Melalui Pembelajaran Inklusif, Perpustakaan Harus Beri Dampak kepada Masyarakat

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Medan Merdeka Selatan, Jakarta – Tidak hanya pengetahuan modern yang diajarkan, namun perpustakaan juga harus mengajarkan tentang kearifan lokal. Kedua kemampuan tersebut mampu menciptakan masyarakat yang berpengetahuan, inovatif, dan aktif.

Dalam upaya membangun masa depan yang inklusif di era digital dan guna mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk persaingan global, pendidikan harus dibenahi secara keseluruhan. Hari ini yang terpenting adalah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mempelajari yang mereka butuhkan dengan pendekatan yang penuh dengan kepedulian.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Kebijakan dan Advokasi International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA), Stephen Wyber pada kegiatan webinar Urban-20 Side Event dengan tema ‘Enabling Cities, Caring Cities’ yang diselenggarakan secara hybrid oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, Selasa (30/8/2022).

Lebih lanjut, Stephen juga mengingatkan untuk tidak hanya terpaku kepada pendidikan formal saja, melainkan juga pendidikan harus diperluas hingga ke perpustakaan dan lembaga pembelajaran orang dewasa. Keduanya menjadi infrastruktur yang peduli dengan kesejahteraan dan masa depan masyarakat di setiap kota di dunia.  

“Yang diharapkan dari akhir kegiatan hari ini ialah kita mendapatkan beberapa pesan kunci dan ide bagus tentang bagaimana kita bisa menjalankan peran perpustakaan dan lembaga pembelajaran orang dewasa untuk menjadi bagian kunci dari agenda pemerintahan Republik Indonesia yang berdasar pada perhelatan Presidensi G20,” harapnya.

Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bando, membenarkan bahwa berdasarkan catatan Bappenas dan BPS sebagian besar masyarakat Indonesia terjun sebagai kepala keluarga dengan hanya bermodalkan ijazah pendidikan umum, sehingga mereka perlu dididik melalui pendidikan non formal.

Syarif Bando juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mengubah paradigma perpustakaan di seluruh dunia agar dapat bertransformasi dan hadir di tengah masyarakat. Selain itu, dia berharap perpustakaan tidak lagi menjadi simbolisasi bagi setiap negara.

“Misi kita adalah meyakinkan kepada siapa saja bahwa dia bisa berubah dengan satu buku yang relevan dengan pilihan ekonominya. Karena peran untuk menolong masyarakat yang termajinalkan dengan buku-buku ilmu terapan itu sangat penting,” jelasnya.

Hadir pada kesempatan yang sama secara daring, Presiden Asosiasi Pendidikan Dasar dan Dewasa Asia Pasifik Selatan (ASPBAE), Nani Zulminarni, menyampaikan bahwa sejatinya terdapat 6 (enam) situasi di mana seseorang dapat tersingkirkan dari proses pendidikan dan pembelajaran sepanjang hayat.

Adapun 6 situasi tersebut terdiri dari gender dan usia, disability dan diffability, status sosial, lokasi, metodologi dan pendekatan, serta topik dan fokus. Keenam situasi ini membuatnya sependapat dengan yang disampaikan oleh Kepala Perpusnas bahwa paradigma perpustakaan harus berubah ke arah untuk lebih mampu menjawab kebutuhan masyarakat.

“Pustakawan harus bisa mensupport proses belajar melalui buku, cerita, data, informasi yang ada di perpustakaan, juga termasuk hasil-hasil riset menjadi sumber pembelajaran pendidikan bagi masyarakat yang lebih inklusif. Ungkapan ‘Education is not limited to school’ harus dimaknai sebagai proses belajar yang sepanjang hayat,” pungkas Nani.

Reporter: Basma Sartika

Fotografer: Ahmad Kemal Nasution

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung