Senayan, Jakarta--Setelah melalui serangkaian diskusi publik, focus group discussion (FGD) dengan penerbit maupun pengusaha rekaman di sejumlah kota, pembahasan pasal per pasal dengan instansi terkait, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Komisi X DPR-RI sepakat menyetujui revisi RUU Karya Cetak Karya Rekam (KCKR), di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, (30/10). Rapat yang digelar pagi tadi melanjutkan pembahasan yang dilakukan pada hari sebelumnya.Â
Pada rapat tersebut, Mendikbud didampingi oleh sejumlah kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi, Kementerian Perdagangan, dan Perpustakaan Nasional. Hampir seluruh fraksi yang hadir sudah menyampaikan pandangan dan pernyataan menyetujui RUU KCKR, kecuali fraksi Partai Hanura yang tidak datang. Selanjutnya, RUU KCKR terbaru akan dibawa dan diperdengarkan pada Sidang Paripurna keesokan harinya (Rabu, 31 Oktober).
Revisi RUU KCKR adalah kebutuhan mendesak yang mesti segera ditindaklanjuti mengingat UU sebelumnya, yakni UU KCKR Nomor 4 Tahun 1990, sudah berusia 28 tahun. Usia UU yang sudah lebih dari 20 tahun diyakini sudah tidak sesuai dengan konteks perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan. Praktek reward and punishment yang diatur pada UU sebelumnya juga tidak berjalan maksimal. Para penerbit maupun pengusaha rekaman belum paham dan sadar sepenuhnya maksud dan tujuan UU KCKR. Perpusnas sebagai pihak yang menjalankan amanah UU sebagai penghimpun, penyimpan, dan pelestari setiap hasil/karya anak bangsa, baik yang tercetak maupun terekam tidak maksimal berbuat sehingga yang terus dilakukan hingga saat ini adalah upaya sosialisasi dari waktu ke waktu.
Kini, di era pertumbuhan teknologi yang pesat, semua pihak diharapkan sudah menyadari urgensi dari RUU KCKR terbaru. Reward and Punishment akan didorong sehingga akan timbul kesadaran bersama bahwa kemajuan peradaban bangsa bisa terlihat dari bukti fisik yang tersimpan baik di Perpustakaan. Hal ini dimaksudkan agar setiap karya yang dihasilkan anak bangsa tidak lantas hilang, punah, dan tidak dikenal oleh generasi selanjutnya.Â
Reportase : Hartoyo Darmawan
 Â