Badung, Bali - Peningkatan kompetensi pustakawan penting digalakkan agar senantiasa berkembang mengikuti perkembangan zaman. Terlebih lagi pustakawan bertugas menyalurkan pengetahuan kepada masyarakat. Untuk itu, menguasai teknologi terutama artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan merupakan suatu keharusan.
Seperti itu sabda Guru Besar Manajemen FEB Universitas Udayana I Wayan Gede Supartha dalam Rakerpus XXV dan Seminar Ilmiah Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Hotel Four Points, Badung, Bali pada Senin (8/7/2024).
“Pertanyaannya, apakah atasan mewajibkan pegawainya untuk mengukuti peningkatan kompetensi setiap tahun? Bagusnya setiap tahun ada anggaran untuk itu dan untuk hak kekayaan intelektual,” tegasnya.
Ia melanjutkan, berdasarkan data LSP Pustakawan 2020-2022, jumlah penerima sertifikat kompetensi di tahun 2022 mencapai 1.249 pustakawan, artinya meningkat drastis dibandingkan 311 pustakawan di tahun 2020. “Kenaikan ini menunjukkan kesadaran pustakawan untuk mengembangkan diri, meskipun masih banyak yang memilih unit kompetensi di luar lingkup teknologi informasi dan komunikasi,” jelasnya.
Menyeimbangi era digital, ia mengutarakan bahwa salah satu kompetensi yang mesti dikuasai pustakawan adalah kecerdasan buatan, yang meliputi pembelajaran, penalaran, pemecahan masalah, persepsi, dan bahasa.
“Tantangan dalam mengadopsi kecerdasan buatan yaitu kecenderungan malas untuk mendalami berbagai hal. Bagaimana jika di perpustakaan? Masih banyak orang berkunjung ke perpustakaan? Saya katakan masih namun kebanyakan melalui layanan digital, jadi tidak harus berkunjung ke perpustakaan,” sambungnya.
Ia juga menjabarkan tantangan lainnya yaitu ketersediaan sumber daya yang terbatas, kebutuhan akan pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan, dan kekhawatiran privasi dan etika.
Sependapat, Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Fuad Gani ikut bersuara mengenai beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memahami dan memanfaatkan kecerdasan buatan. Antara lain luaran yang bias, misinformasi dan disinformasi, interaksi toksik, serta risiko privasi.
“Pustakawan harus memahami teks dan konteks yang diberikan oleh AI, karena kecerdasan buatan tidak selalu benar dan mengandung bias agama, contohnya bias agama hindu,” ungkapnya.
Menurutnya, pustakawan berperan penting dalam mengatasi dan memitigasi dampak negatif kecerdasan buatan dengan mempromosikan literasi digital, mengkurasi sumber daya yang andal, mengadvokasi kecerdasan buatan yang etis, menawarkan pelatihan dan lokakarya, berkolaborasi dengan ahli teknologi, serta menciptakan ruang daring yang aman.
“Dalam aspek hukum, pustakawan juga perlu memahami peraturan dan kebijakan terkait manajemen informasi, hak cipta, hak privasi, serta kewajiban penyimpanan dan penghapusan data,” tuturnya.
Dengan demikian, Fuad yakini pustakawan dapat menggunakan kecerdasan buatan dalam layanan perpustakaan secara etis, legal, dan menghormati hak-hak individu. “Ini pasti akan membangun kepercayaan masyarakat terhadap layanan perpustakaan dalam jangka panjang,” tukasnya.
Turut serta memaparkan materi, Ketua Asosiasi Perpustakaan Perguruan Tinggi Islam (APPTIS) Labibah Zain menyoroti peran penting perpustakaan dalam menyediakan solusi bagi masyarakat.
“Perpustakaan itu bukan lagi asesoris tapi solusi dari permasalahan masyarakat sekitar. Jadi perpustakaan kita ini sudah menjawab masyarakat atau belum? Kalau tutup dan tidak banyak yang protes berarti keberadaan perpustakaan itu belum solutif,” lugasnya.
Paradigma demikian yang baginya harus digiring untuk memperbarui kurikulum perpustakaan madrasah yang beragam. Ia menghubungkan dengan tantangan alumni ilmu perpustakaan, yakni kemampuan untuk mengelola perpustakaan di mana pun mereka ditempatkan.
“Di PTKIN, terdapat 29 program studi ilmu perpustakaan dengan kekhasan pada kajian keislaman dan budaya lokal, ini jadi tantangan bagaimana calon pustakawan bisa menghidupkan perpustakaan yang masih berkembang,” pungkasnya.
Reporter: Alditta Khoirun Nisa
Dokumentasi: Prakas Agrestian / Kemal Ahmad