Perpusnas Usulkan Hikajat Atjeh dan Sanghyang Siksa Kanda ng Keresian Sebagai Usulan MOW 2019

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

 

Salemba, Jakarta—Perpustakaan Nasional kembali mengusulkan dua naskah, yakni Hikajat Atjeh dan Sanghyang Siksa Kanda’ng Keresian untuk dicatat dalam register Memory of the World (MOW). Hal ini terungkap pada focus group discussion (FGD) yang diadakan pada Senin, (15/10).

Ketua Komite MoW Indonesia Mego Pinandito pada sambutan yang dibacakan Plt. Kepala PDII LIPI Hendro Subagyo menjelaskan bahwa ingatan dunia adalah ingatan manusia dari peradaban kuno dan modern. Kebanyakan dokumen tersebut ada di perpustakaan, museum dan pusat arsip nasional. Di satu sisi banyak yang dalam kondisi terancam punah akibat dampak banjir, kebakaran, perang atau karena tidak terpelihara dengan baik.

“Program Memory of The World yang dimulai oleh UNESCO pada 1992 bertujuan untuk melestarikan, melindungi dan membuka akses pada warisan dokumenter dunia ini,” terang Mego.

Program MoW di Indonesia dimulai sejak 2006. Banyak hasil peradaban Indonesia yang diakui oleh UNESCO dan dunia internasional, seperti Nagarakretagama, naskah I La Galigo, Babad Diponegoro, Arsip Konferensi Asia-Afrika, dan tiga warisan dokumenter Indonesia, yakni arsip konservasi Borobudur, arsip Tsunami Samudera Hindia serta naskah Cerita Panji telah diakui sebagai ingatan kolektif dunia oleh UNESCO.

Pada kesempatan yang sama Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando menuturkan Indonesia harus bangga dan bersyukur karena memiliki manuskrip dan naskah kuno dari perjalanan-perjalanan masa kejayaan pada masa lampau. “Tidak ada yang jauh lebih penting kita ungkap ke permukaan kecuali menggali masa lampau kejayaan bangsa kita dan memastikan bahwa Indonesia adalah negara besar sejak zaman dahulu hingga sekarang,” tutur Kepala Perpusnas.

Muhammad Syarif juga mendorong tim dari Perpusnas untuk bekerja lebih keras dan solid menyajikan konten yang bermutu agar diterima UNESCO. “Pastikan referensi yang terkait ada, dan pahami konten dan relevansinya terhadap masa lalu dan masa yang akan datang,” ujar Syarif.

Naskah Hikajat Atjeh (dibaca;Hikayat Aceh) berisi tentang pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada periode  1606-1636. Kala itu, Aceh menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan, salah satunya kemajuan dalam kesusastraan. Naskah-naskah yang dilahirkan dalam bidang keilmuan lebih didominasi dalam Bahasa Jawi (melayu) daripada Bahasa Aceh, kecuali naskah ranah hikayat.

Hikayat atau hikayah dalam Bahasa Arab artinya cerita, dongeng, kisah. Hikayat adalah salah satu jenis sastra Aceh. Hikayat Aceh adalah sebuah karya sastra yang ditulis untuk memuji Sultan Iskandar Muda. Puji-pujian dimulai sejak sebelum kelahiran Sultan sampai meninggalnya. Hikayat Aceh dikembangkan melalui lisan, disampaikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Unsur-unsur dalam penyusunan naskah Hikayat Aceh kemungkinan besar adalah pengamatan atau keterlibatan si penulis. Dalam naskah, pengarang menyebutkan bahwa tokoh utama adalah Pancagah, kemudian bergelar Johan Alam, dan selanjutnya dikenal dengan Perkasa Alam. Nama Iskandar Muda justru tidak ditemukan dalam naskah Hikayat Aceh, melainkan pada naskah Bustan as-Salatin dan dalam Hikayat Meukuta Alam (Mahkota Alam).

Sejauh ini naskah Hikayat Aceh hanya ditemui dalam tiga versi. Kedua varian merupakan koleksi Legatum Warnerianum di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Dan satunya lagi disimpan di Perpustakaan Nasional RI. Naskah ini merupakan warisan sastra kuno yang masih tersimpan baik, aman, dan luput dari terjangan tsunami.

Sejatinya belum ditemukan judul asli terhadap naskah tersebut. Hikayat Aceh dimulai dari pertengahan naskah, sehingga judul naskah Hikayat Aceh bukan dari penyalin atau pengarang dalam judul naskah, namun kemungkinan besar diambil dari teks Salinan “ini hikayah raja Aceh daripada asal turun temurun”.

Hikayat Aceh merupakan kitab sastra sastra yang istimewa karena mewakili tradisi penulisan sejarah yang ditulis atas dasar genre sastra islam.    

Sedangkan Sanghyang Siksakanda’ng Keresian merupakan dokumentasi budaya abad ke-14 yang diakui sebagai representasi kehidupan manusia. Sanghyang Siksa Kanda’ng Keresian memuat ajaran Dasa Krta, Dasa Sila, dan Dasa Marga yang merupakan representasi Dasa Indera.  

Sanghyang Siksa Kanda’ng Keresian selesai digubah pada 1518 Masehi. Ketika itu, Kerajaan Sunda Kuno masih berdiri. Sanghyang Siksa Kanda’ng Keresian konon berasal dari Kabuyutan Galunggung, salah satu scriptorium utama pada masa Kerajaan Sunda.

Pada masa itu, Kerajaan Sunda Kuno pertama beribu kota di wilayah Galuh (Ciamis Timur), kemudian raja berkedudukan di Kawali di keraton Surawisesa (Ciamis Utara). Lalu, ibu kota berpindah dari Kawali ke Pakwan-Pajajaran (Bogor). Perpindahan terjadi pada masa Raja Jayadewata (1482-1521). Pada akhirnya, Kerajaan Sunda Kuno yang beribukota di Pakwan-Pajajaran jatuh ke bala tentara Banten (1579 M).

Dalam masa perkembangan kerajaan tersebut, Kitab Sanghyang Siksa kanda’ng Keresian menjadi acuan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kitab ini merupakan ensiklopedia tentang hikayat rakyat sunda, sastra, agama, dan sebagainya, dan kini berada di Perpustakaan Nasional.

Sanghyang Siksa Kanda’ng Keresian disusun oleh para pertapa yang tinggal jauh dari keramaian masyarakat. Dulu, kitab ini menjadi acuan masyarakat Sunda Kuno untuk hidup sejahtera dan damai. Secara sederhana, kitab ini adalah Undang-undang normatif bagi Kerajaan Sunda. Tidak dikenal dalam budaya sezaman, baik dalam era Jawa Kuno ataupun Bali Kuno.

 

Reportase : Arwan S/Hartoyo D

 

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpusnas Republik Indonesia

Jumlah pengunjung: NaN