Tradisi Bertutur Pondasi Tumbuh Kembangnya Literasi Membaca dan Menulis

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jakarta – Tradisi bertutur atau lisan merupakan pondasi dasar bagi pengembangan bahasa. Dimana hal itu merupakan landasan pokok dari tumbuh kembangnya literasi membaca dan menulis.

Padahal di masyarakat, seringkali terjadi miss persepsi ketika tradisi bertutur dipandang menghambat tradisi membaca dan menulis.

Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Umum Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Tjahjo Suprajogo dalam Seminar Nasional 2021 mengangkat tema 'Kebhinekaan Budaya Bangsa Indonesia, Prestasi Literasi Bangsa yang digelar secara daring pada Selasa, (5/10/2021).

"Konsep dan makna literasi tidak monolitik, artinya makna literasi terus berkembang seiring dengan dinamika masyarakat maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Literasi nampaknya tidak hanya berupa aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga bertutur yang merupakan awal dari literasi membaca dan menulis," ujar Tjahjo.

Tjahjo mengatakan Indonesia telah memiliki sejarah literasi yang panjang. Literasi bahkan lebih jauh dari dicanangkannya Global Literacy Effort dari Unesco pada tahun 1946.

Bahkan ketika ditelusur oleh para arkeolog, sosiolog bahkan filolog, lanjut Tjahjo, di masa pra sejarah bahwasanya Indonesia telah mengenal literasi visual, simbol, gambar, bahasa tumbuh dan membaca tanda-tanda alam.

Hal senada juga diungkapkan Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra, yang menyatakan bahwa bertutur merupakan tradisi paling awal dalam kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan atau alfabet.

"Maka yang paling awal dari kehidupan manusia adalah bercerita atau bertutur ini tidak bisa dihindari, karena kita adalah makhluk sosial yang memiliki bahasa sebagai perangkat simbol yang paling efektif untuk menyampaikan gagasan, pikiran," ungkapnya.

Sedangkan tradisi membaca dan menulis, lanjut Heddy, diawali dari adanya alfabet atau tulisan. Hieroglyp dari budaya Mesir Kuno yang merupakan ukiran suci, menjadi basis untuk alfabet pertama di dunia.

"Penemuan alfabet memunculkan dua tradisi yang sangat penting, tetapi tidak selalu berjalan seiring yakni tradisi membaca dan menulis. Tradisi ini hanya akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika kondisi lingkungannya mendukung," terangnya.

Menurutnya, untuk menumbuhkan kebiasaan membaca perlu aadanya karya tulis yang menarik untuk dibaca, selain itu kemudahan dalam mengakses bahan bacaan serta danya perpustakaan yang lengkap.

"Sebaiknya perpustakaan tidak hanya berada di kota tetapi juga perpustakaan desa. Ini menjadi sangat penting karena banyak buku dan mudah diakses," lanjutnya.

Dan tradisi menulis yang kuat dapat berkembang jika ada kondisi yang mendorong orang untuk menghasilkan tulisan. Diantaranya, penghargaan terhadap karya tulis, adanya sanksi terhadap plagiarisme dan sanksi terhadap keminiman penulisan.

"Telah tiba saatnya untuk move on, dari masyarakat yang rajin membaca perlu diwujudkan masyarakat yang rajin membaca dan menulis," ujarnya.

Sementara itu, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) Restu Gunawan mengatakan, dalam kancah Internasional, Indonesia telah diakui prestasi literainya. Ini dibuktikan dari beberapa warisan tak benda, Warisan Budaya, dan Memory of the World yang telah dicatat di UNESCO.

"Meskipun ini wujud kebudayaan tetapi merupakan bagian dari literasi kita. Implementasi aktualisasi pemikiran manusia," ungkap Restu.

Restu memaparkan perlunya perubahan paradigma masyarakat terhadap kebudayaan. Kebudayaan bukanlah biaya melainkan sebuah investasi. Kebudayaan bukan hanya tentang masa lalu sehingga hanya perlu dilestarikan, melainan kebudayaan adalah masa lalu, kini dan masa depan.

"Budaya bukan defensif tetapi ofensif dengan memanfaatkan semua platfrom. Selain itu perlu dilirik bahwa desa sebagai lumbung budaya," lanjutnya.

Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Firman Hardiansyah mengatakan, gerakan literasi perlu komitmen Bersama, perlu adanya skenario gerakan literasi dan peta jalan gerakan literasi nasional. Sehingga tidak bergerak secara sporadis.

“Gerakan literasi ini milik bersama, jangan sampai ada ego sektoral. Sinergikan modal intelektual, modal simbolik, modal ekonomi serta modal budaya untuk mewujudkan gerakan literasi yang berbasis inklusi sosial,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Deputi Bidang Pengembangan Perpustakaan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Deni Kurniadi berharap melalui Seminar Nasional ini dapat menyusun kebijakan, perencanaan dan implementasi nasional maupun daerah tentang minat baca dan literasi.

“Kerjasama yang baik antara Perpustakaan Nasional RI dengan organisasi GPMB, dapat mendukung proyek prioritas nasional, dalam bidang perpustakaan, yaitu pengembangan budaya kegemaran membaca, serta mampu menjadikan perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan, pusat kebudayaan, serta pusat kegiatan masyarakat,” tutupnya.

 

Reportase           : Wara Merdeka

 

 

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung