Jakarta—Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI Muhammad Syarif Bando mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memaknai literasi secara luas. Menurutnya, pemahaman bahwa literasi sebagai kemampuan mengenal huruf, kata, kalimat, menyatakan pendapat, dan sebab-akibat, sebagai hal yang lawas. Pasalnya, makna literasi seperti itu sudah berkembang pada masa kemerdekaan Indonesia, tahun 1945. Pada saat itu, proklamator Bung Karno mesti terjun langsung ke masyarakat untuk mengenalkan literasi karena angka melek huruf penduduk Indonesia hanya dua persen. Apalagi saat itu kondisinya tidak didukung oleh anggaran pendidikan nasional. "Sehingga kalau masih bicara literasi versi Bung Karno maka kita bicara jauh mundur ke belakang," ujarnya.
Kini, kondisinya sudah berubah. Sebanyak 96 persen penduduk Indonesia sudah bica melek huruf. Apalagi anggaran Pendidikan sudah mendapat porsi 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBBN). Karenanya, menurut Syarif, pemahaman mengenai literasi harus berubah. Ini harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya SDM Unggul.
"Karena itu literasi di era Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin menurut versi Perpustakaan Nasional yang kami jabarkan dari RPJMN arahan Presiden di sidang kabinet. Yang pertama, kemampuan aksesibilitas terhadap sumber-sumber bahan bacaan terpercaya, terlengkap, terkini. Yang kedua, literasi adalah kemampuan memahami apa yang tersirat dari yang tersurat. Dalam konteks ini mustahil kita bisa mengerti tanpa membaca. Yang ketiga, literasi adalah kemampuan mengemukakan ide atau gagasan baru, inovasi baru, kreativitas baru hingga memiliki kemampuan menganalisis informasi,†ujarnya saat menjadi pembicara utama webinar “Literasi Informasi Berbasis Media Digital†yang diselenggarakan Perpustakaan Politeknik STIA LAN Jakarta, pada Kamis (4/3/2021).
Puncaknya, jelas Syarif, literasi adalah kemampuan menciptakan barang dan jasa bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global. Dia menjelaskan, banyak produk yang digunakan bangsa Indonesia merupakan produksi luar negeri. Karenanya, dia meminta civitas academica agar menghasilkan lulusan yang mampu menghasilkan produk kompetitif dengan negara lain.
“Maka rasanya kalau literasi hanya sampai tingkatan ketiga, negara ini gak bisa dapat apa-apa. Maka ke depan, literasi yang mesti dibangun civitas academica adalah literasi yang keempat yaitu kemampuan menciptakan barang dan jasa yang bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global,†jelasnya.
Syarif menegaskan, tahun ini, pihaknya mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama membangun kondisi literasi di Indonesia yang diklaim minat baca dan indeks literasinya rendah. Menurutnya, dua kondisi tersebut merupakan fakta yang ada di lapangan. Ini adalah kondisi yang terjadi di sisi hilir.
Karenanya, harus ada kerja sama untuk mengatasi kondisi di hulu. Di antaranya, peran negara seperti kebijakan yang dihasilkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, peran akademisi, perguruan tinggi, pengarang, penerbit, dan penerjemah, juga dibutuhkan untuk mengatasi kondisi di hulu. Peran seluruh pihak dibutuhkan untuk memastikan buku tersedia dan bisa sampai ke seluruh pelosok Indonesia.
“Sesuai dengan data Bappenas dan BPS menyatakan 90 persen penduduk Indonesia terjun ke masyarakat dengan modal ijazah SD, SMP, SMA, tidak tembus perguruan tinggi. Karenanya 10 persen yang tembus ke perguruan tinggi dan kurang lebih 7-8 persen yang selesai. Maka masalahnya adalah siapa yang menyiapkan buku untuk masyarakat Indonesia? Ini menjadi tantangan,†urainya.
Literasi tinggi akan menghasilkan produksi massal. Dan ini bisa dibangun melalui pendidikan, khususnya perguruan tinggi, yang menghasilkan lulusan dengan kemampuan menciptakan lapangan kerja. “Harus ada reformasi sistem pendidikan kita di semua lini, terutama di perguruan tinggi untuk memastikan apa yang diharapkan Menteri Pendidikan kita minimal, setelah enam bulan keluar dari kampus, sudah harus menciptakan lapangan kerja. Ini memang cara pandang terhadap pendidikan ini harus dirombak total dalam filosofi mahasiswa,†pungkasnya.
Reporter: Hanna Meinita
Fotografer: Ahmad Kemal Nasution
Â
Â