Bandung, Jawa Barat—Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) kembali menyelenggarakan Perpusnas Writers Festival (PWF). PWF ketiga digelar dengan mengusung tema “Menulis, Mengukir Peradaban”.
Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando menyatakan festival ini memiliki lima tujuan. PWF merupakan upaya Perpusnas dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk memperbanyak koleksi bahan perpustakaan. Dijelaskan bahwa hal ini dimulai dengan menghimpun penulisan mengenai Indonesia dari semua komponen bangsa.
Dia menambahkan, secara faktual saat ini Indonesia dalam kondisi kekurangan bahan bacaan. Menurutnya, sesuai standar UNESCO seharusnya tersedia minimal tiga buku baru bagi setiap orang setiap tahun. Namun, kondisi ini tidak terjadi di Indonesia baik di kota besar maupun daerah 3T.
“Sementara kita masih pada posisi satu buku ditunggu 90 orang, itu kalau di kota-kota besar. Kalau di daerah-daerah terpencil itu satu buku untuk 1.000 orang,” jelasnya usai Pembukaan PWF 2023 yang diselenggarakan Perpusnas melalui Perpusnas Press di De Majestic, Bandung, Jawa Barat, pada Rabu (6/9/2023).
Ditambahkannya, saat ini penulis di Indonesia cenderung kesulitan untuk menerbitkan buku karena kebanyakan penerbit prioritas dari segi bisnis. Padahal, bahan bacaan harus tetap diterbitkan meski tidak menguntungkan secara bisnis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Dalam berbagai lapisan masyarakat itu ada kebutuhan yang secara bisnis tidak relevan tapi dibutuhkan. Salah satu contohnya misalnya ada suku terasing di kepulauan di Maluku yang penduduknya hanya 100 orang. Negara harus hadir untuk memberikan bahan bacaan kepada mereka,” tuturnya.
Dilanjutkannya, pemerintah daerah terutama kepala daerah harus memiliki kesadaran dan kemauan untuk menulis tentang kearifan lokal, asal-usul suatu daerah, kekayaan alam hingga potensi-potensinya. Melalui PWF, hal ini dapat dijadikan gerakan untuk diperjuangkan oleh setiap daerah.
“Jadi maksud saya, tidak mungkin orang Surabaya datang ke Kota Bandung mengajarkan cara menulis tentang asal usul Kota Bandung. Dan sebaliknya. Kalau hanya menunggu buku-buku dari pusat mungkin saja bagus, tapi tidak relevan dengan daerahnya,” urainya.
Selain itu, PWF menjadi ajang untuk meyakinkan seluruh unsur masyarakat agar menuangkan ilmu pengetahuan yang sudah didapatkan baik di bangku sekolah maupun perguruan tinggi, dalam bentuk tulisan.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Perpusnas mengapresiasi kebijakan Provinsi Jawa Barat yang telah membentuk bunda literasi di hampir semua kota dan kabupaten. “Makanya kami pilih Jawa Barat karena memang ini adalah tempat yang sangat menginspirasi untuk daerah lain, bagaimana mengakselerasikan apa yang menjadi kebaikan dan kemajuan di Jawa Barat untuk daerah lain,” tambahnya.
Dia menambahkan pihaknya akan memfasilitasi karya tulisan yang dihasilkan dalam ajang PWF. Karya tulis tersebut akan diterbitkan melalui Perpusnas Press yang merupakan penerbitan Perpusnas. Namun, terbitan ini tidak akan dijual kepada khalayak.
“Itu juga disertai dengan kebijakan kami untuk memberikan ISBN kepada penulis, bukan hanya kepada penerbit. Jadi masing-masing dapat hak untuk itu. Sekarang perlu diketahui bahwa seluruh penulis di Indonesia berhak untuk mendapatkan ISBN dari Perpusnas, kalau tulisannya sudah terbit,” tuturnya.
