Medan Merdeka Selatan, Jakarta – Tepat di momentum 100 Tahun Ibu Mastini, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) meluncurkan Biografi Kepala Perpusnas Pertama.
Buku berjudul "Mastini Hardjoprakoso: Memorial Peletak Fondasi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia", merupakan buku memorabilia yang didasarkan pada arsip-arsip yang menjadi ciri khas kepenulisan di bidang perpustakaan dan kearsipan.
Mastini Hardjoprakoso lahir di Mojogedang Karanganyar 7 Juli 1923, dikenal sebagai pemimpin di bidang perpustakaan dan telah menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama sebagai putra terbaik bangsa dan Nugra Jasa Dharma Pustaloka dari Perpusnas.
Buku ini menggambarkan perjalanan hidup Mastini Hardjoprakoso dan sepak terjangnya di bidang perpustakaan. Dalam buku tersebut, terungkap bagaimana Mastini Hardjoprakoso, lulusan Ilmu Perpustakaan dari Universitas Hawaii, memiliki kapasitas dan pengetahuan yang mendalam dalam mengembangkan perpustakaan nasional. Dia juga dekat dengan Ibu Tien Soeharto, dan memainkan peran penting dalam mendirikan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando menyampaikan Mastini adalah sosok yang telah berjuang dalam menghadirkan sebuah perpustakaan di Indonesia.
"Tidak lain ada dua, hak masyarakat untuk mendapatkan layanan perpustakaan yang sesuai dengan kebutuhannya, yang sesuai dengan jamannya dan dimodernisasi sesuai perkembangan teknologi. Dan itu menjadi dasar ibu Mastini berjuang sampai titik darah penghabisan untuk menghadirkan perpustakaan di negeri ini," ungkapnya saat Peluncuran Buku Mastini Hardjoprakoso: Memorial Peletak Fondasi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jumat (7/7/2023).
Lebih lanjut dijelaskan, dengan perjuangan Mastini maka perpustakaan bisa hadir dan mendapatkan tempat di silang monas. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam buku Bung Karno Sang Arsitek, dimana saat itu Soekarno-Hatta pada tahun 1957 membahas mengembangkan kawasan silang monas, yang menempatkan monumen nasional (monas) sebagai ikon peradaban nasional.
Gagasan tersebut meletakkan Istana Negara di Jalan Medan Merdeka Utara, mendirikan Museum Nasional (Museum Gajah) di Jalan Medan Merdeka Barat, membangun Galeri Nasional di Jalan Merdeka Timur, dan mendirikan Perpustakaan Nasional di Jalan Medan Merdeka Selatan).
"Maka sudah sempurna ikon peradaban monumen nasional, kita bertanggung jawab untuk menjaga eksistensi perjuangan ibu Mastini," lanjutnya.
Buku yang terdiri dari 10 bab ini ditulis oleh Supriyanto, Prita Wulandari, dan Rosy Ardryani, lanjutnya, mewujudkan komitmen bahwa pustakawan tidak hanya sebagai pekerja penjaga peradaban tetapi juga pencipta peradaban baru.
Salah satu penulis, Supriyanto menceritakan dirinya mengenal sosok Mastini Hardjoprakoso sebagai pemimpin proyek persiapan pendirian Perpusnas.
Selama hampir 20 tahun bekerja sebagai anak buah dan murid Mastini, dia secara teratur mendengarkan, memperhatikan, dan membaca dokumen-dokumen arsip yang mendukung perjalanan perpustakaan nasional.
"Ibu Mastini sosok yang unik dan langka, di tahun 1970 banyak yang menyarankan beliau dipertimbangan untuk bisa mengikuti pendidikan setara S2 di Universitas Hawaii. Dia bisa mengikuti dengan baik bahkan menghasilkan kertas kerja, salah satunya berjudul The Need of National Library of Indonesia," jelasnya.
Praktisi Perpustakaan Harkrisyati Kamil mengenal Mastini Hardjoprakoso bukan hanya sebagai tokoh perpustakaan, tetapi juga sebagai pandu sejati dalam kegiatan kepramukaan.
Harkrisyati mencatat bahwa meski Mastini berasal dari kalangan ningrat, tetapi memiliki sikap yang merakyat. Dia memuji pengaruh ayah Mastini dalam menanamkan nilai-nilai baik, termasuk menghindari keserakahan. "Saya berharap buku ini dapat membantu memahami peran penting perpustakaan dan pustakawan dalam masyarakat," harapnya.
Acara ini juga dirangkaikan dengan penandatanganan Kerja Sama antara Perpusnas dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, serta Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Selain itu, juga dilaksanakan penandatanganan nota kesepahaman antara Perpusnas dengan sepuluh perguruan tinggi dan Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia.
Dianataranya, Universitas Indo Global Mandiri (UIGM), Akademi Bakti Kemanusiaan PMI, Politeknik Negeri Bali, Universitas Muhammadiyah Bandung, Institut Agama Islam Yasni Muara Bungo, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Institut Teknologi dan Bisnis Indobaru Nasional, STIKES RSPAD Gatot Subroto, IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Reporter: Wara Merdeka
Fotografer: Aji Anwar