Salemba, Jakarta—Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) akan menyusun Rencana Induk Nasional Pengarusutamaan Naskah Kuno Nusantara.
Untuk itu, digelar Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) terkait penyusunan rencana induk tersebut. Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpusnas Mariana Ginting menyatakan fungsi naskah yang strategis dalam pengembangan kebudayaan nasional, baik fisik maupun kandungan pengetahuan di dalamnya, perlu dikelola secara holistik dan komprehensif.
“Karenanya, Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) ini diharapkan mampu menjadi wadah untuk menjembatani komunikasi antar pemangku kebijakan di bidang pernaskahan Nusantara,” tuturnya di Jakarta, pada Senin (14/10/2024).
Rencana Induk Nasional Pengarusutamaan Naskah Kuno Nusantara, lanjutnya, mencakup strategi dan program-program yang bertujuan untuk mengidentifikasi, melestarikan, dan mendayagunakan naskah Nusantara, termasuk strategi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap naskah kuno.
Rencana induk difokuskan pada lima program strategis yang mencakup seluruh aspek pengelolaan naskah Nusantara. “Program-program tersebut adalah identifikasi dan pendaftaran naskah, pelestarian berkelanjutan, digitalisasi dan perluasan akses, pendayagunaan naskah Nusantara dan penguatan kemitraan dan SDM,” jelasnya.
Dia berharap Rencana Induk Nasional Pengarusutamaan Naskah Kuno Nusantara dapat menjadi panduan dalam menyusun kebijakan, strategi, dan program kerja jangka menengah untuk melestarikan dan memanfaatkan naskah-naskah tersebut sebagai sumber pengetahuan, identitas nasional, dan inspirasi pembangunan kebudayaan Indonesia.
Disebutkan bahwa DKT penyusunan Rencana Induk Nasional Pengarusutamaan Naskah Kuno Nusantara dijadwalkan berlangsung di beberapa kota.
Sementara itu, Kepala Pusat Preservasi Bahan Pustaka dan Ahli Media Perpusnas Made Ayu Wirayati menjelaskan strategi penyelamatan naskah kuno di Indonesia dilakukan antara lain dengan penguatan dasar hukum pelestarian naskah kuno Indonesia.
“Sudah terbit Peraturan Perpusnas Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pelestarian Naskah Kuno yang diterbitkan pada tahun ini di bulan September. Ini menjadi pedoman bagi Perpustakaan Nasional dan mitra di daerah dalam melakukan pelestarian. Dan kami harapkan adalah juga revisi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 terkait penguatan dasar hukum pada level undang-undang,” urainya.
Penguatan dasar hukum pada tingkat UU, jelasnya, akan mewajibkan mitra di daerah seperti dinas perpustakaan provinsi, kabupaten/kota atau masyarakat untuk menyerahkan hasil digitalisasinya ke Perpusnas.
“Harapannya tidak ada lagi pengulangan digitalisasi terus-menerus yang dampaknya pada kerusakan naskah kuno yang dialihmediakan. Jadi dasarnya jelas di UU Nomor 43 tahun 2007 itu. Itu harapan kami ke depan,” jelasnya.
Penyusunan grand desain pelestarian naskah kuno, jelasnya, dibutuhkan agar Perpusnas memiliki target, rencana, dan strategi yang jelas terkait dengan percepatan pelestarian naskah kuno di Indonesia.
Kepala Pusat Riset Arkeometri Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Sofwan Noerwidi memaparkan pihaknya memiliki berbagai alat dan teknologi dalam melakukan digitalisasi naskah kuno.
“Yang pertama karakterisasi baik identifikasi material kemudian juga ada NDT (Non Destructive Tomography) untuk pemindaian imaging dan sebagainya. Kemudian, terkait dengan kronologi usia. Yang terakhir konservasi, ada material disinfektan maupun untuk menguatkan konsolidasi bahannya,” jelasnya.
Dia menambahkan, BRIN beserta infrastrukturnya tidak hanya dibangun untuk riset BRIN semata, tetapi untuk seluruh masyarakat indonesia. Peralatan tersebut dapat diakses melalui portal, https://elsa.brin.go.id/.
“Kemudian ada tiga skema yang bisa kita manfaatkan; kerja sama, setengah kerja sama yang jelas tidak berbayar atau berbayar menggunakan akun ataupun industri atau mitra swasta lainnya yang tidak ada kaitan kerja sama dengan BRIN, bisa menggunakan dengan berbayar,” tuturnya.
Pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta sekaligus perwakilan DREAMSEA Ilham Nurwansah memaparkan digitalisasi naskah berbasis komunitas terdiri dari empat. “Pertama, individu. Individu yang memiliki visi yang sama namun mereka tidak terafiliasi, tidak ada hubungan kerja sama dan ini juga tidak terstruktur. Kecenderungan interaksinya itu melalui media sosial dan kegiatannya sporadis di masing-masing daerah,” jelasnya.
Yang kedua, kumpulan individu yang memiliki visi dan membentuk sebuah kelompok yang memiliki struktur sederhana di mana ada satu sosok yang dihormati, namun belum berbadan hukum.
“Ketiga, ketika komunitas tersebut naik statusnya menjadi komunitas berbadan hukum. Tentu dengan konsekuensinya masing-masing kalau yang berbadan hukum harus mengikuti berbagai prosedur administrasi misalnya mendapatkan akta, surat-surat penting lainnya. Tapi benefitnya tentu akan lebih mudah dalam proses registrasi proposal,” jelasnya.
Yang terakhir, kelompok keempat yaitu komunitas yang dibina atau dibentuk oleh lembaga. “Misalnya dari Nahdlatul Ulama itu membentuk sebuah komunitas Nahdlatul Turats yang berbasis riset naskah,” pungkasnya.
Adapun bentuk kegiatan digitalisasi naskah yang dilakukan komunitas adalah digitalisasi mandiri menggunakan scanner oleh pemilik naskah lontar “Ahmad-Muhamad” Cidamar Kabupaten Cianjur, digitalisasi manuskrip mandiri oleh Rumah Naskah di sekitar Ciamis, kegiatan alih aksara jawa naskah Indramayu oleh Kardono Dataswala di Facebook, dan sebagainya.
Reporter: Anastasia Lily
Editor: Hanna Meinita
Dokumentasi: Aji Anwar