSA XXII Lemhannas R.I) sekaligus memberikan dukungan agar perpustakaan semakin maju, terutama dalam menyiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) Unggul.

   SDM Unggul-Negara Maju, harus benar-benar membumi untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, mandiri dan mampu berdaya saing di era global, termasuk mengembangkan masyarakat berpengetahuan (knowledge based society) hingga ke pelosok nusantara. Tantangannya, perlu memperluas infrastruktur perpustakaan hingga ke desa-desa maupun memacu literasi yang masih rendah. Sesuai Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan maka pemerinta desa berkewajiban membangun perpustakaan desa, terlebih kini sudah ada dana desa yang semestinya sebagian dialokasikan untuk hal tersebut. Mekanismenya melalui musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) yang digelar oleh pemerintah desa bersama Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), tokoh masyarakat, tokoh agama maupun tokoh pemuda. Harapannya agar perpustakaan benar-benar membumi dan
sebarannya merata; mengingat saat ini masi berpusat di pulau Jawa (47,89 %), pulau Sumatera (23,55%) dan pulau Sulawesi (11,62% ). Pun, sokongan buku baru masih kurang dari 60.000 judul per tahun, terlebih jika dikaitkan dengan standar UNESCO untuk setiap orang membaca minimal 3 buku baru per tahun. Masih sangat jauh untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang jumlahnya sekitar 265 juta penduduk.

Pacu Literasi
   Literasi adalah kemampuan diri seseorang untuk membaca dan mengolah informasi dalam hal membaca dan menulis, serta mengatasi masalah dalam kegiatan tertentu di kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil survei World Culture Index Score 2018, menunjukan bahwa kegemaran membaca masyarakat Indonesia meningkat menjadi rata-rata 6 jam per minggu berada di peringkat 16 dari 30 negara yang disurvei. Sementara itu, hasil survai dari Central Connecticut State University (CCSU) tahun 2016 merilis hasil pemeringkatan literasi dari 61 negara, Indonesia berada di peringkat ke 60; dengan indikator perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Ini cambuk gunas memicu kita untuk lebih seriu meningkatkan minat baca di kalangan masyarakat, termasuk pembudayaan gemar membaca dari usia dini. telah dicanangkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) meliputi Gerakan Literasi Sekolah/Perguruan Tinggi, Gerakan
Literasi Masyarakat, dan Gerakan Literasi Keluarga secara simultan, terus-menerus dan bertingkat. Tantangannya saat ini tontonan televisi maupun gawai (smartphone) menjadi factor penghambat gerakan literasi tersebut, karena berdarsakan hasil survai yang dilakukan oleh US Agency For International Development (USAID) sungguh mencengangkan. Rata-rata orang Indonesia menonton televisi selama 300 menit per hari (5 jam per hari), sementara penduduk negara maju butuh waktu 60 menit (1 jam per hari). Di sisi lain, kegemaran membaca di kalangan anak-anak tergerus oleh smart phone, mereka sibuk bermain game dan aktif di dunia media sosial (medsos) Selain itu hasil survei yang dilakukan oleh United Nations Educational, Scientific And Cultural Organization (UNESCO) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Sangat jomplang jika dibandingkan dengan penduduk Amerika Serikat yang terbiasa 10-20 buku per tahun dan penduduk Jepang membaca 10-15 buku per tahun. Di tengah covid 19, keadaan semakin parah karena waktu luang lebih banyak diisi dengan kegiatan menonton dan berselancar di dunia medsos. Dalam kaitan ini, Perpusnas senantiasa memacu literasi masyarakat anatar lain memberikan apresiasi kepada para Pejuang literasi Indonesia untuk seperti pustakawan/wati berprestasi, pelestari naskah, jurnalis, birokrat, lomba pustaka, lomba bercerita (story telling), lomba perpustakaan sekolah tingkat SMA/SMK/MA, lomba perpustakaan umum desa/kelurahan, tokoh masyarakat, media massa, dan lifetime achievement. Literasi Digital Zaman now, dunia serba digital akibat kemajuan teknologi komunikasi dan infromatika terlebih kini era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ala Jepang yang sudah berlangsung. Kemajuan iptek ini seolah menjadi jebakan Batman terutama bagi negara-negara berkembang, karena Research & Development negara maju telah jauh meninggalkannya. Sehingga negara-negara berkembang dan belum berkembang menjadi tergantung dan dijadikan pangsa pasar yang sangat potensial. Kita dunia masuk target-terget mereka dalam era masyarakat multimedia (cyber society). Dampaknya pun bersifat multidimensiaonal dan mempengaruhi perubahan perilaku social baik dalam skala makro maupun mikro dalam kehidupan kita sehari-hari. Di era yang serba digital saat ini, yang menjadi daya tarik bagi anak-anak kita bukan lagi kegiatan literasi (baca tulis), namun gawai, televise dan media social lainnya yang berbasis internet. Berdasarkan hasil survai Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2014, menyebutkan pengguna internet aktif mencapai 107 juta pengguna atau sekitar 24% dari total populasi Indonesia, yang aktif main game online sekitar 10,7 juta (10%) dari total pengguna. Segmentasinya pengguna internet adalah penduduk berusia 12-34 tahun (64%) , usia 20−24 tahun (15%) dan penduduk yang bekerja mencapai 53%. Untuk anak-anak hendaknya para orang tua harus mampu memberikan pendampingan agar tidak mereka tidak menjadi kecanduan (adiksi) gawai (smart phone). Menurut
WHO, kecanduan game dikategorikan gangguan kesehatan jiwa yakni gaming disorder. Gangguan ini dicirikan dengan gangguan kontrol atas game. memprioritaskan bermain game di atas aktivitas harian lainnya, dan tetap terus bermain atau semakin banyak bermain meskipun merasakan dampak negative.

   Ini menjadi tantangan serius karena generasi Z (kelahiran 1996-2012) yang tumbuh dengan lingkungan berkemajuan teknologi perlu pendampingan dan pembinaan yang benar. Generasi milenial ini ini merupakan pengguna internet yang paling banyak (71,8%) dari total pengguna internet. Oleh karena itu, negara harus hadir untuk menata dan menyiapkan mereka agar menjadi SDM Unggul yang menguasi ilmu teknologi dan berakhlaq mulia. Disinilah diperlukan platform
digital nasional yang aman dan nyaman untuk kepentingan nasional, termasuk meningkatkan literasi digital sehingga mereka setiap saat dapat mengakses konten-konten positif dan mendidik. Disisi lain, negara harus hadir untuk memblokir konten-konten asusila yang merusak akhlaq bangsa.


Ekonomi Digital
Perubahan model bisnis dari offline ke online berimplikasi pada pola ekonomi dan perilaku masyarakat suatu negara yang seakan borderless dengan negara-negara lain di dunia. Bagi Indonesia, perlu akselerasi/percepatan dalam transformasi teknologi informasi agar masyarakat secara cepat mengadopsi sistem ekonomi digital, diarahkan menuju kemandirian ekonomi yang mempertangguh ketahanan nasional sehingga memperkuat keberhasilan pembangunan nasional dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Dalam rangka mengembangkan ekonomi digital, pemerintah harus melakukan pemantapan dalam pengembangan infrastruktur e-bisnis, proses ebisnis, dan e-commerce secara integral untuk kepentingan nasional. Ekonomi Digital yang kuat mendayagunakan sumber daya domestik yang tidak tergantung kepada asing memberikan kontribusi pada kemandirian ekonomi bangsa sehingga ketahanan ekonomi nasional meningkat dan semakin tangguh yang memungkinkan berlangsungnya pembangunan nasional meraih cita-cita dan tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Oleh karena itu, Ekonomi digital yang sedang tumbuh perlu dimantapkan melalui keberpihakan negara untuk menyiapkan regulasi yang pro-kepentingan nasional, pengembangan MSS (Mobile Satelite System) untuk memperluas jaringan koneksivitas, mengembangkan platform nusantara secara mandiri (guna menjamin kepentingan nasional yaitu keamanan dan kesejahteraan). Kemajuan teknologi informasi berbasis internet berdampak pada pertumbuhan ekonomi digital, seperti bisnis online, startups, unicorn dan lain-lain baik di dalam maupun di luar negeri. Perubahan model bisnis dari offline ke online berimplikasi pada pola ekonomi dan perilaku masyarakat suatu negara yang seakan borderless dengan negara-negara lain di dunia. Bagi Indonesia, perlu percepatan dalam transformasi teknologi informasi agar masyarakat secara cepat mengadopsi sistem ekonomi digital diarahkan menuju kemandirian ekonomi yang mempertangguh ketahanan nasional sehingga memperkuat keberhasilan pembangunan nasional dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Namun, masih dijumpai adanya kendala dan tantangan yang harus segera diatasi menyangkut regulasi yang mengatur transaksi digital, perpajakan, perlindungan konsumen, maupun permasalahan internasionalisasi (akuisisi perusahan-perusahaan asing terhadap pelaku startups). Pertumbuhan ekonomi digital sangat pesat dengan penetrasi sekitar 54,68% (143,26 juta jiwa) terkoneksi internet diproyeksikan dapat meraih profit sekitar US$ 1 Miliar. Percepatan perlu dilakukan mengingat jaringan internet belum menjangkau seluruh wilayah Indonesia, akibat dari belum dimilikinya satelit serta saham-saham perusahaan telekomunikasi dikuasai asing, sehingga menimbulkan kerawanan keamanan big data yang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan bisnis mereka. Sementara itu, persoalan dan tantangan ekosistem digital ekonomi masih bekisar pada persoalan infrastruktur komunikasi, aplikasi dan content. Kondisi yang demikian akan sangat mempengaruhi terwujudnya kemandiirian ekonomi maupun ketahanan nasional. Ekonomi Digital menurut Don Tapscoot dalam Meithianan Indrasari, adalah sosio politik dan sistem ekonomi yang memiliki karakteristik sebagai sebuah ruang intelijen yang meliputi informasi, akses instrumen informasi, kapasitas informasi dan pemrosesan informasi. Menurut Thomas Mesenbourg, ada 3 (tiga) komponen utama konsep Ekonomi Digital yaitu infrastruktur ebisnis (perangkat keras,perangkat lunak, jaringan komunikasi dan internet, Sumber daya Manusia, dll), e-bisnis (bagaimana proses bisnis dilakukan melalui internet), dan e-commerce (transaksi bisnis dilakukan, misal transfer barang dalam bisnis online, dll.). Inti dari ekonomi digital adalah penggunaan komputer dalam semua aktivitas ekonomi dari proses produksi hingga distribusi kepada konsumen yang semakin berkembang menjadi dunia e-anything yang memiliki dampak positif maupun negatif sehingga perlu penyiapkan sarana pendukung maupun kesiapan masyarakat agar tidak terjadi konflik sosial. Kemandirian ekonomi menurut Adi Sasono adalah ekonomi yang melibatkan prakarsa rakyat dalam memanfaatkan sumberdaya lokal yang tinggi, sehingga menjadi bangsa yang terhormat dan bermartabat. Kemandirian ekonomi tidak tergantung ekonomi asing, mengutamakan kekuatan sumber daya domestik untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan menentang dominasi maupun penjajahan.6 Sehingga diperlukan penguatan produksi, distribusi, jaringan dan konsumsi domestik menjadi prioritas membangun ekonomi rakyat. Menurut Sri Edi Swasono, kita tidak saja mengahadapi debt trap (jebakan utang) tetapi juga culture trap (jebakan budaya) dalam mentrasformasikan ekonomi dan sosial untuk merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional yang berazas kebersamaan dan kekeluargaan sesuai Pasal 33 UUD NRI 1945. 7 Ketahanan nasional adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya. Guna mengembangkan ekonomi digital, pemerintah harus melakukan pemantapan dalam pengembangan infrastruktur e-bisnis, proses e-bisnis, dan e-commerce secara integral untuk kepentingan nasional. Pemerintah harus menciptakan regulasi dan kebijakan yang mendukung ekosistem ekonomi digital . Juga perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan ekonomi yaitu sisfat keterbukaan sistem perekonomian, manajemen, hubungan ekonomi luar negeri, diversifikasi pemarasan, teknologi, struktur ekonomi, infrastruktur (sarana & prasarana), potnesi SDM, serta potensi dan pengelolaan dana. Tantangan yang harus segera diatasi adalah a) UU ITE belum cukup untuk mengatur ekonomi digital. Menurut Sylvia W.Sumarlin bahwa UU ITE belum cukup mengatur ekonomi digital sehingga perusahaan asing yang menikmati keuntungan dari kontribusi pasar di Indonesia yang mencapai lebih US$ 150 Miliar/tahun, Indonesia tidak mendapatkan manfaat sedikitpun; b) Koneksivitas jaringan belum menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Kondisi geografis sebagai negara kepulauan yang sangat luas dapat menjadi kendala apabila komunikasi, transportasi dan system pemerintahan belum mendukungnya.13 Pengembangan jaringan melalui kable fiber optik
tidak akan memadai, sehingga yang efektif dan efisien adalah pengembangan MSS (Mobile Satelite System) yang menjangkau seluruh wilayah nusantara, termasuk negaranegara tetangga; c) Lemahnya Cyber Security Nasional. Platform IT masih dikuasai oleh perusahan-perusahaan asing. Sehingga sangat urgent untuk membangun MSS (Mobile Satelite System), platform IT sendiri, misal nusantara sebagai platform IT nasional pengganti google, facebook, twitter, yahoo, dan
lainlain di Indonesia; d) Kendala Akses Keuangan Pelaku Ekonomi Digital. Pelaku ekonomi kreatif berbasis digital (internet) disamping terkendalaoleh konektivitas jaringan juga permasalahan keuangan. Mereka kesulitan mengakses perbankan untuk mendapatkan modal kerja yang hanya puluhan juta rupiah, akibat dari regulasi yang belum berpihak kepadanya. Kondisi ekonomi digital yang mulai tumbuh namun belum diikuti oleh keberpihakan negara maka
mengakibatkan kerugian-kerugian baik menyangkut profitabilitas maupun keamanan terhadap kepentingan nasional. Disisi lain keterpurukan ekonomi nasional maupun global akibat penyebaran covid 19 yang mulanya dari Wuhan-China ini sungguh menguras tenaga, pikiran dan multi-sumberdaya dan dana yang sangat besar maupun memakan korban jutaan orang meninggal dan terinfeksi positif. Pun, PHK merajalela terjadi di seluruh dunia sehingga kualitas hidup
terdegradasi sangat tajam.


