Penyelamatan Naskah Nusantara Melalui Digitalisasi

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Medan Merdeka Selatan, Jakarta - Dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Pasal 1 Ayat 4, naskah kuno atau yang juga dikenal dengan manuskrip adalah semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeti yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan kata “nusantara” apabila mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V adalah sebutan (nama) bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia. “Jadi yang dimaksud dengan naskah nusantara yaitu naskah yang ditulis oleh nenek moyang kita terutama yang ada di wilayah Indonesia,” ujar Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA), Munawar Holil, selaku pemateri pertama pada acara bertema “1 Data Digital Naskah Nusantara” yang diselenggarakan secara daring, Kamis (4/3/2021).

Ada tiga poin besar yang terkandung dalam naskah kuno yakni dokumen bahasa, dokumen sejarah, dan dokumen budaya. Dalam peta pemetaan bahasa yang dikeluarkan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan pada tahun 2019, bahasa daerah di Indonesia tergolong menarik karena menurut catatan para linguis, di dunia ada sekitar enam ribu bahasa dan Indonesia memiliki kekayaan bahasa kedua terbesar setelah Papua Nugini yakni sebanyak 718 bahasa daerah. Kekayaan bahasa ini berkaitan dengan persebaran naskah nusantara dimana berdasarkan Grand Design Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2019, Bali menyimpan naskah nusantara terbesar dengan total 3.106 sedangkan Sulawesi Utara hanya menyimpan 2 naskah nusantara.

Pada umumnya naskah nusantara disimpan di lembaga penyimpanan seperti perpustakaan, museum, dan keraton namun sebenarnya ada lebih banyak naskah nusantara yang tersebar di perorangan. Untuk koleksi naskah nusantara yang ada di lembaga kondisinya sangat terawat, hal ini berbanding terbalik dengan koleksi yang ada di perorangan. “Banyaknya naskah yang tidak terawat ini ada kaitannya dengan kepedulian dan pengetahuan dari si penyimpan naskah karena selain kepedulian banyak faktor lain juga yang mempengaruhi seperti iklim, bencana alam, SDM, kebijakan/UU, persepsi atau pandangan terhadap naskah, dan asosiasi atau komunitas naskah,” ungkap Munawar.

Lebih lanjut, Kang Mumun sapaan akrab Munawar menjelaskan bahwa upaya penyelamatan informasi naskah nusantara telah mengalami perubahan meskipun proses penyalinan teks tetap dilakukan sampai saat ini. Mikrofilmisasi ada sejak tahun 1980 sampai sekitar tahun 1990 sedangkan digitalisasi mulai dilakukan dari tahun 2000. Beberapa lembaga termasuk Perpusnas dan perorangan atau kelompok sudah melakukan proses digitalisasi naskah nusantara, akan tetapi jumlahnya masih jauh dari total keseluruhan naskah nusantara yang ada di Indonesia.

“Kalau kita bandingkan rasio program digitalisasi dengan jumlah naskah yang ada yakni 82.158, itu baru 10% naskah nusantara yang didigitalkan jadi masih banyak PR kita,” pungkas Kang Mumun.

Reporter: Basma Sartika

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung