Anugerah Pustaka Nusantara 2017 : Makna Di Balik Tenun Lembata dan Alat Musik Tatong

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Merdeka Selatan, Jakarta–Mungkin banyak yang belum tahu Kabupaten Lembata yang berada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, siapa sangka dibalik namanya, Lembata menyimpan pesona alam dan budaya yang tidak kalah luar biasa dengan wilayah lain di Indonesia. Kain Tenun Lembata dan alat musik Tatong menjadi bagian dari kekhasan Kab. Lembata yang keberlangsungan tradisinya nyaris punah. Hanya ada dua orang yang masih aktif dan tekun menyebarkan dan berusaha mempertahankan keberlangsungan dari budaya dan kesenian tersbut, yaitu Maria Lipat Langoday dan Fransiskus Raya. Perpustakaan Nasional sebagai salah satu institusi pelestari hasil budaya bangsa menganugerahkan kedua tokoh seni dan budaya asal Lembata Anugerah Pustaka Nusantara 2017. Anugerah tersebut langsung diberikan oleh Kepala Perpusnas Muh. Syarif Bando didampingi Bupati Lembata Eliazer Yentji Sunur, Selasa, (17/10).

Maria, wanita sepuh berusia 83 tahun adalah salah satu tokoh konsisten mengajarkan budaya menenun bagi kaum wanita Ileape. Menenun sudah menjadi tradisi turun temurun bagi kaum wanita di Lembata. Sejak usia dini mereka sudah dilatih dan ada kesepakatan (konsensus) adat di masa lampau bahwa “hanya anak perempuan yang sudah menenun yang boleh menikah”. Namun, seiring jaman, budaya tenun yang berkembang justru menenun dengan benang pabrik dan pewarna kimia. Sedangkan, menenun dengan benang kapas pintalan sendiri dan pewarna alam, seperti Tarum, mengkudu, kunyit, dan dedaunan nyaris punah. Di perlukan waktu satu bulan untuk menyelesaikan satu buah kain tenun. Hasil tenun Lembata sudah banyak diakui kualitasnya oleh mancanegara. Jadi, perlindungan budaya ini perlu dan amat mendesak untuk dilakukan. Maria Lipat Langoday menjadi satu-satunya tokoh yang konsisten mempertahankan teknik menenun secara tradisional.

Tatong, alat musik asli Lembata yang keberadaannya sempat hilang sejak Portugis berdiam di NTT sekitar tahun 1800-an. Seiring jaman, sama seperti teknik menenun Lembata, Tatong perlahan tergerus. Masyarakat mulai menggantikan Tatong dengan Gong, sehingga rupa bunyinya dibuat sama dengan bunyi alat musik Tatong. Tatong dianggap hanya sebagai mainan bagi masyarakat. Tidak diperhatikan dan tidak bernilai. Namun, pada tahun 1983, Fransiskus Raya secara bertahap mulai mengangkat Tatong populer lagi. Tatong diperkenalkan kembali pada malam kesenian di Hari Jadi Desa Leuwayan.

Sejak saat itu, musik Tatong dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran kesenian di SMP Negeri I Omesuri dan akhirnya dikukuhkan sebagai musik tradisional Kedang, yang berasal dari Lembata. Tatong pun mulai dipetunjukkan pada event-event baik di tingkat Kabupaten maupun di luar Kabupaten, seperti Festival Budaya di Flores atau di Alor.

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung