Mengenal Perkembangan Perpustakaan di AS dan Asia Tenggara

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Salemba, Jakarta—Saat ini dunia menghadapi era VUCA. Kondisi yang berubah sangat cepat ini dihadapi seluruh bidang, termasuk perpustakaan.

Kepala Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando, menyatakan dunia perpustakaan turut terdampak dunia VUCA yang berubah sangat cepat dan tidak terduga. Untuk itu, para pelaku perpustakaan harus memahami fondasi mengenai paradigma perpustakaan.

Menurutnya, saat ini, paradigma perpustakaan terdiri dari tiga pemikiran utama yakni manajemen koleksi dengan porsi sebesar 10 persen, manajemen pengetahuan dengan porsi sebesar 20 persen, dan transfer ilmu pengetahuan dengan porsi sebesar 70 persen. Namun dia menekankan pentingnya transfer ilmu pengetahuan sebagai fondasi untuk perpustakaan.

“Tetapi di seluruh dunia akan bergerak ke transfer ilmu pengetahuan, di luar negeri itu bagaimana 10 perguruan terbaik dunia memainkan peran karena kemampuannya dalam mempengaruhi industri di seluruh dunia,” urainya dalam Talkshow Kepustakawanan dengan tema “Proyeksi Perkembangan Perpustakaan dan Kepustakawanan di Asia Tenggara dan Amerika Serikat” yang digelar di Jakarta, pada Kamis (22/12/2022).

VUCA adalah singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity. Dunia VUCA memiliki makna dunia yang memiliki perubahan sangat cepat, tidak terduga, dipengaruhi oleh banyak faktor yang sulit dikontrol, dan kebenaran serta realitas menjadi sangat subyektif.

Dia menambahkan Indonesia telah memprakarsai dan menyetujui bagaimana perpustakaan di desa merasakan dampak dari kehadiran perpustakaan. Melalui program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS), perpustakaan menjadi ruang belajar dan berbagi ilmu pengetahuan bagi masyarakat dalam meningkatkan keterampilan hidup.

“Bagaimana di Lampung Barat, Bupati menyangka kulit kopi hanya menjadi sampah. Saat ini kulit kopi dapat menjadi bahan baku roti. Di Pasuruan, dulu pelepah pisang terbuang begitu saja. Sekarang orang di dunia perpustakaan semakin pandai mengelola dan menghasilkan pelepah pisang menjadi kerupuk,” tegasnya.

Para pengelola perpustakaan didorong agar mampu menyiapkan konten kreatif, baik yang diolah sendiri maupun mengelola konten yang tersedia dilengkapi dengan referensi berbasis perpustakaan, terutama buku-buku ilmu terapan.

“Kita bisa belajar dari negara-negara lain, bagaimana pengembangan perpustakaan di Amerika Serikat dan Asia Tenggara. Silakan dicontoh dan pahami bagaimana pengembangan perpustakaan di negara tersebut dan bagaimana revolusi negara-negara tersebut untuk menjangkau masyarakatnya dan bagaimana masyarakatnya menerima manfaat dari perpustakaan,” jelasnya.

Sementara itu, dalam sesi talkshow, pustakawan California State University, John Hickok, memaparkan best practices berdasarkan delapan kategori di beberapa perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan perguruan tinggi yang ada di AS dan negara Asia Tenggara.

Pustakawan yang melanglang buana di Asia selama 17 tahun terakhir tersebut menekankan ada ratusan ribu perpustakaan di AS dan Asia Tenggara. Semua perpustakaan memiliki kondisi finansial yang berbeda. Oleh karena itu, perpustakaan yang dia tampilkan bukanlah solusi “satu ukuran untuk semua”.

Dia menjelaskan, best practices perpustakaan dikelompokkan berdasarkan delapan kategori yakni information commons, teknologi mobile phone, video dan tutorial, koleksi digital, layanan teknis, marketing/promosi, referensi/literasi informasi, serta perencanaan ruang perpustakaan.

Saat ini, information commons menjadi konsep yang digunakan banyak perpustakaan, baik di AS maupun Asia Tenggara. “Information commons adalah konsep terbaru selama sepuluh tahun terakhir yang mengubah kursi dan meja tradisional di perpustakaan menjadi ruang interaktif, dinamis, dan menarik,” ujarnya.

Konsep pemanfaatan ruang dan fasilitas di perpustakaan ini diterapkan perpustakaan umum, perguruan tinggi, hingga sekolah dengan ‘menyulap’ meja dan kursi yang warna-warni, ruangan perpustakaan untuk diskusi interaktif, dan dinding yang menarik, area permainan dan kafe.

“Jadi sekarang perpustakaan bukan hanya manajemen koleksi, tapi layanan masyarakat. Bukan perpustakaan gaya lama yang orang dilarang bicara dengan meja dan kursi yang membosankan,” tukasnya.

Banyak perpustakaan yang memanfaatkan mobile phone sebagai layanan perpustakaan. “Perpustakaan Nanyang Technological University bahkan menggunakan mobile phone dengan GPS Tracking. Anda masuk ke OPAC, cari buku, kemudian ada SMS masuk ke mobile phone Anda, lalu gunakan mobile phone Anda sebagai perangkat pencari untuk mencari RFID atau lokasi buku di rak, jadi mobile phone Anda seperti radar dan akan berbunyi untuk mencari buku,” jelasnya.

Dia menegaskan, pengelola perpustakaan harus melakukan promosi agar perpustakaannya dikenal masyarakat. “Misalnya Perpustakaan Illinois State University yang membuat marketing plan, Michigan State University yang membuat kalender akademik perpustakaan, jadi mereka punya hari donat, selfie photo day untuk mahasiswa,” ujarnya.

Senada, pakar kepustakawanan Ida Fajar Priyanto menggambarkan evolusi perpustakaan sebagai sebuah tempat. Terdapat lima generasi perpustakaan yakni generasi pertama berbasis koleksi, generasi kedua berbasis klien, generasi ketiga berbasis pengalaman, generasi keempat berbasis koneksi, dan generasi kelima berbasis makerspace.

Pada generasi pertama, ruang perpustakaan difokuskan untuk penyimpanan koleksi tercetak. Sebagian besar ruang perpustakaan menjadi tempat untuk menyimpan dan masyarakat mengunjungi perpustakaan untuk membaca dan meminjam buku. “Stereotipenya petugas akan meminta untuk tidak berisik,” jelasnya.

Sementara pada generasi kedua, orientasi perpustakaan berubah dengan pendekatan pada pengguna. Terjadi penggunaan komputer di perpustakaan seperti katalog online dan otomasi perpustakaan. “Teknologi untuk kemudahan layanan,” ujarnya.

Pada generasi ketiga, perpustakaan berubah orientasinya di mana perpustakaan menggunakan teknologi digital, fintech, memberikan hiburan, F & B, gaya belajar yang memberikan ide baru untuk perpustakaan. “Pengguna dapat berbicara, diskusi, boleh bawa makanan dan minuman, tapi tetap mengakomodasi pengguna tradisional. Ada ruang untuk sosial, ruang tenang,” tukasnya.

Pada generasi keempat, perpustakaan menjadi ruang yang menghubungkan penggunanya. Terdapat ruang untuk berkolaborasi yang nyaman, serta fasilitas diskusi untuk belajar kelompok.

Sementara pada generasi kelima, perpustakaan menjadi makerspace. Mengutip dari Cincinnati Library, makerspace adalah tempat di mana orang-orang kreatif dapat berkumpul, berkreasi, menemukan, dan belajar. Pengguna perpustakaan memiliki akses ke printer 3D, peralatan audio dan visual, pemotong dan pengukir laser, mesin jahit, kamera, dan perangkat keras dan perangkat lunak lainnya yang dapat mereka gunakan secara gratis untuk menciptakan hampir semua hal yang dapat mereka bayangkan.

Dia menambahkan, ada enam cara untuk mengembangkan perpustakaan sebagai ruang belajar. Cara tersebut adalah pastikan fleksibilitas fisik dan teknologi, jangan menekankan pada teknologi tertentu, mengembangkan ruang yang berkesan.

“Selain itu, menyediakan alat untuk memperbaiki konten digital dan memaksimalkan penggunaan teknologi yang digunakan pengguna perpustakaan, termasuk layanan seluler,” pungkasnya.

Reporter: Hanna Meinita

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung