Tugu Tani, Jakarta – Sejak dicanangkannya Gerakan Pembudayaan Kegemaran Membaca oleh Wakil Presiden Boediono 2011 lalu, persoalan membaca tidak bisa dipisahkan dari ketersediaan bahan bacaan, dan juga sistem pendidikannya yang melatarbelakanginya. Sistem pendidikan belum membentuk orang untuk mau membaca. Para siswa hanya dibiasakan untuk menghafal dan mengikuti yang dikatakan pendidik. Tidak heran jika indeks literasi masyarakat masih rendah. Apalagi tantangan yang dihadapi saat ini kian berat. Upaya memasyarakatkan minat baca bertambah sulit dengan adanya teknologi digital. Teknologi digital memudahkan siapapun dalam beraktivitas, termasuk dalam aspek membaca. Tinggal kemauan dan tekad kuat agar kemudahan tersebut tidak menjadi percuma.
Organisasi Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) menyadari kemudahan dari kecanggihan teknologi digital. Maka, yang diperlukan adalah langkah-langkah sinkronisasi agar kegemaran membaca tidak ditinggalkan meski teknologi dirasa dominan digunakan. GPMB diminta merumuskan konsep apa yang tepat dalam penyebaran kegemaran membaca yang sesuai dengan kondisi demografi wilayah, lalu tentukan sarana yang tepat yang bisa digunakan agar target tercapai. Sinkronisasi program pemasyarakatan minat baca diperlukan GPMB dengan melibatkan semua stakeholder, baik Perpustakaan Nasional, Pemda, swasta, lembaga pendidikan maupun LSM terkait. “Perpusnas tentu tidak bisa berjalan sendiri. Di sinilah pentingnya sinergi itu dilakukan sehingga terjadi sinkronisasi program yang bisa dijalankan bersama. Upaya gerakkan minat baca harus ada benang merahnya,” ujar Kepala Perpusnas M. Syarif Bando saat membuka Rapat Kordinasi Nasional (Rakornas GPMB) di Jakarta, (26/9). GPMB selaku organisasi yang independen memiliki misi membangun semangat dan motivasi gemar membaca secara berkelanjutan.
Sinergi program bisa dilakukan jika semua pihak yang terkait mampu mendeteksi permasalahan minat baca di daerahnya seperti apa. Di lihat mana yang menjadi keunggulan, potensi dan kekurangannya seperti apa. Demografi wilayah Indonesia yang beragam sangat memungkinkan terjadinya perbedaan metode atau pendekatan yang tepat untuk digunakan dalam memasyarakatkan minat baca tiap daerah. Perpusnas menyambut baik dengan adanya sejumlah Pemda yang telah berkontribusi positif dan banyak merumuskan metode untuk meningkatkan literasi masyarakat daerahnya, namun seringkali terkendala anggaran. Boleh jadi, kendala anggaran yang tidak diberikan dikarenakan formulasi dari program literasi yang digiatkan belum tepat sasaran. Belum matang.
Para pegiat literasi pun diminta jangan berfokus pada hasil survei yang menempatkan angka literasi masyarakat Indonesia pada posisi yang mengkhawatirkan. Kalau masyarakat dihujani dengan bahan bacaan yang cukup dan memadai, minat baca masyarakat bisa ditingkatkan. Yang penting ada contoh. Tidak hanya mengimbau tapi tanpa mempraktekkan. Kepala Perpusnas juga meminta Rakornas GPMB tidak hanya workshop saja tapi harus memunculkan kebijakan yang bisa dieksekusikan (dijalankan). “Harus ada solusi yang bisa disinkronisasikan dengan K/L seperti Perpusnas, Mendikbud, Kemenkeu, maupun Kemendes,” tambah Syarif Bando.
Tidak ada manusia di dunia yang tidak butuh perpustakaan. Undang-undang Pendidikan Nasional memuat pentingnya kegemaran membaca dan perpustakaan dalam mendukung berjalannya kegiatan belajar mengajar (KBM). Oleh karena itu, jangan sampai ada lembaga pendidikan yang tidak menyediakan ruang perpustakaan, atau menempatkan perpustakaan di tempat yang sulit terlihat dengan koleksi seadanya. Perpustakaan harus benar-benar diperhatikan dan diberdayakan seluas-luasnya. Perpusnas menyambut baik dengan kebijakan mewajibkan membaca 15 menit sebelum aktivitas KBM dimulai.
Rakornas GPMB dihadiri oleh 165 peserta dari berbagai perpustakaan provinsi, kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, mereka juga diajak untuk melihat fasilitas layanan baru yang baru diresmikan oleh Presiden Jokowi 14 September 2017. Gedung layanan baru dengan ketinggian 24 lantai, dan tiga basement yang diklaim sebagai gedung perpustakaan nasional tertinggi di dunia.
Reportase : Hartoyo Darmawan