Seminar Kebangsaan Pemilu Berbudaya

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Medan Merdeka Selatan, Jakarta—Pemilihan Umum (Pemilu) adalah pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Begitu banyak kontestan dari berbagai partai politik bersaing merebut hati pemilih di daerah konstituennya. Beragam ide  menarik perhatian dikeluarkan guna meraih simpati. Tidak sedikit pula yang menebar berita bohong (hoaks) menjegal lawan. Namun, biar bagaimanapun pemilu harus dibingkai dengan etika, budaya dan kesantunan negara.

Menciptakan pemilu yang berbudaya itu keharusan. Pesta demokrasi harus menjadi ajang jual gagasan bagaimana mengelola negara. “Bukan dibesarkan oleh berita-berita hoaks yang isinya menghujat dan menghina satu sama lain,” ujar pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie saat Seminar Kebangsaan Pemilu Berbudaya dan Peluncuran Buku Cultural Constitution and Constitutional Culture di Ruang Teater Soekarman Perpusnas di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat, (5/4).

Dunia mengenal sejarah perpolitikan dari teori “Trias Politica” yang dipopulerkan oleh Mostesque, seorang hakim asal Perancis, pada abad ke-18. Saat itu Perancis begitu digdaya di belahan Eropa. Namun, sejatinya Indonesia masa lampau telah memulainya pada era Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-6 masehi, yang disebut Pesirah.

Pesirah adalah kepala pemerintahan. Seorang tokoh masyrakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa. Istilah Pesirah di Sumatera Selatan hingga tahun 1970-an. “Bisa dikatakan Pesirah adalah penguasa, pembuat, pelaksana, sekaligus pengawas,” tambah Jimly yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode awal.  

Pemilu berbudaya adalah kemasan demokrasi yang diimbangi dengan tata cara dan perilaku politik yang.

Sementara itu, pakar politik dalam negeri dan kepemerintahan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli, mengatakan nilai-nilai demokrasi beberapa diantaranya mampu menyelesaikan perselisihan secara damai dan terlembaga, menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam masyarakat yang sedang berubah, menyelenggarakan pergantian pemimpin secra teratur, dan mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman.

Lalu, bagaimana peranan masyarakat sipil?

Demokrasi tidak dapat bertahan kecuali demokrasi tersebut diiringi dengan sebuah budaya sipil yang kuat dan didukung oleh populasi yang memiliki komitmen terhadap hal-hal ideal, seperti supremasi hukum, kebebasan individu, kebebasan beragama, kepemimpinan mayoritas serta perlindungan terhadap minoritas.

“Kematangan budaya politik adalah keadaan dimana budaya politik suatu masyarakat berada dalam suatu tahap atau tingkat yang merupakan prakondisi yang memungkinkan berfungsi dengan baik yang berkaitan dengan trust dan hostility yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam kerja sama dan konflik,” beber Lili Romli.

Perpusnas merasa wajib menyebar pesan positif termasuk pesan-pesan pemilu di kalangan generasi muda (milenial). Perpusnas terus membuka pintu bagi kegiatan-kegiatan maupun forum diskusi ilmiah. "Informasi-informasi strategis ini yang perannya dimainkan oleh Perpusnas dalam menebarkan virus literasi sehingga bisa menangkal isu-isu negatif yang wara-wiri di masyarakat," ujar Kepala Pusat Jasa dan Informasi Perpusnas Teguh Purwanto.

 

 Reportase : Hartoyo Darmawan

Fotografer : Hartoyo Darmawan

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung