Medan Merdeka Selatan, Jakarta – Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dan media memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengambil peran untuk mewujudkan masyarakat yang literat.
Media memiliki peranan yang strategis dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat, sedangkan Perpusnas membutuhkan peranan media untuk mempublikasikan kegiatan lembaga. Untuk itu terdapat fungsi media relations dalam menunjang kegiatan Perpusnas.
Plt Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas, Deni Kurniadi menyampaikan, Perpusnas telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong terwujudnya masyarakat dengan literasi yang baik.
Antara lain, pengembangan budaya kegemaran membaca, pengembangan sistem perbukuan dan penguatan konten literasi serta peningkatan akses dan kualitas perpustakaan berbasis inklusi sosial.
Upaya-upaya yang telah dilakukan ini, lanjut Deni, akan semakin kuat jika bersinergi dengan media. Kegiatan media gathering menjadi sebagai salah satu cara Perpusnas dalam membina hubungan baik dengan media.
"Karena sebagus-bagusnya kegiatan di suatu lembaga, tidak dapat dikenal masyarakat jika tidak ada publikasi dari media. Kita berharap hubungan yang baik terus berlanjut, agar Perpusnas lebih dikenal masyarakat luas," ungkap Deni saat membuka Media Gathering Perpusnas 2022 dengan tema Bersinergi dengan Media Menuju Masyarakat Literat, Selasa (13/9/2022).
Ketua Bidang Media Berkelanjutan Forum Pemred, Pung Purwanto mengatakan, menuju masyarakat literat senafas dengan mengembangkan jurnalisme berkualitas atau good journalism yang tengah dikampanyekan secara massif oleh media arus utama.
Menurutnya, Perpusnas dan media memiliki tanggung jawab yang sama dalam mencerdaskan masyarakat Indonesia serta mewujudkan masyarakat literat.
"Kami inginnya masyarakat mengkonsumsi jurnalisme yang berkualitas sedangkan Perpusnas ingin masyarakat literat. Karena memiliki tujuan yang sama, banyak hal yang dapat disinergikan," kata Pung.
Pung menjelaskan, saat ini masyarakat mudah mengakses informasi apa pun melawai gawai. Namun, tidak semua informasi yang diterima memiliki kebenaran. Maka diperlukan literasi dalam melawan hoaks.
"Kami mendorong perang melawan hoaks dengan meningkatkan literasi kita. Kalau masyarakat gemar membaca, gemar mengkonsumsi informasi yang berkualitas, maka sudah pasti masyarakat tidak akan mudah di adu domba," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jakarta, Rikando Somba menuturkan, Perpusnas memiliki peran penting dalam hal penguatan budaya literasi, yang sekaligus senjata memerangi mis/disinformasi di ranah publik.
"Karena sebagai sarana terpusat di Indonesia, Perpusnas menyediakan jutaan koleksi literatur yang meliputi buku tercetak, artikel, hingga buku elektronik," tuturnya.
Rikando mengatakan, meski telah tersedia dalam medium digital yang mudah dan terbiasa diakses kaum milenial, namun buku masih identik dengan lembaran fisik tercetak.
Â
Menurutnya, Perpusnas perlu menyiapkan berbagai langkah agar perpustakaan diminati oleh pembaca muda. Diantaranya, menyadari pentingnya merangkul pembaca muda dalam meningkatkan literasi, mempelajari strategi mutakhir di dunia digital, serta melakukan kolaborasi dengan komunitas media massa.
Di sisi lain, Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan mengatakan, Perpusnas perlu memiliki cara atau program yang related (keterkaitan) dengan masyarakat. Ketika perpustakaan memiliki keterkaitan dengan masyarakat maka apa yang ada di perpustakaan dapat tercapai ke masyarakat.
"Sangat disayangkan apabila informasi yang ada di Perpusnas tidak sampai ke masyarakat karena tidak ada titik keterkaitan antara publik dengan kami para jurnalis untuk mempublikasikannya," kata Herik.
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, Joko Santoso menambahkan, makna membaca dalam masa disrupsi mengalami perluasan. Membaca tidak hanya membaca teks, buku, maupun jurnal tetapi dimaknai dengan menyerap pengetahuan.
"Maka konsen Perpusnas dan perpustakaan di Indonesia penguatan literasi sudah melebihi dari kemampuan membaca. Bagaimana literasi menjadi pra syarat seseorang untuk meningkatkan produktivitasnya melalui transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial," imbuhnya.
Joko menyadari, indikator utama ekspos media dipandang penting. Karena diyakini dengan adanya hal tersebut akan menimbulkan resonansi sosial yang membangkitkan kesadaran pentingnya literasi.
"Membangkitkan bahwa persoalan literasi butuh kerja sama, bahu membahu setiap lembaga. Masyarakat yang unggul adalah mereka yang kuat literasinya," pungkasnya.
Â
Reportase: Wara Merdeka
Fotografer: Prakas Agrestian