Urgensi Pengarusutamaan Naskah Nusantara

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Kemayoran, Jakarta—Upaya sistematis dan terstruktur dalam membentuk kesadaran tentang pentingnya naskah kuno Nusantara sebagai jati diri bangsa yang dapat diterima luas oleh masyarakat, harus dilakukan.

Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Munawar Holil menyatakan pemaknaan dari pengarusutamaan naskah kuno Nusantara, perlu dilakukan karena sejumlah faktor. Empat faktor tersebut adalah nilai penting naskah kuno, minimnya perhatian terhadap naskah kuno, kondisi naskah kuno, serta persepsi dan kesadaran tentang naskah kuno.

Pasalnya, naskah kuno memiliki beragam informasi penting mulai dari politik, sosial, hukum, bahasa, sastra, pengobatan, agama, hingga aspek lainnya.

“Nilai penting naskah kuno sering tidak diketahui banyak pihak mulai dari pemilik naskah sendiri, komunitas, terutama yang di luar ilmu filologi. Naskah kuno juga minim perhatian karena nilai pentingnya tidak banyak diketahui. Padahal naskah kuno Nusantara sendiri sudah diatur dalam Undang-undang Perpustakaan dan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan,” urainya dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Perpustakaan Tahun 2024 yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), di Jakarta, pada Rabu (15/5/2024).

Dia menambahkan, kondisi naskah kuno terancam rusak karena beragam faktor yakni iklim tropis Indonesia, biota dan jamur, cahaya, temperatur dan kelembaban udara, hewan, bencana, hingga manusia yang menganggap naskah tidak penting sehingga disimpan di tempat yang tidak layak.

“Contoh naskah kuno di Indramayu, yang diwariskan dari kepala desa ke kepala desa tapi tidak ada yang berani buka. Namun akhirnya setelah bisa dibuka, naskah mulai rusak dan ternyata berisi sensus dari akhir abad 19 hingga awal abad 20,” tukasnya.

Persepsi dan kesadaran tentang naskah kuno sendiri belum terbangun dengan baik. Hal ini didorong dari berbagai faktor yakni pemerintah, masyarakat umum, pemilik naskah, dan dosen atau mahasiswa.

“Pemerintah belum menjadikan naskah kuno sebagai acuan untuk mengambil kebijakan, masyarakat umum menganggap naskah kuno tidak menarik dan tidak tahu. Selain itu, pemilik naskah ada yang menganggapnya sebagai benda pusaka sehingga penyimpanannya kurang peduli, hingga dosen dan mahasiswa yang menganggap penelitian tentang naskah kuno mahal dan sulit untuk diteliti,” urainya.

Menurutnya, pengarusutamaan naskah kuno Nusantara mengalami sejumlah tantangan yaitu bagaimana menumbuhkan kesadaran pentingnya naskah kuno, menggandeng komunitas anak muda, meningkatkan kualitas sumber daya manusia yakni peneliti, pemilik naskah kuno, generasi muda, hingga meningkatkan frekuensi sosialisasi dan kolaborasi.

Namun begitu, visibilitas pengarusutamaan naskah kuno Nusantara dapat ditingkatkan, salah satunya melalui kerja sama dengan media. “Meningkatkan kerja sama dengan media massa, baik koran, majalah, radio, maupun TV. Dalam simposium Manassa, kami mengapresiasi media televisi atas perhatiannya kepada naskah kuno Nusantara,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, pria yang akrab disapa Kang Mumu ini menjelaskan sejarah Manassa. Organisasi yang didirikan pada 5 Juli 1996 ini pada awalnya beranggotakan filolog. Kang Mumu mencoba mengubahnya dengan memperluas jaringan keanggotaan, termasuk pemilik naskah dan kalangan muda.

“Karena naskah kuno ini sebenarnya ekosistem, jadi saya membangun ekosistem. Sehingga terus berkembang, sekarang jadi 727 anggota, tersebar dari Aceh hingga Sulawesi Tenggara. Kalau mau bergabung Manassa, kami senang sekali,” ungkapnya.

Secara berkala, Manassa melakukan kegiatan seperti pertemuan ilmiah berupa simposium internasional, seminar nasional dan internasional, menerbitkan buku dan jurnal Manuskripta sejak 2011, penelitian, serta pelatihan atau bimbingan teknis.

Dijelaskan bahwa aktivitas yang dilakukan Manassa kebanyakan menggunakan sumber dana bantuan luar negeri. Namun saat ini, perhatian pemerintah kepada naskah kuno mengalami peningkatan.

Dia menekankan, upaya penelusuran naskah kuno dari pemilik naskah mesti menggunakan pendekatan khusus yakni kultural. “Kalau kami di Manassa, anggotanya ada mahasiswa S1 hingga S3 dari seluruh wilayah Indonesia. Jadi kami menggunakan mereka yang berasal dari daerah yang dimaksud. Mereka yang mulai mendekati pemilik naskah, sehingga kami datang ke pemilik naskah itu tidak dari nol,” urainya.

Selain itu, dia membagikan pengalaman agar menemui ketua adat atau pemimpin adat (raja) daerah setempat. “Misalnya di wilayah timur saya membantu program digitalisasi naskah di Maluku, Ambon. Itu kami mendekati salah satu pegawai di instansi pemerintah, ternyata raja di sana. Kami menghubungi para raja dari sana, kemudian kami mendapatkan akses. Berbeda dengan di Jawa, kami berbicara ke kyai,” pungkasnya.

Rarkornas Bidang Perpustakaan Tahun 2024 membahas tiga kebijakan yang menjadi fokus Perpusnas pada 2024 yakni pengembangan budaya baca dan kecakapan literasi, standardisasi dan akreditasi perpustakaan, serta pengarusutamaan Naskah Nusantara. Sebelumnya pada Selasa (14/5/2024), rakornas menghadirkan pimpinan daerah yang memiliki praktik baik serta pengalaman dalam keterlibatannya pada tiga isu tersebut.

Reporter: Hanna Meinita

Dokumentasi: Alfiyan A. 

 

 

 

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung