Salemba, Jakarta—Peradaban zaman turut membawa perubahan paradigma konsep perpustakaan. Tidak lagi sebatas mengurusi koleksi dan mengklasifikasikan. Di abad 20 saat ini, banyak bermunculan mesin pencari ilmu pengetahuan. Jika tidak beradaptasi dengan peradaban zaman, perpustakaan bisa ditinggalkan.
“Jika pada abad 18, rutinitas perpustakaan adalah management collection. Lalu di abad 19 berkembang menjadi manage knowledge. Kini, di abad 20, perpustakaan bergerak ke arah transfer knowledge. Keaktifan perpustakaan yang dikedepankan. Mengunjungi masyarakat dan memberikan manfaat seluas-luasnya,†imbuh Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando pada kesempatan Webinar ‘Membangun Program Inklusi Sosial di Semua Lini Perpustakaan Menuju Era New Normal’ yang diselenggarakan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Provinsi Gorontalo pada Selasa, (1/9).
Di era Revolusi Industri 4.0, keunggulan sumber daya manusia (SDM) menjadi patokan keberhasilan pertumbuhan ekonomi. Tidak berdampak apa-apa ketika suatu negara yang diberikan kelimpahan sumber daya alam namun tidak mempunyai kualitas SDM yang berdaya saing. Yang terjadi malah eksplorasi besar-besaran. Tanpa kreativitas dan inovasi yang berkelanjutan.
“Kita bisa melihat contoh negara Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Mereka hanya dibekali sumber daya alam yang sedikit namun mampu mengembangkan potensi dan menghasilkan kualitas SDM yang berdaya saing. Imbasnya, ketiga negara tersebut diperhitungkan dalam kancah perekenomian dunia,†terang Syarif Bando.
Maka, untuk menjadi negara yang diperhitungkan, sejumlah paradigma harus diubah. Misalnya dalam aspek pendidikan. Di Indonesia, sejak bangku Taman Kanak-kanak (TK) hingga jenjang perguruan tinggi selalu berputar pada aktivitas belajar dan ujian. Minim akselerasi untuk mereka berkretivitas sesuai keahlian yang dimiliki.
Lain halnya di benua Eropa. Sejak TK, mereka sudah diajari tentang manajemen diri. Ketika duduk di SD mereka dikenalkan tentang eksplorasi lingkungan. Masuk di jenjang SMP mereka sudah diarahkan untuk menemukan bakat (passion). Saat menapaki SMU, mereka sudah bisa merancang karirnya di masa depan karena bakat telah diketahui/dipilih. Makanya, ketika di tahapan kuliah mereka tinggal membangun dan mematangkan skill yang dipunyai. Â
“Inilah hasil yang sebenarnya diharapkan dari proses pendidikan. Pemuda Indonesia menjadi generasi yang mampu mencari solusi atas semua tantangan. Yang sanggup membuka pasar kerja baru karena keilmuannya, dan memberikan pendapatan (income) baru bagi dirinya, keluarga, dan juga negara. Generasi di masa depan potretnya tergantung apa yang dilakukan saat ini,†tambah Syarif Bando.
Lalu dimanakah peran perpustakaan dalam membentuk manusia yang unggul. Kuncinya ada pada kedalaman pengetahuan yang dimiliki atau literasi. Literasi yang diperoleh dari keaktifan membaca bukan teks namun sudah mampu memahami konteks. Kualitas intelektual yang dapat dengan mudah menemukan ide-ide/gagasan/kreativitas ataupun inovasi baru yang berujung pada kemampuan menciptakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi khalayak luas. SDM yang unggul dan berdaya saing adalah keberhasilan dari produk literasi.
Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial adalah peran yang kini dimainkan perpustakaan untuk menciptakan kualitas SDM yang berdaya saing. Paradigma baru yang mengharuskan perpustakaan tidak lagi bertugas secara konvensional. Inklusi sosial merupakan program perpustakaan yang melibatkan peran aktif masyarakat lewat bermacam aktivitas transformasi pengetahuan (transfer knowledge), seperti pelatihan, tutorial, dan pendampingan kegiatan yang memiliki nilai ekonomis sehingga akan berdampak pada kesejahteraannya.
“Proses transfer knowledge hanya bisa dilakukan melalui vokasi dan membaca," jelas Kepala Perpusnas. Â
Inklusi sosial yang dilakukan merupakan bentuk keterbukaan agar tidak perpustakaan tidak lagi dipahami sebagai ruang kaku dan tertutup. Inklusi mengandung pengertian sesuatu yang diupayakan. Di dalam proses inklusi tentu ada perbedaan pola pikir, sudut pandang, kebutuhan yang berbeda-beda dari setiap individu. Namun, semua diupayakan untuk mencari titik temunya sehingga muncul kesetaraan.
Perpustakan yang inklusi adalah perpustakaan yang setara. Perpustakaan yang menunjukkan ciri kekhasan dari masing-masing,†kata Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Provinsi Sulawesi Selatan Muh. Quraisy Mathar.
Konsep transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial merupakan konsep yang revolusioner. Salah satu faktor krusial dalam kesuksesan transformasi perpustakaan adalah mid set para pustakawan. Harus terjadi perubahan paradigma juga. Tidak lagi berpikiran sempit dan tradisional. Memahami peran perpustakaan lebih meluas. “Konteks perpustakaan akan berubah dari masa ke masa tetapi tidak berlaku untuk kontennya,†pungkas Mathar.
Menengok masa depan perpustakaan, diakui Mathar, perpustakaan harus akrab dengan teknologi informasi. Perpustakaan yang berbasis data, memiliki akses yang cepat, dan berjejaring (global space).
Â
Reporter : Hartoyo Darmawan
Fotografer : Ahmad Kemal