REDUKSI EGO SEKTORAL DAN PERKUAT SINERGI DEMI PRODUKTIVITAS NASIONAL

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

   EGO sektoral bagaikan benteng kokoh yang menghadang setiap upaya untuk bersinergi meraih tujuan dan kemajuan. Istilah ego sektoral berkaitan dengan mental cerobong (silo mentality atau silo thinking) yaitu pola piker dan tindakan yang melekat pada sekktor atau bagian tertentu tidakmingin berbagi informasi dengan pihak lain dalam suatu organisasi/perusahaan/negara yang sama. Akibatnya bukan hanya mereduksi efisiensi operasional secara keseluruhan juga akan menggerus moral kebersamaan sehingga tidak mau berkontribusi dan sangat sulit untuk mencapai sinergi. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk hendaknya mampu menjaga dan melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjadi negara yang maju; namun demikian keberagaman juga menjadi ancaman ketika ketika primordialisme dan ego sektor menguat dan saling mengalahkan. Pun, di instansi/lembaga pemerintahan, keberagaman menjadi realitas yang tidak dapat dihindari. Perbedaan antar sektor mengakibatkan adanya perbedaan visi, isi dan orientasi masing-masing sehingga memunculkan kompetisi antar sektor yang menajam. Satu sektor memandang sektor lain tidak lebih penting dari seeektornya sendiri, demikian pula sebaliknya. Mentalitas sempit yang lebih mementingkan sektornya masing-masing ini bisa terus menguat manakala perekat antar sektor melemah atau tidak ada. Rasanya sangat sulit untuk meniadakan ego sektoral, yang memungkinkan dilakukan adalah mereduksinya antara lain melalui solidaritas dan gotong royong untuk mencapai tujuan bersama. Terlebih di era demokrasi terutama pilpres dan pilkada langsung masih meninggalkan luka-luka sosial yang cenderung destruktif dalam polarisasi kepentingan yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan atau pun justru dipertentangkan demi kepentingan masing-masing, termasuk membela kepentingan asing. Disinilah diperlukan kepemimpinan nasional yang memiliki wawasan kebangsaan dan berkarakter negarawan.


Whole of Government (WoG) Approach
Pendekatan WoG adalah An approach that integrates the collaborative efforts of the departments and agencies of a government to achieve unity of effort toward a shared goal. Also known as interagency approach. The terms unity of effort and unity of purpose are sometimes used to describe cooperation among all actors, government and otherwise. Prinsipnya kolaborasi, kebersamaan, kesatuan, tujuan bersama, dan mencakup keseluruhan aktor dari seluruh sektor dalam pemerintahan. WoG menekankan pentingnya penyatuan keseluruhan (whole) elemen pemerintahan. WoG merupakan evoluasi dari New Public Management (NPM) yang menekankan pada efesiensi dan cenderung mendorong berkembangnya ego sekktoral. WoG sering disamakan dengan konsep join-up government, policy integration, cross-cutting policy making, policy coherence, policy coordination, concerned decision making atau cross government. WoG ini menjawab atas permasalahana sulitnya koordinasi dan kolaborasi yang sulit terjadi di antara sektor atau kelembagaan sebagai akibat dari adanya fragmentasi sektor maupun eskalasi regulasi di tingkat sektor. WoG mendesak dilakukan karena adanya faktor eksternal seperti dorongan publik dalam mewujudkan integrasi kebijakan, program pembangunan dan pelayanan agar tercipta penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik maupun tuntuttan zaman teknologi informasi dan komunikasi, terlebih era Revolusi Industri 4.0 maupun Society 5.0 ala Jepang. Pun, factor intenal seperti fenomena ketimpangan kapasitas sektoral sebagai akibat dari adanya kompetisi antar sektor dalam mengambil peranan dalam pembangunan. Ada tendensi satu sektor menjadi sangat superior terhadap sektor lainnya maupun adanya ketimpangan antara sektor yang tumbuh tidak beriringan bahkan kontraproduktif dan saling mengalahkan.
Di berbagai negara maju, WoG sudah diimplementasikan misalnya di Inggris saat dipimpin Tony Blair tahun 1990-an memordenisasi gerakan dan system berbasis WoG yang dikenal dengan istilah Joined-Up Government. WoG merupakan pendekatan inter-agency yang menyatukan beberapa instansi yang relevan. Di Australia saat dipimpin Jhon Howard telah mendorong adanya koalisi social anatar kctor pemerinath, bisnis dan kelompok masyarakat. Koalisi soail ini mendorong terjadinya penyamaan persepsi terhadap suatu hal sehingga terwujud koordinasi alamiah.
Di sisi lain, kita masih menghadapi tantangan besar berupa kuatnya mentalitas ego sektoral dan comfort zone (zona nyaman) untuk mengimplementasikan WoG tersebut secara menyeluruh. Pun, sejak 1974 telah dimulai pelayanan publik dalam pengurusan pajak kendaraan bermotor, BPKB/STNK di kantor-kantor Samsat (sistem administrasi manunggal satu atap), sebagai salah satu contoh aplikatif mengenai WoG.


Strategi Kolaborasi & Sinergi
Kolaborasi dan sinergi kelembagaan maupun pemerintahan akan melahirkan pelayanan prima berbasis dedikasi maupun totalitas kinerja; dibarengi melibatkan public untuk membangun reputasi instansi maupun kepercayaan public (public trust). Kolaborasi menekankan pada kerjasama sedangkan sinergi merupakan kolaborasi/hubungan kerjasama yang produktif sebagain suatu kemitraan yang harmonis dan strategis antar para pihak untuk menghasilkan karya (produk dan jasa) yang bermanfaat dan berkualitas. Kolaborasi & sinergi dibangun mulai dari diri sendiri kemudian berangsur-angsur melibatkan semua angota tim, masyarakat dan warganegara sesuai dengan tujuan kolektif yang ingin diraih bersama. Membangun kolaborasi dan sinergi memerlukan waktu dan konsistensi sehingga terbangun kerjasama kreatif berbasis rasa saling menghargai, saling berbagi,saling membutuhkan satu sama lain, membangun kekuatan dan mengkompensasi kelemahan. Intinya Together we grow !. yang sebenarnya nilai-nilai ini telah diwariskan oleh nenek moyang Bangsa Indonesia dalam kehidupan bergotong royong sejak zaman perjuangan untuk merdeka maupun membangun martabat bangsa dan negara. Kini, kita generasi penerus harus mampu mengisi kemerdekaan dan menciptakan karya-karya gemilang demi kepentingan nasional.


