Perpusnas Dorong Penguatan Tradisi Lisan melalui Bimtek Pustakawan Mendongeng
Jakarta, Indonesia dikenal sebagai bangsa bertutur—bangsa yang kaya akan tradisi lisan, cerita rakyat, dan dongeng yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun di era digital yang serba cepat, budaya membaca sebagai jembatan menuju kecerdasan perlahan tergerus.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak hanya melestarikan warisan tutur, tetapi juga menghidupkannya kembali melalui budaya membaca.
Demikian disampaikan Kepala Perpusnas, E. Aminudin Aziz, pada Webinar Pra Acara Bimbingan Teknis Tenaga Perpustakaan Mendongeng dengan tema "Historytelling Pangeran Diponegoro: Pustakawan Mendongeng untuk Anak Indonesia" yang diselenggarakan secara daring, Senin (19/5/2025).
Ia menyampaikan bahwa perpustakaan di seluruh Indonesia—baik itu perpustakaan umum, sekolah, madrasah, kampus, maupun perpustakaan khusus harus menjadi bagian untuk mengangkat kembali martabat bangsa melalui peningkatan literasi.
"Bagaimana mungkin bangsa itu bermartabat jika tidak cerdas, dan bagaimana mungkin cerdas jika malas membaca?" ungkapnya yang juga kembali menegaskan makna dari visi baru Perpusnas yakni Perpustakaan Hadir Demi Martabat Bangsa.
Ia menjelaskan bahwa budaya Indonesia secara historis sangat kuat dalam tradisi lisan atau floklor. Tradisi bertutur ini, meskipun berbeda dari budaya tulis bangsa lain, tetap memiliki kekayaan luar biasa yang perlu dijaga dan dilestarikan.
“Kita punya ribuan cerita rakyat di setiap penjuru nusantara. Itu bukti bahwa kita adalah bangsa bertutur. Tapi kini, tantangannya adalah bagaimana budaya tutur ini tidak hilang ditelan zaman,” jelasnya.
Sebagai wujud nyata, Perpusnas melalui Pusat Pembinaan Pustakawan (Pusbinawan) akan menyelenggarakan Bimbingan Teknis Tenaga Perpustakaan Mendongeng. Menurutnya, historytelling bukan hanya sebagai bentuk hiburan, melainkan juga sebagai sarana pendidikan sejarah berbasis fakta. Salah satu fokus utamanya adalah kisah perjuangan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825–1830), yang telah menjadi tonggak perlawanan nasional terhadap penjajahan.
Kepala Perpusnas menuturkan bahwa naskah Babad Diponegoro, yang sebelumnya telah diakui sebagai bagian dari Memory of the World (MoW) oleh UNESCO, akan segera diadaptasi ke dalam format komik.
“Kami sedang menyusun 25 jilid komik sejarah Pangeran Diponegoro yang dapat dinikmati oleh anak-anak maupun orang dewasa. Ini bentuk kami menghadirkan sejarah dalam medium yang lebih mudah diakses,” jelasnya.
Selain Babad Diponegoro, dua naskah lainnya juga baru saja ditetapkan sebagai bagian dari warisan dunia yakni karya sastra Hamzah Fansuri dan naskah Sunda kuno Sang Hyang Siksa Kandang Karesian. “Ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki kekayaan intelektual dan kultural yang luar biasa, yang harus dijaga dan diwariskan,” tambahnya.
Hal senada juga diungkapkan Pendongeng Indonesia, Kak Aio, menurutnya budaya Indonesia masih sangat kuat dengan budaya bertutur. Dua kata yang kerap digunakan akni mendongeng dan bercerita, kini memiliki makna yang nyaris sama. Dalam praktiknya, kegiatan mendongeng telah menjadi istilah umum untuk segala bentuk bertutur, baik itu kisah fiksi seperti dongeng dan mitos, maupun kisah nyata seperti sejarah.
“Kata 'mendongeng' sekarang tidak terbatas pada cerita khayalan saja. Bahkan kisah nyata seperti sejarah pun banyak yang menyebutnya sebagai kegiatan mendongeng, karena maknanya telah meluas menjadi kegiatan bercerita atau bertutur,” jelas Kak AIO.
Ia memperkenalkan istilah historytelling, yaitu penyampaian sejarah dengan pendekatan naratif. Tujuannya bukan sekadar menyebut nama, tahun, dan lokasi, melainkan menggali semangat dan karakter dari tokoh serta peristiwa sejarah. Misalnya, dalam menceritakan Pangeran Diponegoro, yang lebih ditekankan adalah semangat perjuangannya, emosi yang menyertai perjuangan tersebut, serta kekuatan kisahnya.
Sementara itu, Kepala Pusbinawan, Agus Sutoyo, mengatakan webinar ini menjadi pembuka dari rangkaian Bimtek Tenaga Perpustakaan yang akan dilaksanakan pada 11 hingga 26 Juni 2025, dalam empat sesi daring.
Sebanyak 41 pustakawan dan asisten pustakawan dijadwalkan mengikuti pelatihan ini, yang ditujukan khusus untuk meningkatkan kompetensi mendongeng pustakawan, terutama di bidang layanan anak.
“Mendongeng bukan sekadar hiburan. Ia adalah strategi literasi, alat pendidikan karakter, dan media membangun jati diri bangsa,” katanya.
Dia berharap seluruh peserta dapat mengikuti kegiatan dengan antusias dan mempraktikkan ilmu yang diperoleh dalam lingkungan keluarga, komunitas, dan perpustakaan tempat mereka mengabdi.
“Kita jadikan mendongeng sebagai pintu masuk mencintai buku, mengenal sejarah, dan membentuk pribadi anak Indonesia yang bangga akan bangsanya,” pungkasnya.
Reporter: Wara Merdeka
Galeri
