Medan Merdeka Selatan, Jakarta – Kemampuan membaca menjadi akar persoalan beredarnya informasi palsu yang beredar di dunia. Kurangnya kemampuan membaca yakni memanfaatkan, menggunakan, juga menyebarluaskan informasi di dunia digital membuat kondisi literasi digital Indonesia memprihatinkan.
Hal ini terungkap dalam Diskusi Literasi dengan tema “Peran Perpustakaan dalam Era Literasi Digital” yang diselenggarakan di Ruang Auditorium Lantai 2, Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11, Jakarta, pada Kamis (2/11/2017). Diskusi menghadirkan tiga narasumber yakni Kepala Biro Hukum dan Perencanaan Perpusnas Joko Santoso, Anggota Pegiat Jaringan Literasi Digital (Japelidi) Mediana Handayani, Jurnalis senior CNN Indonesia Prabu Revolusi dengan moderator Lalita Gandaputri.
Menurut salah satu pembicara, Kepala Biro Hukum dan Perencanaan Joko Santoso, kemampuan membaca dan literasi digital memiliki keterkaitan erat. “Kalau kita berbicara tentang literasi digital, ini adalah tentang bagaimana kemampuan kita dalam memahami, menilai, menganalisis, menyebarluaskan informasi dalam format digital. Fenomenanya, ketika kita bicara tentang media sosial saat ini, bahwa medsos dipadati berita abal-abal, banyak informasi yang sesat, yang menimbulkan keraguan, sehingga banyak persoalan,” jelas Joko.
Perpustakaan sebagai sumber informasi memiliki peranan dalam menangkap fenomena literasi digital saat ini. Joko memaparkan, perpustakaan merupakan rujukan dalam memverifikasi informasi sesat yang beredar di dunia maya.
“Perpustakaan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas bagaimana mengumpullkan berbagai macam informasi, karya intelektual, mengorganisasikannya, mengolahnya, dan memberikan layanan dalam berbagai macam bentuk. Di sinilah peran perpustakaan, pustakawan, dan juga bahan perpustakaan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat demi kebaikan bersama,” urai Joko di hadapan ratusan peserta diskusi yang terdiri dari para humas dan pustakawan dari berbagai kementerian dan lembaga.
Dalam sambutannya, Kepala Perpustakaan Nasional Muh. Syarif Bando Hadir menolak anggapan bahwa perpustakaan tidak berperan dalam pengembangan literasi. Menurutnya, pondasi budaya baca terdiri dari empat hal yaitu belajar mengenal huruf, mengenal kata, mengenal kalimat, dan memahami hubungan sebab akibat.
Karenanya, rendahnya literasi tidak bisa ditumpukan hanya pada keperpustakaan. Syarif menjelaskan, literasi memiliki tahapan. Karenanya, sehingga harus dikenal sudah sejauh mana tahapan literasi yang dialami masyarakat Indonesia.
Tahapan pertama adalah kemampuan seseorang dalam mengumpulkan sumber bahan bacaan. Selanjutnya, tahap kedua, kemampuan seseorang untuk memahami apa yang tersurat, tersirat dari yang tersurat. Tahap ketiga, kemampuan seseorang untuk meningkatkan ide dan gagasan. Dan tahap keempat, kemampuan seseorang untuk menciptakan produk dari apa yang diketahui. Pada tahap terakhir inilah yang menjadi masalah di Indonesia.
“Nah, kita ini belum sampai tahap keempat. Kita bukan kekurangan sarjana elektronik, masalahnya yang bikin handphone belum ada. Jadi kita sudah sampai level kemampuan membaca pada keahlian dasar, tapi masalahnya ada sarjana yang tidak bisa menciptakan dari apa yang diketahui,” pungkasnya.
Reportase: Hanna Meinita