Jakarta - Dalam rangka peningkatan tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional untuk mencapai optimalisasi penyelenggaraan perpustakaan dan peningkatan kegemaran membaca di masyarakat, perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 (UU No. 43 Tahun 2007) tentang Perpustakaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Biro Hukum, Organisasi, Kerja Sama, dan Hubungan Masyrakat Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) menggelar rapat pembahasan penyusunan Daftar Inventarisir Masalah UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Perpustakaan merupakan institusi yang mengembangkan literasi masyarakat untuk menjadi insan pembelajar sepanjang hayat. Untuk itu, ada 2 (dua) hal yang harus dilakukan yakni perpustakaan perlu berperan aktif dalam menginternalisasikan kemampuan literasi masyarakat dan perpustakaan menyediakan bahan bacaan yang mendukung kebutuhan literasi masyarakat.
Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bando mengatakan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dinilai tidak lagi relevan dan mengakomodir kebutuhan di era saat ini. Hal ini menurutnya terjadi karena ada perubahan paradigma perpustakaan.
Tugas perpustakaan tidak hanya terpusat pada manajemen koleksi, melainkan lebih kepada manajemen pengetahuan dan transfer pengetahuan. Manajemen koleksi terbatas pada pengadaan koleksi perpustakaan, sementara manajemen pengetahuan dan transfer pengetahuan adalah peran aktif dalam menginternalisasi kemampuan literasi masyarakat.
“Manajemen pengetahuan dan transfer pengetahuan harus dicantumkan di dalam perubahan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan karena keduanya telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat hari ini,” ucapnya di Hotel Oria, Senin (17/7/2023).
Lebih lanjut, Kepala Perpusnas juga menyampaikan usulan lainnya yaitu gerakan menulis buku yang berisikan asal usul budaya, potensi sumber daya alam, hingga ilmu terapan. Dengan demikian, harapan atas keragaman bahan bacaan dapat terjamin, sekaligus mampu membentuk masyarakat yang inovatif dan kreatif.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Forum Perpustakaan Khusus Indonesia, Riko Bintari Pertamasari mengungkapkan bahwa kelembagaan menjadi permasalahan yang ditemukan pada perpustakaan khusus. Dia berharap agar struktur perpustakaan khusus ada dan memiliki posisi yang kuat pada perubahan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
“Permasalahan yang ada yakni masalah kelembagaan. Perpustakaan khusus, tusi dan strukturalisasinya menghilang. Harapannya minimal strukturnya ada, jelas, dan anggarannya tersedia sendiri” katanya.
Dia juga menerangkan perpustakaan khusus pasti memiliki kekhususan masing-masing, sehingga literasi tematik perlu diangkat menjadi kegiatan yang dilaksanakan.
Sementara itu, Pembina Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia, Ihsanudin menyampaikan bahwa keberadaan perpustakaan sekolah masih bersifat abu-abu. Selain itu, baginya kualifikasi dan kompetensi untuk pengelola perpustakaan harus ditegaskan.
Ihsanudin juga berpendapat ekosistem digital wajib dikembangkan di perpustakaan sekolah. Dan tak kalah penting, sarana dan prasana juga harus menjadi perhatian.
“Di era artificial intelegent, hal yang paling esensial untuk dikembangkan di perpustakaan sekolah, bukan lagi koleksinya melainkan ekosistem digitalnya yang harus dibangun. Ruangan yang luas dan nyaman juga wajib diperjuangkan, agar kelak perpustakaan mampu menjadi poros di sekolah,” ungkapnya.
Reporter: Basma Sartika
Fotografer: Ahmad Kemal Nasution