Duta Baca Indonesia Gol A Gong menjelaskan tema kegiatan PWF dan lokasi festival di Braga, Bandung, memiliki keistimewaan. Ada fenomena di kawasan tersebut yang dapat digali untuk menghasilkan karya tulisan. Berdasarkan literatur yang dia baca, Braga dibagi dalam tiga periode yakni era tahun 1800-an, era tahun 1900-an, dan era tahun 2000-an.
“Di era 2000 ini, sebaiknya kita tidak melihat masa lalu. Coba lihat sepanjang jalan Braga, banyak fotografer, content creator. Kalau itu tidak dituliskan, 100 tahun lagi hilang periode itu,” ujarnya. Dia menegaskan, melalui kegiatan PWF, harus dihasilkan satu buku yang dituliskan oleh penulis Bandung mengenai Braga.
Sementara itu, Sekretaris Utama Perpusnas Ofy Sofiana menyatakan PWF merupakan upaya pihaknya untuk menarik masyarakat terutama generasi muda, agar mulai menulis. Menurutnya, orang yang bisa menulis pasti suka membaca.
“Tentu melalui kegiatan akan muncul tulisan-tulisan yang menuangkan ide dari masyarakat khususnya kearifan lokal di mana kita berada. Karena saat ini sulit mendapatkan buku-buku terkait kearifan lokal di Indonesia,” ungkapnya.
Dia menambahkan, budaya tulis di Indonesia sudah ada sejak tahun 1300-an. Hal ini terlihat dari koleksi naskah kuno yang dimiliki Perpusnas, Arjuna Wiwaha. Naskah tertua koleksi Perpusnas ini membuktikan peradaban Indonesia sudah cukup lama.
Edukator dan Kurator Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) Ginanjar Legiansyah meyakini menulis dapat mengukir peradaban. Dia mencontohkan KAA. Dia menyebut KAA merupakan hasil pemikiran Bung Karno ketika menulis buku Mencapai Indonesia Merdeka pada Maret 1933. Ketika menulis buku tersebut, sang Proklamator memimpikan adanya satu solidaritas, pertemuan bangsa-bangsa Asia-Afrika.
“Dan ternyata direalisasikan pada 1955 melalui Konferensi Asia Afrika. Dan dalam satu buku dituliskan betapa gemasnya Bung Karno merelasisasikan cita-citanya yang ditulis pada 1933 itu. Itulah buktinya kalau menulis, mengukir peradaban. Dan KAA adalah bentuk peradaban kita,” urainya.
Pustakawan Ahli Utama Dispusip Provinsi Jabar Ahmad Hadadi menyatakan PWF diharapkan dapat mendorong penulis dan penerbit di Jabar agar lebih kreatif. Dispusip sudah menjalin hubungan baik dengan penerbit di Jabar dan setiap tahunnya mengadakan festival buku.
“Mudah-mudahan ke depan ada festival penulis Jawa Barat,” pungkasnya.
Pada 2021 dan 2022, PWF diselenggarakan di Gedung Fasilitas Layanan Perpusnas Jakarta. Tahun ini, untuk pertama kalinya PWF diadakan di luar Jakarta. Bandung dipilih karena merupakan kota yang sarat akan narasi dan sumber inspirasi literasi. Tidak hanya dalam cakupan nasional tetapi juga internasional, bahkan menorehkan tinta sejarah peradaban manusia.
PWF 2023 diselenggarakan di dua lokasi yakni Museum KAA dan gedung bioskop De Majestic. PWF 2023 berlangsung selama tiga hari yaitu pada 6-8 September 2023.
PWF 2023 diisi dengan beragam kegiatan yaitu diskusi literasi dan penulisan; bedah buku; workshop dan kompetisi penulisan; pemutaran dan diskusi film; musikalisasi puisi; pameran buku; pentas seni dan sastra; serta historical walk. PWF 2023 menghadirkan 29 narasumber yang memiliki latar belakang beragam yakni penulis, seniman, budayawan, pegiat literasi, pustakawan, akademisi, hingga pejabat publik dan media. Para narasumber tersebut di antaranya Gol A Gong, Panji Sakti, dan Maman Suherman.
Reporter: Hanna Meinita
Fotografer: Ahmad Kemal Nasution