Salemba, Jakarta – Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, menyebutkan bahwa pembudayaan gemar membaca dilaksanakan melalui keluarga, satuan pendidikan dan masyarakat. Sehingga pemerintah daerah dan masyarakat mendorong tumbuhnya perpustakaan, TBM, dan pojok baca. Hal ini dikarenakan perpustakaan memiliki peranan dalam mewujudkan manusia cerdas yang memiliki kebiasaan membaca sebagai usaha belajar sepanjang hayat.
“Berbagai program kreatif, inovatif dan visioner dilaksanakan dalam upaya perpustakaan memberikan layanan yang berkualitas kepada pemustaka untuk meningkatkan kegemaran membaca untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,†kata Deputi Pengembangan Sumber Daya, Deni Kurniadi dalam Seminar Nasional GPMB dengan tema ’Sejarah Gerakan, Peta dan Paradigma Literasi Indonesia: Perkembangan dan Pencapaian’, Senin (26/10).
Lebih lanjut Deni menjelaskan, kegiatan ini untuk menjawab beberapa penilaian lembaga internasional yang masih menganggap minat dan kegemaran membaca di Indonesia masih rendah. Padahal untuk mengetahui hal tersebut perlu pengukuran secara kuantitaif dan kualitatif yang ditinjau secara komprehensif.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemdikbud, Restu Gunawan mengatakan, penguatan literasi diperlukan untuk pemajuan budaya. Memasuki revolusi industri 4.0 seluruh bidang mengalami gelombang besar, tak terkecuali perpustakaan. Penguatan literasi menjadi pemikiran bersama dengan konteks 4.0.
“Perlu adanya ketersediaan daya dukung untuk mengubah budaya bertutur untuk beralih ke budaya baca tulis. Di era digital saat ini sebenarnya sudah tidak ada hambatan lagi, semua orang sudah bisa mengakses. Dengan bantuan teknologi kita diuntungkan untuk mempercepat proses literasi ini,†jelasnya.
Menurutnya, perlu adanya mengubah paradigma mengenai kebudayaan yang bukan hanya bicara tentang masa lalu, tetapi juga harus dituangkan dalam bentuk visual. “Kendala kita belum mampu memahami literasi budaya. Padahal kebudayaan memiliki dampak yang luas dalam kehidupan sehari-hari, seperti kita dapat belajar berdiplomasi, dan pembentukan karakter,†urainya.
Narasumber lainnya Gol A Gong, menyebutkan, gempa literasi yakni gempa yang mengubah paradigma baru yakni gempa yang menghancurkan kebodohan dan gempa yang membangun peradaban baru. Menurutnya, Â di era digital ini kita harus dapat beradaptasi. GPMB sebagai mitra pemerintah dalam menggerakkan literasi baca dan tulis juga harus memiliki strategi untuk memasyarakatkan minat baca di era literasi digital.
Seperti pengalaman yang sudah dia lakukan dengan memanfaatkan berbagai platform digital diantaranya youtube, instagram, dan facebook. Salah satunya membuka kelas menulis online, mengedukasi masyarakat melalui video.
 “Kita harus cepat beradaptasi di era digital ini, karena literasi digital dapat memberikan nilai ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan,†tuurnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), Tjahjo Suprajogo menjelaskan, bangsa Indonesia sudah mengenal dunia literasi sejak zaman kuno, seperti adanya peninggalan gambar dan tulisan di goa-goa pra sejarah atau jejak tulisan dalam berbagai prasasti serta candi di jaman kerajaan nusantara. “Indonesia sejatinya merupakan negara dengan sejarah literasi yang cukup tua,†tuturnya.
Apabila ditelusuri dari naskah-naskah nusantara yang ditulis dengan tangan dan menggunakan aksara lama setidaknya telah mengindikasikan adanya kegiatan menulis. Hampir semua wilayah di Indonesia mempunyai bahasa dan aksara daerah merupakan tempat asal naskah. Hal ini ditunjukkan oleh naskah yang ditulis dalam bahasa daerah dengan menggunakan aksara atau tulisan asli daerah itu. Seperti naskah Aceh, batak, Rejang, Kerinci, Lampung, Jawa, Sunda, Bali, Bima, Banjar, Bugis dan Makassar.
“Berangkat dari paradigma ini, maka implementasi literasi dalam konteks Indonesia harus menyesuaikan dengan tingkatan sosial budaya, dan pengetahuan masyarakat, keanekaragaman budaya local dan kondisi yang dialami masyarakat,†pungkasnya.
Â
Reporter : Wara Merdeka
Â