Medan Merdeka Selatan, Jakarta - Perpustakaan Nasional RI sebagai salah satu institusi peradaban mendukung penyelamatan bahasa ibu melalui pelestarian karya sastra daerah. Melestarikan bahasa daerah merupakan upaya penyelamatan filosofi, nilai-nilai luhur, dan norma-norma bangsa Indonesia sebagai panduan menjalankan hidup sebagai insan yang beradab. Hal ini disampaikan Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando saat membuka temu wicara “Sastra Daerah Dalam Upaya Penyelamatan Bahasa Ibu†yang menghadirkan nara sumber para sastrawan yang fokus pada sastra daerah.
“Ini bukan sekedar mempertahankan warisan budaya, hanya sekedar bahasa, tetapi harus dipahami bahwa eksistensi, nilai-nilai kemanusiaan yang paling fundamental memang ada di bangsa kita,†ujar Syarif Bando dalam sambutannya di Auditorium Soekarman, Gedung Fasilitas Layanan Perpusnas, pada Rabu (7/11).
Sesuai amanat Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (KCKR), Perpusnas mengumpulkan dan melestarikan hasil karya anak bangsa berupa buku, film, dan rekaman. Sejak UU No. 4/1990 diundangkan, menurut Syarif, sebanyak satu juta KCKR yang sudah dikumpulkan Perpusnas. Di antara koleksi tersebut adalah buku-buku dengan bahasa daerah.
“Ke depan kami akan memfokuskan pada pendayagunaannya, pada sosialisasinya. Agar bisa digunakan masyarakat sebaik-baiknya. Tentu saja upaya pengumpulan tidak akan berhenti sampai di sana. Akan ada sosialisasi untuk menciptakan dan mengumpulkan karya-karya baru. Karenanya kami meminta para penulis, produser, film, dan karya sastra lainnya, kami tentu senang seiring sejalan untuk memperkaya khazanah bangsa kita dengan karya-karya yang baru,†jelasnya.
Temu wicara menghadirkan nara sumber yakni Sastrawan Saut Poltak Tambunan, Yayasan Kebudayaan Rancage Rahmat Taufik Hidayat, Akademisi Sastra Free Hearty, dan Kepala Direktorat Deposit Bahan Pustaka Perpusnas Lucya Damayanti dengan moderator Rudi Hernanda.
Dalam diskusi tersebut, Saut Poltak yang sudah menghasilkan puluhan buku di antaranya dalam Bahasa Batak menyebut, keberadaan bahasa daerah terancam. Seperti dilansir Kemendiknas, dari 746 bahasa daerah yang eksis pada saat ini, pada 2090 diperkirakan hanya akan tersisa 75 bahasa daerah. Saut menjelaskan, pudarnya minat pada bahasa daerah berimbas pada hilangnya kearifan lokal.
“Tanggung jawab orangtua untuk melestarikan bahasa daerah dengan mengajarkan ke anaknya. Karena ini adalah tugas kita untuk melestarikan bahasa daerah dengan bangga berbahasa daerah. Untuk merawat bahasa ibu melestarikan kearifan lokal, saya membuat karya sastra dalam bentuk tulisan. Kita harus mengabadikannya dalam sastra modern,†jelasnya.
Sementara itu, Rahmat Hidayat menjelaskan selama 30 tahun terakhir, Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Sastra Rancage untuk penulis karya sastra berupa buku yang ditulis dalam bahasa daerah. Seiring berjalannya penghargaan ini, kecenderungannya justru semakin banyak penulis yang menulis karya sastra dalam bahasa daerah.
“Kami mengusulkan Hari Bahasa Ibu Nusantara setiap tanggal 31 Januari. Padahal sebagaimana disebutkan oleh para peneliti, Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa ibu, yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Secara internasional, Hari Bahasa Ibu Internasional sudah diperingati selama 19 tahun lamanya,†tuturnya. Rahmat berharap bisa memperjuangkan bahasa daerah dengan penutur bahasa daerah lainnya. Karena dia khawatir, bahasa daerah sering dianggap sebagai sumber perpecahan.
Free Hearty menilai upaya untuk melestarikan bahasa ibu bisa dimulai pemerintah dengan memasukkan sastra daerah dan Indonesia dalam kurikulum pendidikan. “Taufiq Ismail menyatakan bahwa seharusnya sastra masuk ke dalam kurikulum. Karena kalau belajar sastra maka bisa belajar bahasa. Harusnya pemerintah membuat komitmen untuk memasukkan sastra ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah,†ujarnya.
Saut berharap pemerintah pusat dan daerah bersinergi dengan masyarakat sastra dan bahasa daerah untuk konservasi dan revitalisasi bahasa daerah. Termasuk mendukung penulisan dan penerbitan buku sastra modern berbahasa daerah.
Selain temu wicara, kegiatan ini menghadirkan pembacaan puisi dalam Bahasa Batak oleh Panusunan Simanjuntak, puisi dalam Bahasa Makassar oleh Khrisna Pabhicara, puisi dalam Bahasa Tegal oleh Kurnia Effendi, dan pembacaan cerpen dalam Bahasa Batak oleh Nancy Simanungkalit.
Reportase: Hanna Meinita
Â
Â