Tingkatkan Produktivitas Nasional
Produktivitas dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu unsur utama yang harus dikelola dengan sangat baik adalah Kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) beserta keunikannya. Harus dinagun Dimensi 3 S (Struktur, Sistem dan SDM) sebagai satu kesatuan utuh dalam mencapai produktivitas maupun tujuan-tujuan lainnya. Indeks Modal Manusia atau Human Capital Index (HCI) Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Berdasarkan data Bank Dunia, indeks modal manusia (HCI) Indonesia sebesar 0,53 atau berada pada peringkat 87 dari 157 negara. Sementara itu, Singapura dengan skor 0,88 berada pada peringkat 1, Malaysia dengan skor 0,67 berada pada peringkat 55, kemudian Thailand dengan skor 0,60 pada peringkat 65 dan Filipina dengan nilai 0,55 pada peringkat 84. Kita harus berpacu lebih kebcabg agi untuk meningkatkan kualitas SDM agar produktivitasnya tinggi dan memeiliki daya saing unggul, perlu dimulai sedini mungkin. Investasi membangun SDM harus dimulai sejak hari pertama dilahirkan dengan asupan gizi yang seimbang dan jaminan layanan kesehatan yang prima agar nantinya mempunyai produktivitas tinggi. Di sisi lain, kita khawatir adanya jumlah stunting (kekerdilan) yang meningkat. Pun, Daya saing global (Global Competitiveness Index) Indonesia turun 5 peringkat menjadi urutan ke-50 dari sebelumnya peringkat 45 dari 145 negara berdasarkan data World Economic Forum 2019. Sementara itu, GCI Singapura di peringkat 1, Malaysia di peringkat 27dan Thailand di peringkat 40. Parameter yang digunakan untuk mengukur GCI ada 12 aspek yaitu dinamika bisnis, infrastruktur, institusi, kemampuan inovasi, sistem keuangan, stabilitas makroekonomi dan ukuran pasar, .adopsi ICT, kesehatan, keterampilan, pasar tenaga kerja dan produk.
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas nasional antara lain : 1) Perbaikan system manajemen dan penyederhanaan birokrasi (Good Governance) seperti melakukan a) deregulasi dan debirokratisasi, b)transparansi dan demokratisasi, c) efektivitas dan efisiensi (over-head cost yang tinggi, d) Optimalisasi sumberdaya dan kapasitas terpasang, e) Akuntabilitas pelayanan publik. 2) Inovasi teknologi dan engineering melalui penguatan a) Research and Development b) Inovasi Teknologi, c) Rekayasa Sosial , d) Pelestarian Lingkungan Hidup dan e) Pembangunan Berkelanjutan. 3) Peningkatan Kualitas SDM melalui a) Pengembangan standar kompetensi, b) Pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, c) Rekognisi dan sertifikasi kompetensi profesi, d) Perbaikan gizi, kesehatan dan kesejahteraan pekerja. 3) Pengembangan budaya produktif melalui a) Sosialisasi dan internalisasi, b) Modeling and benchmarking, c) Bimbingan dan konsultasi , d) Penghargaan dan kompetisi, dan e) Jaringan informasi dan pelayanan. 4) Global warming and green productivity melalui a) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (FGD: Global Warming, Green Productivity, Eco-Finance dan Urban Transportation), b) Green jobs, c) Green technology (mesin, bangunan, proses produksi, energi, dll), d) Green management , e) Green city dengan memaksimalkan teknologi di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ala Jepang.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah penguatan komitmen unsur pimpinan pemerintahan/organisasi, focus area pada sektor tertentu, pemberdayaan organisasi dan personil pelaksana, perancangan, pelaksanaan dan perbaikan program kegiatan, pelembagaan dan pembudayaan. Fokus Area mencakup sektor pemerintah meliputi Instansi yang membuat kebijakan, Instansi yang memberikan pelayanan public, Instansi yang mengelola anggaran besar maupun sktor swasta meliputi usaha skala Usaha UMKM dan Koperasi , Jenis Usaha Industri yang sebanyak mungkin menggunakan bahan domestic dan usaha –usaha lain yang paling besar mencemari lingkungan. Dengan beberapa solusi ke depan antara lain a) penguatan kinerja sektor industry, b) perencanan Tenagakerja yang komprehensif, c) Menciptakan iklim investasi UMKM, d) Repossisi pengiriman tenagakerja ke luar negeri, e) Memberdayakan sektor informal, f) Kebijakan nasional yang berorientasi employment, g) Peningkatan kinerja aparatur di semua tingkatan dari pusat dan daerah. Untuk kinerja industri nasional dapat ditingkatkan antara lain melalui a) penguasatan struktur, system dan SDM (Sumber Daya manusia); b) pengembangan infrastruktur industri, c) penguasaan teknologi, dan d) akselerasi inovasi melalui penguatan R&D (Research and Development), dan mengutamakan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja).
Akhirnya, marilah kita bersama-sama mereduksi ego sektoral (dan bila mampu nihilkan) kemudian perkuat sinergi untuk meningkatkan produktivitas maupun kepentingan nasional. Dengan demikian, kita akan dapat menjalani kehidupan kenormalan baru walaupun dalam kepungan covid 19 agar mampu mengakselerasi inovasi dan meningkatak produktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Oleh : KRAT. Suharyono S. Hadinagoro, M.M.
(Pemerhati Ketenagakerjaan & Ekonomi Kerakyatan, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti, Trainer Tingkat Nasional Hubungan Industrial, Alumni Lemhannas RI (IKAL 59)

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung