Kuningan, Jakarta—Undang-Undang No. 43 yang mengatur tentang perpustakaan disahkan pada 2007. Dalam rentang waktu 17 tahun sejak peraturan tersebut disahkan, banyak perkembangan yang telah terjadi di dunia dan turut berdampak pada perpustakaan. Oleh karena itu, terdapat beberapa poin yang perlu diperjelas, bahkan ada pula beberapa hal yang perlu ditambahkan karena masih belum terakomodir.
Hal ini kemudian yang melatarbelakangi inisiasi untuk merevisi peraturan tersebut agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Untuk mengidentifikasi dan menginventaris hal-hal terkait revisi tersebut, Perpustakaan Nasional melalui Biro Hukum, Organisasi, Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun pada Selasa (23/7/2024).
17 dinas perpustakaan daerah yang diundang dalam diskusi ini di antaranya, Kota Bekasi, Kabupaten Serang, Kota Tangerang Selatan, Kota Jakarta Timur, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, dan Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin.
Dalam diskusi ini diharapkan dinas perpustakaan daerah dapat menyampaikan pengalaman dalam mengimplementasikan undang-undang dan masukan terkait revisi undang-undang tersebut. Masukan tersebut merupakan bahan penyusunan naskah akademik yang menjadi latar belakang revisi undang-undang. Jika perubahan substansi undang-undang di atas 50%, maka undang-undang direvisi dan jika di bawah 50%, maka dibuat perubahan atas undang-undang.
Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional, Joko Santoso, menyambut baik terselenggaranya kegiatan diskusi ini. Ia mengharapkan pada diskusi selanjutnya dapat menghadirkan dinas perpustakaan tiap cluster.
Dalam sambutannya ia menjelaskan banyak hal yang terjadi selama kurun waktu 17 tahun sejak 2007, yang baik secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi perpustakaan. Terbitnya UU No. 23 tahun 2014 dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait naskah kuno, perkembangan teknologi yang pesat dengan munculnya Internet of Things, Artificial Intelligence, kecakapan literasi yang kini semakin signifikan, serta pergeseran perilaku masyarakat yang semakin menyukai kehidupan yang serba digital adalah beberapa hal yang patut menjadi perhatian dan harus dipertimbangkan saat menyusun revisi undang-undang.
“Perpustakaan seharusnya seperti Janus yang memiliki dua muka, yang satu memandang masa lalu dan yang satunya lagi memandang masa depan,” pesannya.
Analogi perpustakaan dan dewa Romawi kuno ini menggambarkan perpustakaan memiliki dua spektrum yang terkait masa lalu dan masa depan, karena perpustakaan menyimpan dan melestarikan khazanah budaya bangsa dari masa lampau serta perpustakaan juga harus menerapkan teknologi agar mampu menghadapi dan mengantisipasi tantangan di masa depan.
Labih lanjut Joko menekankan undang-undang lain yang terkait, seperti undang-undang pemerintahan daerah dan cagar budaya karena peraturan perundang-undangan tersebut bersinggungan dengan beberapa poin dalam undang-undang tentang perpustakaan.
Hadir sebagai narasumber pada diskusi ini, pengajar Departemen Ilmu Komputer IPB, Firman Ardiansyah, yang memaparkan beberapa poin yang perlu dipertegas dalam revisi undang-undang, yaitu terkait definisi karya digital/format digital yang masih belum jelas, perpustakaan digital, privasi dan keamanan data pribadi yang menjadi sorotan terutama karena kasus Pusat Data Nasional (PDN) yang terkena serangan ransomware, layanan perpustakaan yang inklusif dan adaptif, pembelajaran sepanjang hayat, dan usulan poin standar.
Firman kemudian mengemukakan keprihatinannya terkait perpustakaan digital, karena terdapat mindset yang salah dalam pengelolaan perpustakaan digital di perguruan tinggi dan sekolah. Banyak sekolah yang mengunggah buku tanpa mengetahui hak cipta buku tersebut sehingga harus menghadapi tuntutan hukum. Selain itu, perguruan tinggi juga belum optimal dalam hal pelestarian karya digital sehingga tidak tertutup kemungkinan kasus serupa PDN dapat terjadi di perguruan tinggi.
“Pemahaman tentang perpustakaan digital, yang penting saya punya koleksi digitalnya saya tempatkan di Google drive, kemudian selesai. Hal ini sangat rawan,” ujarnya.
Beberapa poin yang disampaikan dinas perpustakaan daerah mengemuka dalam diskusi ini di antaranya terkait SDM pengelola perpustakaan, perpustakaan kecamatan, perpustakaan desa/kelurahan, perpustakaan sekolah, dewan perpustakaan, TBM, kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah di tiap level, dan penyiangan koleksi perpustakaan.
Ketersediaan dan kesejahteraan SDM pengelola perpustakaan, anggaran perpustakaan sekolah merupakan poin yang perlu mendapatkan perhatian lebih karena masih menjadi ganjalan di hampir semua dinas perpustakaan daerah.
Reporter : Eka Cahyani
Fotografer : Ahmad Kemal Nasution