Songsong Insentif Demografi
Pada 2030 merupakan momentum yang harus dipersiapkan dengan benar dari sekarang agar kita dapat memanfaatkan insentif/bonus demografi untuk kemajuan bangsa dan negara. Saat itu usia produktif sekitar 65% dan menjadi actor utama dalam menghasilkan produk dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Kesehatan dan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang yang harus dipersiapakan bagi mereka. Generasi saat ini mestinya tertantang untuk melahirkan karya gemilang bangsa seperti para pendahulu kita yang telah mampu mengukir emas kemerdekaan, kemudian pembangunan dan penguasaan teknologi canggih dengan diterbangkannya pesawat terbang buatan putra terbaik bangsa Indonesia yakni Prof. B.J Habibie, Presiden Indonesia ke-3 yaitu N-250 Gatotkaca pada 10 Agustus 1995 bertepatan dengan 50 tahun Indonesia Merdeka. Kini, anak bangsa ditunggu karya gemilangnya menjelang 100 tahun Indonesia Merdeka pada 2045. Singsingkan lengan, satu padukan hati, niat dan sinergi untuk Indonesia Maju berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Dalam menyongsong Insentif/bonus demografi tersebut, PNRI (perpustakaan Nasional Republik Indonesia) diharapkan mampu mengambil peranan signifikan antara lain melalui penguatan jaringan infrastruktur perpustakaan hingga pelosok tanah air, penguatan literasi, penguatan pustakawan/wati, membangun ekosistem perpustakaan digital (library 4.0), perpustakaan keliling (termasuk perpustakaan apung untuk menjangkau masyarakat nelayan di pulau-pulau kecil), taman bacaan, perpustakaan buruh, nelayan, petani, maupun koperasi dan UMKM maupun mal perpustakaan (semacam counter bacaan publik di mal-mal), dan lain-lain. Pun, penguatan SDM dalam hal ini komunitas pustakawan/wati antara lain melalui tranformasi keahlian berbasisi digital menuju peranan baru sebagai sumber informasi yang mampu memberikan layanan prima antara lain mengajar, memberikan konsultasi, meneliti, memelihara akses informasi yang demokratis, dan bekolaborasi dengan para ahli komputer dan ilmuwan dalam mendisain dan memelihara sistem akses informasi dan kontributor dalam dalam membangun literate society. Dengan demikian, peranan penting perpustakaan akan semakin membumi terutama dalam menyiapkan generasi milenial menjadi insentif/bonus demografi yang gemilang bagi Indonesia di tahun 2030an. Semoga.

Oleh : KRAT. Suharyono S. Hadinagoro, M.M.
(Pemerhati Ketenagakerjaan & Ekonomi Kerakyatan, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti, Trainer Tingkat Nasional Hubungan Industrial, Alumni Lemhannas RI (IKAL 59)

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpusnas Republik Indonesia

Jumlah pengunjung: NaN