Tasikmalaya, Jawa Barat - Banyak kalangan termasuk para ahli komunikasi meyakini bahwa peradaban masa depan adalah masyarakat informasi (information society), yaitu peradaban di mana informasi antarmanusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Di sisi lain, kemudahan ini membuat masyarakat gamang dalam memilih informasi mana yang dapat dipercaya, atau siapa sumber yang layak dikutip. "Maka itu, perkembangan literasi patut diperhatikan karena dengan kemampuan tersebut masyarakat tidak mudah terpapar hoaks," terang Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando ketika menghadiri kegiatan Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM) di Kota Tasikmalaya, Sabtu, (4/12/2021).Tasikmalaya, Jawa Barat - Banyak kalangan termasuk para ahli komunikasi meyakini bahwa peradaban masa depan adalah masyarakat informasi (information society), yaitu peradaban di mana informasi antarmanusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Di sisi lain, kemudahan ini membuat masyarakat gamang dalam memilih informasi mana yang dapat dipercaya, atau siapa sumber yang layak dikutip. "Maka itu, perkembangan literasi patut diperhatikan karena dengan kemampuan tersebut masyarakat tidak mudah terpapar hoaks," terang Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando ketika menghadiri kegiatan Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM) di Kota Tasikmalaya, Sabtu, (4/12/2021).
Terlebih di masa pandemi, dimana lanjut Kepala Perpusnas, keberadaan perpustakaan telah jelas membantu masyarakat untuk mandiri dengan kehadiran kelas-kelas keterampilan dan ruang berlatih sehingga mereka menjadi berdaya guna secara ekonomi dan kesejahteraan.
Perpustakaan tidak melihat status sosial orang yang ingin mendapatkan manfaatnya. Perpustakaan adalah bangku pendidikan yang sangat demokratis bagi siapapun termasuk bagi yang putus sekolah. Mengomentari maraknya penilaian budaya baca, Syarif Bando menandaskan persoalan yang terjadi adalah kurangnya bahan bacaan, bukan pada budaya bacanya. Sekedar informasi, rasio buku dengan penduduk Indonesia 1:90, artinya 1 buku ditunggui 90 orang. "Ini masalah yang mesti disolusikan bersama karena UNESCO menetapkan standar rasio buku satu berbanding tiga buku baru yang harus dibaca orang tiap tahun, " urai Syarif Bando.
Senada dengan Kepala Perpusnas, anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah juga menegaskan lembaga perpustakaan bukan hanya untuk pelaku pendidikan formal tetapi juga non formal. Undang undang menetapkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. "Nah, disinilah peran perpustakaan memainkan peran memajukan literasi pada konteks tatanan non formal, seperti keluarga dan masyarakat," ucap Ferdiansyah.
Ferdiansyah juga menyarankan Perpusnas bisa melakukan sejumlah kajian atau diskusi yang mengupas korelasi UU Perpustakaan dengan UU yang terkait perpustakaan, seperti UU Perbukuan, UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR), UU Kemajuan Budaya, dan sebagainya. "Hasilnya, secara kuantitatif dan kualitatif dipublikasikan untuk diketahui. Artinya, masyarakat jangan sekedar dikampanyekan wujudkan sadar membaca saja," kata Ferdiansyah.
Sementara itu, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen dan Komputer (STMIK) DCI Kota Tasikmalaya, Aneu Yulianeu mengatakan selain literasi dasar, di era disrupsi saat ini literasi data juga amat penting untuk dipahami. "Sebagai bentuk literasi baru, literasi data adalah soal kemampuan menggunakan dan menganalisis data. Masyarakat juga perlu diberikan pemahaman agar selalu melindungi memberikan data-data penting, apalagi data pribadi yang rentan disalahgunakan dan bisa berakibat kerugian," ungkap Aneu.
Reporter: Hartoyo DarmawanFotografer: Prakas Agrestian