Meningkatkan Kesiapan Menghadapi Ketidakpastian
Salemba, Jakarta – Dalam menghadapi dinamika zaman dan ketidakpastian yang terus berkembang, penguatan manajemen risiko yang terukur dan menyeluruh menjadi kunci kesiapan organisasi.
Setiap aktivitas organisasi mengandung risiko. Karena itu, pengelolaan manajemen risiko bukan hanya tugas satu unit kerja, tetapi merupakan komitmen kolektif seluruh entitas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Utama Perpusnas, Joko Santoso, dalam Sosialisasi Grand Desain Manajemen Risiko Perpusnas Tahun 2025–2029 di Ruang Aula, Gedung Perpusnas, Salemba, Jakarta Pusat.
Joko mengutamakan pentingnya manajemen risiko sebagai bagian integral dari tata kelola kelembagaan yang adaptif dan responsif, seraya mengapresiasi kolaborasi antara tim lama dan tim baru.
Pada Selasa (20/5/2025), ia menyampaikan bahwa bahwa pengelolaan risiko juga mendukung pencapaian target Reformasi Birokrasi (RB) dan penguatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
“Manajemen risiko bukan hanya sekadar mitigasi terhadap ancaman, tetapi juga peningkatan kapasitas organisasi untuk mengantisipasi perubahan, menjaga efisiensi, dan menjamin pencapaian tujuan strategis,” ujarnya.
Grand Desain 2025–2029 yang selaras dengan Renstra Perpusnas ini berfokus pada penguatan sistem digital serta budaya sadar risiko di tingkat strategis maupun operasional. Kerangka ini turut memasukkan risiko baru, seperti serangan siber, keamanan data, serta risiko reputasi dan kemitraan, yang semakin relevan di era digital.
“Kepemimpinan di lini pertama, kedua, dan ketiga harus memastikan bahwa Grand Desain ini terintegrasi dengan rencana strategis lembaga. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan keberlanjutan program dan layanan yang ada di Perpusnas,” tegasnya.
Senada dengan itu, Kepala Biro Hukum, Organisasi, Kerja Sama, dan Humas (HOKH), Sri Marganingsih, menambahkan pentingnya budaya sadar risiko di setiap lini organisasi. “Bukan sekadar kegiatan administratif, manajemen risiko juga bagian dari budaya kerja yang harus dibangun dan dilaksanakan bersama,” ungkapnya.
Ia mencatat kenaikan identifikasi risiko, dari 406 (2022) menjadi 726 (2023), dan sekitar 423 pada awal 2025, menandakan meningkatnya kesadaran unit kerja. Sri Marganingsih juga memperkenalkan Risk Management Information System (RMIS) sebagai alat pelaporan dan pemantauan berbasis data di seluruh unit.
Analis SDM Aparatur Ahli Pertama Biro HOKH, Yuni Setia Rini, juga menyampaikan pandangannya mengenai pertumbuhan jumlah risiko sebagai indikator kepekaan organisasi.
“Semakin banyak risiko bukan berarti buruk, tetapi menunjukkan bahwa kita semakin peka terhadap isu sebelum meledak. Dengan begitu, kita bisa memitigasi lebih awal demi menjaga ketertiban dan stabilitas kerja di tiap unit Perpusnas,” ucapnya.
Konsultan Manajemen Risiko, Joko S. Dwi Raharjo, yang turut menjadi narasumber, menguraikan secara teknis dinamika perubahan risiko dan strategi implementasi RMIS. Hingga saat ini, ia menyatakan bahwa Perpusnas telah berhasil mengidentifikasi hampir 1.200 risiko kumulatif. Dengan peta risiko terbaru, sebanyak 185 risiko berstatus very high, 81 high, sisanya moderate hingga very low.
“Setiap unit perlu menyusun rencana aksi dan memantaunya berkala agar penurunan risiko tercapai sesuai target lima tahunan,” pungkasnya.
Reporter: Alditta Khoirun Nisa
Dokumentasi: Prakas Agrestian / Aditya Irfan
Galeri


