Rakor Tim Penilai Pustakawan : Samakan Cara Pandang dan Perbaiki Juknis Penilaian

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Bogor, Jawa Barat—Jabatan fungsional pustakawan merupakan suatu jabatan karir aparatur sipil negara yang bersifat fungsional dan diukur berdasarkan prestasi kerja yang dicapai dalam melaksanakan tugas masing-masing jenjang jabatan. Namun, kadangkala dalam penilaian angka kredit tidak tercipta kesamaan pola pandang (persepsi) diantara tim penilai angka kredit pustakawan.

Tim Penilai jabatan fungsional pustakawan memiliki peranan penting dalam mendukung peningkatan karir fungsional pustakawan. Tim Penilai haruslah orang yang memiliki kompetensi yang memadai dalam menilai hasil prestasi kerja pustakawan. Oleh karena itu, diperlukan kordinasi kembali agar terjadi kesamaan persepsi dalam menilai prestasi kerja pustakawan. Persamaan persepsi amat diperlukan sebelum menetapkan aturan main. Rapat Kordinasi Pembinaan Tim Penilai Pustakawan dimaksudkan agar tidak terjadi perbedaan atau silang pendapat akibat pemahaman yang multitafsir dari suatu butir kegiatan.

Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional Opong Sumiati di hadapan 80 peserta Tim Penilai Pustakawan dari seluruh provinsi di Sentul, Bogor, Senin, (30/7). “Selain untuk menyamakan persepsi di antara tim penilai, rakor ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis berbagai hambatan atau kendala yang dihadapi tim penilai dan mencari solusi dari kendala yang dijumpai,” urai Opong.

Opong mengakui kinerja rekan-rekan pustakawan dalam mengumpulkan angka kredit juga dipengaruhi oleh kinerja tim penilai. Artinya, jangan sampai upaya keras mengumpulkan angka kredit dari butir-butir kegiatan bisa meleset dari target dikarenakan beda pendapat diantara tim penilai pustakawan.

Sementara itu, Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando dalam arahannya mengatakan tim penilai itu ibarat pintu terakhir. Oleh sebab itu, Muhammad Syarif meminta angka kredit harus disesuaikan dengan kewenangan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebagai pembina kepegawaian. Kepala Perpusnas meminta harus ada pedoman tentang angka kredit. Selain itu, tim penilai juga harus bisa memotivasi pustakawan agar bisa naik pangkat dengan waktu dua tahun. Jangan hanya bisa menolak pengajuan angka kredit yang diajukan. Nilai angka kredit yang ada dalam tiap butir kegiatan juga harus lebih manusiawi. Jangan lagi nol koma-nol koma.

“Artinya, harus ada perbaikan juknis penilaian dan cara pandang dari tim penilai," ujar Kepala Perpusnas.  Capaian pendidikan pustakawan harus masuk ke dalam komponen pendidikan. "Bukan masuk dalam komponen penunjang," tambahnya.

Keinginan Kepala Perpusnas agar diperbaiki juknis dan angka kredit juga diamini para tim penilai. Burhan, salah satu peserta Rakor dari Jakarta,  menanyakan bagaimana jika seorang pustakawan berhasil membuat software/aplikasi panduan yang bermanfaat bagi kinerja pustakawan, apakah prestasi tersebut bisa dihargai dengan angka kredit yang lebih manusiawi.  

Khusus di beberapa provinsi yang belum membentuk tim penilai pustakawan, pustakawan yang akan mengajukan angka kredit dipersilakan mengajukannya ke tim penilai yang ada di provinsi lain yang terdekat atau mengirimkannya ke tim penilai pusat (Perpusnas, red). Namun, ke depannya, tim penilai instansi dan pusat harus turun langsung ke daerah yang belum memiliki tim penilai karena tim penilai pusat adalah pembina,” lanjut Muhammad Syarif.

Di akhir arahannya, Kepala Perpusnas meminta setiap pustakawan bisa menjadi juru kampanye jika ada rekan-rekan ASN yang ingin berprofesi menjadi pustakawan mengingat ketersediaan tenaga pustakawan masih belum sebanding dengan jumlah perpustakaan di Indonesia. Apalagi saat ini paradigma perpustakaan dan pustakawan sudah berubah. Perpustakaan bukan lagi sebagai gudang penyimpanan buku, mendiamkan buku lalu akhirnya menjadi rusak, usang, tidak bernilai apa-apa. Pustakawan pun tidak lagi dianggap sebagai penjaga perpustakaan, lebih banyak diam menunggui pemustaka atau pengunjung datang.

Perpustakaan saat ini harus menjadi penggerak perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat. Koleksi-koleksi yang terdapat di perpustakaan, utamanya koleksi ilmu-ilmu terapan harus bisa dimanfaatkan seluas-luasnya agar bisa diterapkan di masyarakat. Di sinilah pustakawan mengambil peran. Pustakawan lah yang menjadi jembatan agar kandungan ilmu yang ada dalam buku-buku bisa dipahami dengan baik oleh masyarakat. "Inilah yang disebut dengan knowledge mobilization. Ilmu pengetahuan terus bergerak, memberikan manfaatnya dari individu ke indidu lain. Dari komunitas lain ke komunitas lainnya. Jika hal ini sudah berkesinambungan, maka tingkat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat bisa membaik," terang Muhammad Syarif. 

Reportase : Hartoyo Darmawan

 

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung