Medan Merdeka Selatan, Jakarta -Â Perpustakan saat ini menghadapi sebuah era yang penuh ketidakpastian. Kondisi ini mengharuskan perpustakaan berani berinovasi. Inovasi yang menuntut perubahan yang terjadi harus luar biasa. Perubahan yang bukan hanya dalam interaksi manusia dengan sesama tapi juga interaksi manusia dengan teknologi dan lembaga-lembaga lainnya. Salah satu interaksi yang banyak mengalami perubahan adalah hubungan pemustaka dengan perpustakaan dan pustakawan yaang mengalami transformasi menjadi ruang publik yang bersifat kompleks. Artinya, baik perpustakaan maupun pustakawan harus bersifat adaptif terhadap perubahan agar tidak terjadi disrupsi.
Era disrupsi merupakan era yang penuh ketidakpastian. Dalam dunia perpustakaan, era disrupsi ditandai adanya perubahan interaksi antara perpustakaan dengan pemustaka. Hal tersebut disampaikan Dedi Junaedi dalam Sidang Pengukuhan Pustakawan Ahli Utama yang mengambil tema "Tantangan Kepustakawanan di Era Dusrupsi" yang diselenggarakan di Perpusnas di Jalan Medan Merdeka Selatan, Senin (30/4).
Era disrupsi memunculkan fenomena ketidakpastian dengan perubahan yang sangat cepat. Salah satu diantaranya adalah perkembangan infrastuktur teknologi informasi dan komunikasi yang tidak linear, melainkan eksponensial dan mengalami proses perubahan yang semakin adaptif terhadap kehidupan manusia. "Perkembangan ini membawa perubahan yang cepat dalam organisasi termasuk perpustakaan, saat ini hampir semua perpustakaan mampu memiliki perangkat TIK sendiri dan terus mengembangkannya," ujar Dedi.
Perubahan gaya hidup di era disrupsi membuat pemustaka cenderung lebih senang membaca informasi yang dapat mudah dibawa atau disimpan dalam ponsel. Pun tidak suka membawa beban yang berat termasuk buku cetak tebal dan berat. Pustakawan di era disrupsi telah membuat status eksistensi pustakawan dipertanyakan bahkan sempat masuk daftar profesi yang hilang di masa yang akan datang. "Pustakawan di era disrupsi harus mampu mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dengan melakukan terobosan,. Perpustakaan pun harus berani merespon dan berkreasi perubahan yang muncul pascadisrupsi," imbuh Dedi.Â
Perpustakaan, lanjut Dedi, dapat memaksimalkan perannya di era disrupsi dengan melakukan beberapa hal, antara lain (1) layanan perpustakaan harus bertransformasi dengan basis inklusi sosial sehingga perpustakaan dapat berfungsi sebagai tempat pembelajaran seumur hidup, (2) perpustakaan harus dapat berfungsi sebagai katalisator perubahan budaya mengingat setiap perubahan perilaku pada masyarakat pada hakekatnya adalah perubahan budaya masyarakat, (3) perpustakaan harus dapat berfungsi sebagai agen perubahan sosial. idealnya, perpustakan adalah ruang dimana segala lapisan masyarakat, pola pemikiran, dan artikulasi kepentingan bisa beretemu dan berdialog tanpa dibatasi sekat apapun, (4) perpustakaan harus dapat membangun ekosistem pengetahuan dan literasi masyarakat. Perpustakaan berfungsi sebagai jembatan komunikasi dan informasi antara masyarakat, pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, lembaga riset, penerbit, peneliti, usaha rekaman, museum, pengarsipan, dan media massa, serta (5) perpustakaan harus mampu melakukan mobilisasi pengetahuan melalui berbagai cara termasuk kemas ulang informasi. Mobilisasi pengetahuan dapat memberikan masukan-masukan berharga kepada para pengambil keputusan sebagai masukan dari masyarakat. Â
Ketua Majelis Pengukuhan Pustakaawan Ahli Utama Muhammad Syarif Bando menerangkan saat ini pustakawan harus bekerja untuk meningkatkan perpustakaan dan mendistribusikan informasi supaya dapat dimanfaatkan masyarakat. Tidak ada satupun perpustakaan di dunia yang perannya berkurang ketika teknologi informasi hadir. Kepala Perpusnas berpesan agar seluruh pustakawan dapat menjadi motor penggerak dalam mengembangkan kepustakawanan.Â
Kehidupan manusia telah banyak berubah. Perpustakaan adalah dunia yang sangat dinamis. Perpustakaan akan terus tumbuh dan berkreasi mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi dan yang akan terjadi. Paradigma perpustakaan telah berubah. Tidak lagi sekedar penyimpanan buku maupun penyimpan pengetahuan melainkan sudah dapat menjadi rujukan pembangunan manusia dan peradaban. Â
Reportase : Arwan Subakti dan Hartoyo Darmawan