Medan Merdeka Selatan, Jakarta – Alkisah di suatu hari, seorang anak mengumpulkan semua selimut dari dalam lemari lalu menata sedemikian rupa di kamarnya. Ujung yang satu diikatkan ke jendela, ujung yang satu dikaitkan ke tiang lampu, dan ujung-ujung lainnya disangkutkan sembarangan begitu saja kemana-mana. Kain-kain selimut yang lain saling tumpang tindih dan diikatkan ke sana kemari. Berbagai boneka binatang berjajar di sekelilingnya. Apa yang sedang ia lakukan? Ternyata, saat itu anak tersebut “sedang berada” di gurun pasir yang luas, berpetualang bersama hewan-hewan yang menjadi kawannya.
Kisah diatas memantik keseriusan ratusan anak-anak yang memadati panggung utama Festival Dongeng Internasional, Sabtu, (4/11). Mereka tampak konsen mendengarkan cerita tersebut sampai usai. Dari situ mereka mulai membayangkan kondisi sesuai yang mereka dengarkan. Kemampuan anak-anak berimajinasi adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa. Dengan berimajinasi, setiap anak akan terus menumbuhkan kemerdekaan belajar. Dongeng atau cerita bisa “membawa” anak ke mana saja. Dari situ imajinasi berkembang. Kemampuan berimajinasi adalah cara mengembangkan kreativitas anak dan mendorongnya untuk belajar efektif dan menjadi cerdas di masa depan. Festival Dongeng Internasional Indonesia (FDII) 2017 adalah salah satu cara mengkampanyekan kegiatan mendongeng berbagai penjuru Indonesia.
FDII 2017 mengangkat tema ‘Cerita Ajaib’. “Dari cerita-cerita ajaib, kami berharap anak-anak Indonesia akan mampu berimajinasi seluas-luasnya dan mengembangkan kreativitasnya. Disinilah peran orang tua dan guru untuk menunjukkan keajaiban sebuah cerita kepada anak-anaknya,” ujar Ariyo Zidni, Direktur FDII dan pendiri komunitas Ayo Dongeng Indonesia. FDII menampilkan para pendongeng nasional dan internasional, seperti Ariyo Zidni dan Rona Mentari (Indonesia), Kiran Shah (Singapura), Seung Ah Kim (Korea Selatan), Craig Jenkins (Inggris), Tanya Batt (Selandia Baru), dan Uncle Fat (Taiwan).
Perpustakaan Nasional melalui Deputi Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Woro Titi Haryati, memberikan apresiasi terhadap event FDII 2017. Perpustakaan Nasional sangat terbuka bagi seluruh pengembangan literasi, termasuk didalamnya kegiatan mendongeng. Budaya tutur menjadi budaya yang melekat di Indonesia. Budaya orang tua menceritakan sebuah cerita pada anak-anaknya menjelang tidur adalah suatu hal yang jamak walaupun intensitasnya sudah banyak berkurang. “Cerita-cerita rakyat yang sarat dengan pesan baik menjadi interaksi yang dahsyat antar generasi sejak nenek moyang,” ujarnya.
Lewat dongeng, pesan-pesan bijak orang tua melekat pada anak-anak sebagai generasi penerus. Anak-anak dapat belajar tentang nilai-nilai kejujuran, rendah hati, rasa empati, sikap tolong menolong, dan nilai-nilai baik lainnya. Dongeng membantu dapat membantu anak untuk berimajinasi. Imajinasi sangat penting bagi perkembangan daya pikir anak. Imajinasi akan membantu anak untuk berpikir kreatif dalam menghadapi dan merencanakan penyelesaian masalah yang dihadapi. Pada saat mendengarkan dongeng, pikiran anak akan terangsang untuk menggambarkan situasi seperti yang ia dengar. Kosa kata yang didengar akan memperkaya tabungan kata yang dimiliki dan membantu anak-anak mudah mengekspresikan perasaaan atau apapun yang dipikirkan. “Hasilnya, anak akan lebih terampil berkomunikasi secara lisan dengan orang di sekitarnya,” tambah Deputi II Perpusnas.
Pada kesempatan yang sama, komunitas Ayo Dongeng Indonesia memberikan “Penghargaan Dongeng Indonesia” kepada (alm) Wachidus Sururi atau dikenal dengan Kak Wees atas idenya mendirikan Rumah Dongeng, dan (alm) Ki Ledjar Subroto atau dikenal dengan Mbah Ledjar yang mempopulerkan Dongeng Wayang Kancil.
Reportase : Hartoyo Darmawan