Medan Merdeka Selatan, Jakarta – Perjalanan haji orang-orang islam di Asia Tenggara telah berlangsung sejak periode modern awal hingga abad ke-21. Selama masa itu, dinamikanya berjalan dengan sangat dinamis.
Para jamaah haji asal Asia Tenggara atau sering disebut dengan jamaah haji Jawi, di era modern awal hanya dapat mengandalkan kapal laut untuk pergi ke tanah suci. Hal itu dikarenakan, pada masa tersebut, fasilitas transportasi masih sangat terbatas.
“Maka sudah menjadi mahfum jika perjalanan haji membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan tidak jarang, hantaman ombak di Samudera Hindia pun sering membuat kapal-kapal pengangkut jamaah haji karam,” ucap Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), Mariana Ginting, Rabu (30/10/2024).
Lebih lanjut, dalam sambutannya pada kegiatan gelar wicara kesejarahan Jasmerah yang mengangkat tema Perjalanan ke Tanah Suci: Jamaah Haji Indonesia dalam Arus Sejarah, Mariana menambahkan bahwa masuknya kolonialisme Belanda di Indonesia juga telah mengubah aktivitas ibadah haji.
Pada sesi diskusi, Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia, Zacky Khairul Umam mengatakan jamaah haji pada masa itu biasanya tidak langsung kembali ke kampung halaman. Mereka menetap di sana untuk mencari ilmu dari para ulama besar yang mengajar di Makkah.
“Haji bagi muslim Asia Tenggara atau dalam hal ini Indonesia merupakan satu upaya pembentukan komunitas muslim internasional (ummah), komunitas intelektual muslim, dan jaringan otoritas agama/politik,” jelasnya.
Sementara itu, pelaksanaan ibadah haji di Indonesia menurut Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, negara memegang peranan besar.
“Haji di Indonesia menggabungkan kontrol negara, kewajiban agama, dan kepentingan ekonomi dan politik. Kemudian melalui Kementerian Agama, negara memastikan organisasi penyelenggaraan haji dan dukungan negara bagi jamaah,” ungkapnya.
Dadi juga menekankan bahwa perdebatan yang akan terus berlanjut adalah tentang pentingnya mereformasi birokrasi haji dan meningkatkan transparansi. Selain itu, inovasi kebijakan serta keterlibatan publik untuk meningkatkan pengalaman haji bagi jamaah Indonesia juga diperlukan.
Sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam meningkatkan tingkat literasi masyarakat, Perpusnas perlu mengadakan kegiatan gelar wicara kesejarahan Jasmerah.
Jasmerah merupakan akronim yang pernah diucapkan oleh Presiden Sukarno pada pidatonya yang terakhir di tahun 1966, di mana kepanjangannya ialah ‘Jangan Sekali Kali Meninggalkan Sejarah’.
Konteks akronim Jasmerah dalam kegiatan gelar wicara ini dimaknai sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kesadaran literasi masyarakat tentang isu-isu kesejarahan yang pernah terjadi di Indonesia.
Reporter: Basma Sartika
Dokumentasi: Aji Anwar dan Alfiyan Tarih Alfatih