Jakarta—Program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial dinilai berhasil dilakukan di daerah. Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI Muhammad Syarif Bando menyebut program ini menunjukkan tren positif, terlihat dari banyaknya permintaan dari kepala daerah agar dijadikan lokasi pelaksanaan transformasi layanan.
Setelah tiga tahun berjalan, program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial berhasil menjangkau 32 provinsi dan 160 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Syarif Bando menjelaskan program ini diharapkan bisa menjadi pemicu untuk pemerintah daerah agar bisa diterapkan serupa di daerahnya masing-masing. Tercatat sejumlah 19 pemerintah daerah provinsi, 76 pemerintah kabupaten dan 344 pemerintah desa tergerak untuk mereplikasi program ini. Dalam program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial, perpustakaan menjelma menjadi pusat kegiatan yang memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan lifeskills demi peningkatan kesejahteraan hidup dengan berwirausaha.
“Jadi sebagaimana diketahui kami sudah selama tiga tahun ini membuat paradigma baru perpustakaan, yang terdiri dari 10 persen kami peruntukkan untuk me-manage collection, dan 20 persen untuk management knowledge, dan 70 persen transfer knowledge. Transfer knowledge inilah yang semuanya terakomodir dalam program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial,†jelasnya dalam wawancara dengan media yang diselenggarakan secara daring pada Kamis (15/7/2021).
Syarif Bando menjelaskan ada empat hal yang menjadi catatan selama tiga tahun pelaksanaan program transformasi berbasis inklusi sosial. Pertama, program ini memberdayakan masyarakat, terutama yang berpendidikan rendah dan ada di pedesaan, melalui penggalian ilmu dari buku-buku ilmu terapan yang ada di perpustakaan.
“Yang paling fundamental harus dipahami adalah kembali kepada struktur masyarakat kita. Masyarakat yang dalam catatan Bappenas dan BPS hanya kurang lebih 10 persen penduduk Indonesia yang memiliki ijazah sarjana. Yang artinya kurang lebih 90 persen penduduk kita yang latar belakang pendidikannya SLTA, SLTP, SD, dan tidak tamat. Inilah yang harus menjadi dasar pengambilan kebijakan kita untuk menunjukkan keberpihakan kita terhadap masyakarat yang kira-kira 60 persen ada di pedesaan,†ujarnya.
Kedua, secara fundamental, perpustakaan berupaya ‘merakyat’. Sehingga masyarakat, khususnya marjinal, bisa merasakan manfaat dari ilmu-ilmu yang ada di perpustakaan. Yang ketiga, pandemi Covid-19 menghantam banyak sektor kehidupan, tidak hanya kesehatan, tetapi juga ekonomi. Akibatnya, banyak orang kehilangan mata pencaharian. Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial, ujar Syarif, mendorong masyarakat agar mandiri secara ekonomi.
“Hampir semua teman-temannya telah menerima manfaat itu yang menyatakan, boleh kita bangga pada saat ini mereka survive, mereka eksis, mereka percaya bahwa tidak terlalu merasakan ini karena permintaan dari produk mereka itu cenderung meningkat. Harus dipahami betul memang produksi mereka adalah home industry,†urainya.
Yang keempat, program ini menjadi pemicu awal untuk bangsa Indonesia mempercayai tentang kemampuan literasi dan perlunya ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidup. Dia mencontohkan Kampung Coklat di Blitar yang berhasil memberdayakan masyarakat dengan latar belakang pendidikan sekolah menengah, untuk mengembangkan usaha tersebut.
“Mereka bisa punya pengunjung di era pandemi itu minimal sekitar 10 ribu sehari dengan penerapan protokol Kesehatan, tentu saja di dalamnya tersedia kantin, apa saja bisa dibeli di dalam. Bisa dibayangkan berapa omset kegiatan itu yang didasarkan pada literasi? Dan bagaimana pengelolanya, founding father-nya dengan bangga menunjukkan kepada saya, saya adalah anggota perpustakaan yang dulu belajar yang namanya perpustakaan, ilmu-ilmu terapan,†pungkasnya.
Syarif Bando mengajak masyarakat untuk memanfaatkan perpustakaan. Karena perpustakaan bisa menjadi pondasi bagi setiap insan yang hidupnya ingin berubah. Dia menegaskan pembangunan bisa berjalan dengan baik selama kualitas sumber daya manusia ditingkatkan. Selain itu, pendidikan yang rendah berkaitan erat dengan masalah ekonomi. Melalui perpustakaan, masyarakat bisa semakin berdaya dengan meningkatkan kualitasnya.
Reporter: Hanna Meinita
Â