Medan Merdeka Selatan, Jakarta - Wastra nusantara adalah salah satu nilai budaya yang cukup tinggi yang sepatutnya dipertahankan. Masyarakat dapat mempelajari dan melihat koleksi wastra nusantara yang berada di lantai 24 gedung layanan fasilitas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).
Hal tersebut diutarakan oleh Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara (Pujasintara) Perpusnas Agus Sutoyo pada saat penutupan acara Pekan Festival Literasi Nusantara, Minggu (19/4/2024).
Pekan Festival Literasi Nusantara dimulai pada tanggal 13-19 Mei 2024 yang berisi berbagai kegiatan. Diantaranya pekan literasi sejarah Indonesia, mengenal lebih dekat naskah kuno nusantara, gelar wicara festival literasi nusantara 44 tahun Perpusnas merajut asa melayani negeri, bazaar, pameran tematik HUT Perpusnas, lokakarya singkat, peluncuran buku Angin Perubahan, sosialisasi layanan digital Perpusnas, desk konsultasi layanan Perpusnas dan live musik.
Lebih lanjut, ia mengajak masyarakat menjadi anggota Perpusnas agar dapat memanfaatkan berbagai fasilitas yang disediakan oleh Perpusnas.
“Siapa saja masyarakat Indonesia boleh memanfaatkan semua koleksi Perpusnas yang ada di gedung ini. Silahkan bisa menjadi anggota Perpusnas dan juga bisa memberdayakan seluruh informasi yang bisa memberikan pengetahuan bagi masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Pada kesempatan gelar wicara “Literasi Budaya Nusantara”, Perancang Busana sekaligus Dosen Program Studi Mode dan Kriya Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sonny Muchlison memaparkan sejarah perkembangan wastra nusantara yang memiliki banyak filosofi dan merupakan bagian dari budaya di masyarakat.
Sebagai bagian dari budaya masyarakat, perempuan Indonesia pada zaman dahulu dianggap dewasa dan sudah bisa menikah jika sudah bisa menenun dan membatik.
Seperti misalnya pembuatan noken dari Papua yang pemakaiannya di kepala dan terbuat dari serat kulit kayu yang dipilin di paha. Jika paha gadis Papua sudah memerah akibat pilinan serat kulit kayu tersebut maka gadis tersebut sudah dianggap dewasa dan bisa menikah.
“Selain itu filosofinya adalah apapun bentuk beban hidup berada di sunggingan di kepala. Jadi dari membawa sayuran sampai membawa babi yang besar pun dibawa diatas kepala,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sonny Muchlison menjelaskan perbedaan peran pada saat pembuatan wastra nusantara dimana laki-laki mengerjakan pekerjaan yang lebih berat daripada wanita.
“Wanita yang mencanting batik, laki-laki mencap batik karena tenaga tekanannya kuat. Tapi disisi lain, wanita membuat motif yang berbeda untuk menghargai harkat dan martabat laki-laki. Pada masa dahulu, dilakukan juga pemisahan mana warna untuk perempuan dan laki-laki,” terangnya.
Selain itu, Sonny Muchlison juga mengingatkan mengenai pakem dalam pemakaian kebaya sebagai pakaian nasional sebagai bentuk usaha pelestarian dan pengembangan budaya Indonesia.
Penulis buku sekaligus penggiat membaca nyaring Kristin Samah dalam kesempatan ini menjelaskan bahwa beberapa bulan terakhir ia mengadakan program menulis dan membaca buku menjadi bagian untuk menjaga kesehatan mental.
“Ini dilakukan karena memang ada kebutuhan yang memang sangat tinggi di kalangan generasi muda yang sebetulnya mereka membutuhkan juga untuk didengarkan dan dibutuhkan juga penyaluran apa yang mereka rasakan,” jelasnya.
Sebagai pecinta wastra nusantara, Kristin Samah mengharapkan agar masyarakat mengetahui dan memahami filosofi dibalik kain yang digunakan melalui warna dan motifnya sehingga dapat menceritakan betapa kayanya Indonesia.
“Seperti misalnya kain yang saya pakai dari Pamekasan, ini juga ada filosofinya dimana artinya untuk mengikat persaudaraan. Kenapa saya pakai hari ini karena acara ini bisa mengikat persaudaraan,” jelasnya.
Dalam kesempatan ini, ia berharap agar menjadi tugas bersama untuk mensosialisasikan wastra nusantara kepada masyarakat dengan cara mencari informasi melalui narasumber yang tepat atau melalui buku.
Rangkaian penutupan pekan Festival Literasi Nusantara diisi oleh berbagai acara antara lain penampilan tari tradisional Lenggang Nyai oleh Sanggar Prangivadi, peragaan busana dengan tema “Kain Etnik Nusantara” oleh 3 desainer yakni Runti Rani, Harni Harun dan Arsita Resmisari serta pemberian hadiah lomba menggambar kepada para pemenang.
Reporter: Anastasia Lily
Fotografer: Aditya Irfan