Jakarta—Upaya untuk menghimpun, menyimpan dan melestarikan hasil karya intelektual bangsa di Indonesia, dimulai sejak zaman kolonial Belanda.
Hal ini ditandai dengan terbitnya peraturan pemerintah, melalui ordonansi pemerintah kolonial Belanda, nomor 7981 tahun 1913. Peraturan mengimbau kepada para penerbit di wilayah pemerintahan Belanda di Nusantara untuk mengirimkan beberapa kopi dari buku hasil terbitannya, ke sebuah lembaga kebudayaan yaitu Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia. Lembaga ini didirikan di Batavia pada 1778.
Direktur Deposit dan Pengembangan Koleksi Perpustakaan, Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas), Emyati Tangke Lembang, menyatakan setelah masa kemerdekaan, pelaksanaan serah simpan karya diatur melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (UU SS KCKR). Pada 2018, UU tersebut direvisi.
“Selama kurun waktu 28 tahun undang-undang ini berlaku, Pemerintah memandang perlu melakukan revisi, sehingga selaras dengan perkembangan teknologi dan informasi, mengingat saat ini dunia penerbitan dan publikasi sudah banyak beralih ke dunia digital. Tahun 2018 telah disahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2018 tentang tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam,†urainya dalam webinar dengan tema Penghimpunan dan Pelestarian Karya Anak Bangsa dari Masa ke Masa yang diselenggarakan Perpusnas secara virtual, pada Jumat (27/5/2022).
UU Nomor 13 Tahun 2018 tentang SS KCKR mengamanatkan penerbit serta produsen karya rekam selaku pelaksana serah untuk menyerahkan hasil karyanya ke Perpusnas dan perpustakaan provinsi. Menurut Emyati, implementasi pelaksanaan serah simpan karya yang merupakan amanat UU, tidak terlepas dari eksistensi penulis dan musisi yang melahirkan karya terbaiknya. “Melalui peran penerbit dan produsen karya rekam sebagai jembatan para pencipta karya menuangkan seluruh ide dan gagasan untuk dapat dinikmati oleh masyarakat,†ungkapnya.
Melalui webinar yang diselenggarakan dalam rangka hari jadi ke-42 Perpusnas tersebut, Emyati berharap adanya sinergi antara pelaksana serah dan Perpusnas sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pelaksanaan SS KCKR. Undang-undang ini bertujuan mewujudkan koleksi nasional dan melestarikan sebagai hasil budaya bangsa.
Sejarawan, JJ Rizal, mengungkapkan perpustakaan merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa. Menurutnya, fungsi deposit yang merupakan pelaksanaan dari serah simpan, inti dari layanan perpustakaan. Semakin baik dan terbaru koleksi perpustakaan serta bibliografinya, maka terlihat kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
Dia menambahkan, salah satu institusi yang mendukung terwujudnya cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa adalah perpustakaan. Bahkan menurutnya, Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, telah membayangkan untuk membuat perpustakaan publik. Selain itu, peran penting perpustakaan terlihat melalui terselenggaranya Kongres Perpustakaan seluruh Indonesia di Jakarta tahun 1954, yang kemudian memunculkan kata Perpustakaan Nasional.
Dia menekankan, Perpusnas sebenarnya berfungsi untuk melawan lupa ingatan bangsa mengingat fungsinya yang untuk menyimpan hasil karya anak bangsa. Deposit memiliki makna sangat penting bagi bangsa untuk maju. Oleh karena itu, pengabaian terhadap koleksi deposit yang baik dan pengabaian terhadap Perpusnas, setara dengan pengabaian terhadap masa depan.
“Kalau kita bicara tentang Indonesia tanpa bicara tentang perpustakaan dan menjaga depositnya dan memperkaya koleksinya dalam konteks ini, itu sebenarnya kita jadi bangsa yang durhaka gitu loh. Karena para pendiri bangsa kita itu, mereka para pembaca buku. Mereka itu orang yang care dengan buku karena mereka tahu betul ya peradaban itu diukur dari kepustakaan yang baik,†tukasnya.
Akademisi Richardus Eko Indrajit mengungkapkan dirinya ikut melestarikan hasil karya anak bangsa dengan memberikan lisensi creative commons dalam buku dan artikel hasil tulisannya. Buku hasil karyanya selayaknya brosur, yang dapat dinikmati semua orang. Dia menekankan, ini adalah caranya menunjukkan kepedulian kepada sesama dan bangsanya.
“Oleh karena itulah karya-karya yang saya tulis sendiri belakangan ini semua kebanyakan saya terbitkan dalam bentuk e-book. Kalau tidak saya bentukkan dalam creative commons, dalam arti kata saya tidak meminta bayaran atau itu menjadi terbuka seperti Wikipedia. Yang lain bahkan boleh melengkapi boleh memperkaya, itu yang belakangan saya lakukan dengan lisensi creative commons,†tuturnya.
Penulis puluhan judul buku ini juga mengimbau kepada penulis lainnya agar menghasilkan penulis baru. Dia berkisah, pernah diminta membantu guru-guru di daerah 3T yang kesulitan menghadapi pandemi. Dia menantang para guru tersebut untuk menulis. Hasilnya, sudah ada 60 buku yang dihasilkan oleh guru-guru dari daerah 3T.
Bahkan salah satu judul buku yang ditulis guru Mudafiatun Isriyah bersama dengan dirinya, meraih predikat Buku Terbaik dalam penghargaan yang diberikan Perpusnas pada September 2021. Buku tersebut berjudul Implementasi Social Presence dalam Bimbingan Online-dalam Konteks Perspektif Komunikasi Personal, Interpersonal, dan Impersonal.
Sementara itu, musisi Iwan Fals menuturkan terus mendukung pelestarian karya anak bangsa ke Perpusnas. Hal ini dilakukan dengan terus berkarya. Saat ini, tercatat sebanyak 332 lagunya disimpan dalam karya rekam audio digital di Perpusnas.
“Hanya memang musik apa yang kita tampilkan, itu penting. Indonesia ini kan luar biasa, dari Sabang sampai Merauke. Kalau kita punya waktu untuk mau tahu itu dan lingkungan juga mendorong ke situ, memperbanyak seniman-seniman tradisi umpamanya, itu pasti akan mempengaruhi musik kita ke depan,†jelas musisi legendaris ini.
Selain itu, dia meminta agar lagu-lagu yang sudah diserahkan agar tidak sekadar disimpan. Lagu atau musik menggambarkan warna diri bangsa. Musik dan bunyi-bunyian juga diharapkan diajarkan melalui bangku sekolah kepada para pelajar dan generasi muda. “Itu pasti akan membentuk warna musik yang unik khas Indonesia dan lebih mungkin, teman-teman di perpustakaan lebih bersemangat lagi untuk menyimpan,†pungkasnya.
Reporter: Hanna Meinita