Indeks Literasi Harus Didukung Ketersediaan Buku

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Malang, Jawa Timur—Literasi harus dipandang secara komprehensif mulai dari hulu hingga hilir. Karenanya ketika berbicara mengenai literasi, harus didukung oleh kondisi distribusi buku di masyarakat. Kepala Perpustakaan Nasional RI Muhammad Syarif Bando menyatakan budaya baca rendah masyarakat Indonesia yang berdampak pada rendahnya indeks literasi, merupakan fakta. Namun, menurut Syarif Bando, kondisi ini tidak diimbangi dengan kenyataan bahwa terjadi kekurangan dan distribusi buku yang tidak merata di masyarakat.

"Saya kira yang menjadi masalah di Indonesia, kalau hilirnya sudah fakta, budaya baca rendah karena kurang paham bacaan. Otomatis dengan demikian, indeks literasi rendah, berdampak pada tingkat rendahnya kemampuan mencetak barang dan jasa. Tapi hulunya ndak pernah dibahas, kurang buku, kurang distribusi," ujarnya dalam webinar “Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat di Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun 2020 yang diselenggarakan di Universitas Islam Malang, Jawa Timur, pada Senin (28/12/2020).

Syarif Bando menilai penyebaran buku yang tidak merata membuat kualitas manusia Indonesia mengalami kesenjangan. Apalagi, banyak daerah yang belum mendokumentasikan sejarah dan sumber daya daerahnya dalam bentuk buku. Karenanya, dia mendorong pemerintah daerah untuk mendokumentasikan kondisi, sejarah, dan potensi daerahnya dalam buku.

"Saya bilang sama ibu Gubernur Jawa Timur, kita tadi tidak ada guru tentang Jawa Timur. Tapi mestinya ada buku tentang sejarah panjang kejayaan Jawa Timur, potensi sumber daya Jawa Timur, pariwisatanya dan beliau ternyata sudah sangat paham makanya akan dipusatkan di Universitas Islam Malang dan menunjuk Rektor sebagai pemimpin untuk kajian tentang Jawa Timur," urainya.

Sementara itu Walikota Malang Sutiaji mengungkapkan literasi harus memiliki nilai kemanusiaan, ke-Bhinnekaan, dan spiritual. Karenanya, indeks literasi harus dibarengi dengan nilai kemanusiaan agar memiliki nilai manfaat bagi hidup dan kehidupan. Karenanya, buku yang disajikan di perpustakaan harus sesuai kebutuhan pembaca dan harus mengandung nilai ke-Indonesia-an dan ke-Bhinneka-an yang tidak mengandung bahaya laten. Sutiaji menjelaskan hal ini menjadi kebijakan pemerintahannya agar buku yang dibaca oleh pemustaka sesuai dengan kebutuhan.

"Khusus perpustakaan di kami, ketika nanti orang membaca di perpustakaan, orang tuanya yang pinjam, anaknya yang baca, orang tuanya mungkin paham, bagaimana ini sekadar baca, bagaimana paham sosialis, marxisme. Tapi ketika di rumah orang tua tidak mengawasi anak membaca, ini yang benar-benar harus dibatasi Kepala Perpustakaan," jelasnya.

Persoalan rendahnya minat baca tidak hanya dialami Indonesia. Pegiat literasi Djoko Saryono menjelaskan, rekannya dari Universitas Malaya di Malaysia juga menyatakan keluhan yang sama. Menurutnya, kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni harapan yang terlalu tinggi bahwa segala masalah dapat diselesaikan oleh literasi, perhatian yang terlalu luas sehingga sulit mengukurnya, dan medium untuk mengukur minat baca yang terbatas pada aksara dan tidak disesuaikan dengan perkembangan teknologi.

"Sehingga membaca itu hanya pada membaca bacaan, padahal sekarang itu membaca juga bisa di tab, bisa di tayangan, dan membaca juga harusnya tidak hanya aksara, karena kita sekarang juga harus desain thinking. Kalau desain thinking itu yah gambar, infografis, dan seterusnya. Nah kalau instrumen kita minat baca rendah itu hanya akasara saja, maka kita berada dalam suatu dilema bahkan disorientasi. Minat baca itu apa, apa mediumnya, itu juga yang harus dipertimbangkan sekarang," pungkasnya.

Reporter: Hanna Meinita

Fotografer: Arwan Subakti

 

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpusnas Republik Indonesia

Jumlah pengunjung: NaN