IFLA WLIC 2021: Kerja Bersama untuk Masa Depan

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Perhelatan World Library and Information Conference tahun 2021 yang diselenggarakan oleh International Federation of Library Association (IFLA) telah usai. Konferensi internasional yang berlangsung selama 3 hari (17-19 Agustus 2021) ini mengangkat berbagai isu aktual di bidang perpustakaan dan informasi. Penyelenggaraan kongres yang didukung oleh Dutch National Committee ini fokus pada komitmen profesi untuk menyediakan layanan perpustakaan dan akses informasi yang berkualitas tinggi.

Kongres kali ini pertama kalinya digelar secara virtual mengingat pandemi Covid-19 yang masih belum mereda di berbagai negara. Tidak kurang dari 150 sesi digelar dan isu pandemi serta pemanfaatan teknologi adalah isu yang paling banyak dibahas.

Presiden IFLA Christine Mackenzie mengatakan bahwa pandemi yang berkepanjangan ini membuat kita harus menciptakan masa depan baru. Dia yakin jika pustakawan dapat mengambil peran dalam hal itu. “Yang membuat saya optimis adalah profesi kita. Kalian, orang-orang yang duduk di depan PC, atau tablet, atau smartphone, bergabung (dalam konferensi ini) dari tempat masing-masing di planet yang luar biasa ini. Kalian membuat perbedaan, karena kalian adalah pustakawan, yang berbagi nilai dan komitmen yang sama dengan seluruh pustakawan di seluruh dunia dengan keyakinan bahwa perpustakaan yang berperan untuk melestarikan akumulasi pengetahuan intelektual manusia, adalah penting,” ujarnya.

Akses Digital di Masa Pandemi

Isu akses pengguna perpustakaan merupakan tema yang banyak diangkat pada konferensi ini. Koleksi perpustakaan yang otoritatif dan terpercaya perlu dipermudah aksesnya dengan tetap berpedoman pada aturan dan etika yang berlaku.

National Library Board (NLB) Singapura menyadari hal tersebut. Kualitas konten perpustakaan yang bagus perlu dipermudah pencariannya. Rachael Goh dari NLB adalah salah satu pembicara sesi dengan tema Outsourcing, Cloud & New Technology in Libraries, During & After the Pandemic. Afraid of the Risks or Seduced by the Opportunities? Ia menjelaskan bahwa saat ini orang selalu melakukan pencarian informasi dengan menggunakan mesin pencari Google. “Ada masa di mana orang datang ke perpustakaan untuk mencari informasi yang murah. Sekarang saya cukup Google Search untuk menemukan informasi yang dicari,” ucapnya.

“Karenanya, kita harus memastikan sumber daya kita mudah ditemukan. Perpustakaan sebagai penyedia informasi harus mengikuti keinginan pengguna,” tambah Rachael. SEO atau Search Engine Optimization adalah metode yang digunakan NLB untuk mencapai tujuan tersebut.  “Secara singkat SEO adalah metode untuk meningkatkan visibility dari web page kita,” tambah Rachael.

Metadata MARC yang biasanya terdapat pada bahan perpustakaan merupakan jenis metadata yang tidak mudah dikenali oleh mesin pencarian di internet. Karenanya, NLB melakukan konversi metadata menjadi data yang terstruktur dengan skema yang terdapat pada Schema.org. Diperlukan sumber daya dan usaha yang besar untuk mengerjakannya, tetapi hasilnya terbukti meningkatkan akses pengguna terhadap koleksi.

Presentasi lain disampaikan oleh pembicara dari Indonesia, I Putu Ari K Budiasa. Ia menjelaskan pemanfaatan cloud computing untuk knowledge management.

Sebagai sebuah proses pengolahan sistem daya komputasi melalui jaringan internet, terdapat dua tipe cloud computing berdasarkan lingkungannya. Tipe pertama adalah public cloud dan tipe kedua adalah private cloud. Public cloud menjadi pilihan untuk kemudahan, sedangkan private cloud lebih cocok jika dokumen pengetahuan bersifat rahasia.

“Keuntungan cloud di antaranya, bebas akses di mana saja, mengurangi biaya teknologi informasi, meningkatkan visibilitas dan konektivitas informasi, cakupan yang lebih luas,serta meningkatkan produktivitas. Sedangkan isu yang perlu dipertimbangkan adalah perlindungan data, aturan negara, sistem yang cepat berganti, proses migrasi data, dan kepercayaan user,” jelas Putu Ari.

Partisipasi Pustakawan Perpusnas

Pustakawan Perpustakaan Nasional RI juga tidak ketinggalan berpartisipasi dalam kegiatan ini. Selain mengikuti tren terbaru dalam pengembangan perpustakaan dari berbagai belahan dunia, kegiatan konferensi seperti ini juga diperlukan dalam membangun relasi dengan rekan seprofesi. Hal tersebut disampaikan Arief Wicaksono, Pustakawan Madya di Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah.

“Hal yang didapatkan adalah pengetahuan terkait praktik perpustakaan di belahan bumi lain. Ada satu hal yang harusnya dilakukan namun belum terealisasi, yaitu membangun jejaring. Konferensi baik nasional ataupun internasional, seharusnya digunakan untuk membangun relasi dengan yang lainnya, bukan sekedar mendapatkan pengetahuan baru untuk dapat diterapkan nantinya. Dengan adanya email dari masing-masing presenter, mungkin tetap bisa dilakukan setelah konferensi,” ucap Arief.

Sementara itu, Destiya Prabowo, Pustakawan Madya dari Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan mengatakan bahwa konferensi ini memberinya inspirasi dan cara pandang baru. “Saya mendapatkan inspirasi tentang bagaimana sebuah perpustakaan dapat dikelola untuk keberlangsungan hidup di masa depan. Semboyan Libraries Change Lives ini menjadikan semangat tersendiri bagi saya khususnya agar pustakawan dan perpustakaan dapat mengambil peran yang sangat vital bagi kehidupan di Indonesia secara khusus,” kata Destiya.

Kegiatan yang dilakukan secara virtual memiliki kelebihan dan kekurangannya. Arief mengatakan bahwa kelebihan virtual ini, yaitu dapat memutar ulang video streaming kegiatan yang ingin didalami. “Rekaman IFLA WLIC dapat diakses kembali meskipun hanya berlaku selama beberapa bulan setelah acara, kabarnya malah bisa sampai satu tahun,” jelas Arief.

Destiya menjelaskan bahwa dia merasa dengan metode virtual, materi dapat tersampaikan dengan lebih baik. “Karena peserta dapat menyimak dengan lebih baik dan beberapa platform dapat merekam acara secara mandiri. Tetapi ketika jaringan tidak stabil ketika konferensi berlangsung, maka hal itu menjadi kekurangan,” ucap Destiya.

Isu knowledge management, resource sharing, dan berbagi pengalaman perpustakaan dari belahan dunia lain merupakan tema favorit Destiya, sedangkan Arief lebih mendalami tema layanan referensi karena sesuai dengan pekerjaannya sehari-hari. “Sebenarnya yang ingin digeluti adalah tema yang bersinggungan dengan layanan referensi sesuai dengan penugasan di Perpusnas saat ini. Namun sayangnya tidak banyak dibahas meskipun ada sesi dari seksi layanan referensi IFLA,” terang Arief.

Reporter: Radhitya Purnama

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpusnas Republik Indonesia

Jumlah pengunjung: NaN