MENCEGAH lebih baik daripada mengobati. Namun dalam situasi yang serba tidak menentu (VUCA) persoalannya menjadi lain. Misalnya penyebaran virus covid 19 yang belum juga usai. Ini pun menjadi tantangan industri alat kesehatan (alkse) termasuk farmasi untuk berkontribusi. Daya saing kualitas dan harga produk menjadi salah satu tantangannya agar dapat mengurangi ketergantungan dari impor. Hingga kini, lebih dari 90-an persen alkes termasuk farmasi masih impor untuk memenuhi kebutuhan sekitar 2700 Rumah Sakit dan 9700 Puskesmas dalam melayani sekitar 271-an juta jiwa rakyat Indonesia. Satu sisi, aspek teknologi canggih di negara maju berkembang sangat pesat berbasis teknologi era Revolusi Industri 4.0 maupun Society 5.0 ala Jepang. Â Faktor pragmatisme maupun pemburu rente yang mengejar keuntungan semata juga menjadi penghambat kemajuan. In paralel, daya saing industri nasional perlu dipacu lebih kencang lagi agar mampu memproduksi alkes, termasuk farmasi sendiri terutama uuntuk menaggulangi wabah corona yang telah berdampak multi-dimensional; dan hingga kini belum juga mereda. Pun, anggaran yang disiapkan sangat besar mencapai Rp 641,17 Trilium termasuk rencana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) seperti social safety net, economy safety net, financial safety net, dan health safety net.
    Data BNPB per 18 Mei 2020 : ada 17.514 kasus terinfeksi positif covid 19; dirawat di Rumash Sakit 12.237 orang, sembuh 4.129 dan meninggal dunia 1.148 orang. Sementara itu, untuk data dari 213 negara sedunia adalah 4.796.714 kasus terinfeksi positif covid 19, yang dinyatakan sembuh 1.849.628 orang dan meninggal dunia sebanyak 316.434 orang.
    Produk dan Daya Saing
    Data Kemenkes R.I pada 2018 bahwa industri alkes dalam negeri meningkat sekitar 25% menjadi 242 industri dari tahun lalu dan memproduksi alkes sebanyak 294 jenis.  Pada umumnya industri alkes nasional belum mampu bersaing dengan produk mancanegara, baik mengenai harga dan kualitasnya, terlebih di era globalisasi pasar bebas. Trade-off antar harga dan kualitas inilah yang menjadi tantang terbesar bagi industri alkes nasional. Walapun jika dilihat dari sisi penyelenggara layanan kesehatan telah terdukung untuk meningkatkan kontrobusi riil bagi pasien; namun dari sisi pengembangan industri nasional dirasa sangat merugikan karena pangsa pasar nasional sangat potensial, dikaitkan dengan jumlah penduduk yang sangat besar.
    Ke depannya, industri alkes dalam negeri ini akan diarahkan melalui pengembangan yang inovatif berbasis riset. Ada beberapa lembaga riset seperti BATAN dan BPPT serta pendidikan tinggi di Indonesia seperti UGM dan ITB yang terlibat sebagai sumber munculnya riset-riset inovatif di bidang alat kesehatan. Juga, Badan Riset Nasional perlu fokus dan besinergi dengan lembaga riset industri strategis nasional, swasta maupun kalangan Perguruan Tinggi dalam maupun mancanegara untuk memproduksi alkes canggih produk anak bangsa sendiri, satu diantaranya berbegas untuk memproduksi alkes pendukung penanggulangan penyebaran covid 19 yang memuhi standar mutu, keamanan dan manfaat. In parallel, anggaran riset nasional sebesar 0,3% dari PDB (Produk Domestik Bruto) perlu ditingkatkan terutama untuk teknologi terapan yang berbasis revolusi industry 4.0. Jika dibanding dengan negara lain, anggaran riset saat ini relatif kecil, misalnya anggaran riset di Israel 4,21% dari PDB, Korea Selatan 4,15% dari PDB, Jepang 3,47% dari PDB, Amerika Serikat 2,81% dari PDB, Singapura 2.5% dari PDN, Thailand 2.5% dari PDB dan Malaysia 1,8% dari PDB.
Terkait uji klinik terhadap alkes harus mengikuti ketentuan Permenkers No.63 Tahun 2017 tentang Cara Uji Klinik Alat Kesehatan yang Baik; sehingga terjamin kemanan, mutu dan manfaatnya.
    Kemudian, dalam kontribusi menanggulangi penyebaran covid 19, industri alkes nasional memproduksi alat pelindung diri (APD) seperti sarung tangan medis, goggles, masker, alat rapid test maupun obat-obatan dan vitamin. Untuk produk APD ini rata-rata Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sekitar 25-90%. Tantangan utamanya adalah menemukan vaksin covid 19 yang dilakukan melalui riset bekerjasama dengan para pihak. Disamping itu, PT PINDAD dan PT Dirgantara Indonesia juga memproduksi ventilator secara massal dalam kontribusinya mendukung penanggulangan covid 19. Ini model triple helix yang patut diapresiasi dan dikembangkan terus menuju kemandirian.
    Investasi berbasis kepentingan nasional
    Kita membuka kran investor dari dalam maupun luar negeri namun tetap berorientasi pada kepentingan nasional baik aspek keamanan maupun kesejahteraan; agar merdeka dan tidak menjadi bulan-bulanan pihak asing. Kita patut meneladani Ajaran Trisakti Bung Karno dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Perlu nyali untuk meredefinisi dan merevisi semua kontrak dengan para investor, terutama yang merugikan seperti misalnya kontrak terima jadi (turn key contract).
    Pola Hidup Baru (New Normal)
    Akibat terdampak covid 19 merubah sendi-sendi kehidupan, terutama harus tinggal di rumah sehingga terjadi sudden death perekonomian, PHK merajalela dan produktivitas anjlok. Semua berharap agar wabah covid 19 ini segera berakhir sehingga dapat memulai kehidupan seperti sediakala. Namun, harapan ini nampaknya belum bisa jadi kenyataan karena penyebaran wabah tersebut masih terus meningkat, mudah menular dan berlangsung sangat cepat serta vaksin belum diketemukan. Sehingga WHO menganjurkan pola kehidupan baru (New Normal) dalam arti tetap melakukan aktivitas seperti biasa dengan mematuhi ketentuan protokol kesehatan, terutama bagi meraka yang berusia dibahwa 45 tahun diizinkan untuk berkativitas di luar rumah. Satu hal yang harus sungguh-sungguh dijalankan adalah Sikap Disiplin diri dan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan demi kesehatan diri maupun orang lain.
    Dengan demikian, kita berharap agar industri alkes nasional semakin mampu memproduksi barang yang berkualitas dengan harga yang terjangkau, terutama segera menemukan vaksin covid 19 demi kepentingan kemanusiaan. Semoga.Â
Oleh : K.R.A.T. Suharyono S. Hadinagoro, M.M.
(Pemerhati Ketenagakerjaan & Ekonomi Kerakyatan, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti, Alumni PPRA LIX Lemhannas RI)