Senayan, Jakarta–Karya cetak dan karya rekam (KCKR) merupakan aset budaya bangsa yang harus terdokumentasi dengan baik. KCKR berperan sebagai tolok ukur kemajuan intelektual bangsa, referensi dalam bidang pendidikan, pengembangan Iptek, penelitian, pelestarian maupun penyebaran informasi. Sayangnya, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang KCKR yang menjadi payung hukum dalam penghimpunan belum terlaksana dengan optimal karena kesadaran penerbit, produsen karya rekam dan masyarakat masih kurang. Usia Undang-undang yang sudah lebih dari 27 tahun dirasa sudah tidak efektif menghimpun segala jenis KCKR apalagi untuk mengakomodasi dinamika masyarakat dan perkembangan Iptek. Pertimbangan tersebut yang menjadi dasar pertimbangan UU KCKR ini harus diganti.
Komisi X DPR-RI bersama Perpustakaan Nasional sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam mengembangkan koleksi nasional terus berpacu menyusun draft Rancangan Undang-undang (RUU) Serah Simpan KCKR menggantikan UU KCKR yang lama. RUU Serah Simpan disusun mengikuti perkembangan jaman dimana karya digital/elektronik juga menjadi objek bagi UU. Proses RUU ini dilakukan Perpusnas melalui sejumlah seminar workshop, dan kunjungan kerja ke sejumlah provinsi, antara lain Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Kep. Riau, Yogyakarta, Jawa Tengah. “Kami memerlukan pengayaan, masukan serta saran agar UU dapat mencakup semua hal yang berkaitan dengan penerbitan, penghimpunan, pengolahan, pendayagunaan, dan pelestarian semua bentuk terbitan sesuai kebutuhan dan kepentingan bersama,” ujar Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando saat membuka Seminar Nasional Penguatan UU Serah Simpan di Jakarta, Kamis, (7/12/2017).
Ferdiansyah, Wakil Ketua Komisi X DPR-RI yang membidani penyusunan RUU Serah Simpan mengatakan RUU KCKR sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019. Dan ini menjadi hak inisiatif dari Dewan. “Jika ini sudah selesai, maka draft RUU ini akan dikirim ke Presiden untuk menugaskan perwakilan yang ditunjuk untuk membahas RUU ini lebih lanjut,” katanya. Komisi X beranggapan perubahan sosial, budaya dan Iptek menjadi dasar kebutuhan bangsa dan masyarakat. Perubahan itu juga mencakup soal bagaimana kebutuhan informasi apapun bisa dicari lewat media online. Saat ini menurut data yang dipegang pihaknya, sudah ada 140 media online yang aktif. Artinya, secara teknologi informasi, Perpusnas sanggup tapi belum tentu secara SDM. “Jika tugas dan fungsi Perpusnas mengikuti yang diamanahkan oleh UNESCO perihal Legal Deposit, dimana seluruh terbitan KCKR harus disimpan, maka saya kira perlu ada restrukturisasi kelembagaan Perpusnas,” lanjut Ferdiansyah.
Seminar nasional penguatan RUU Serah Simpan diikuti oleh 150 peserta dari berbagai penerbit, pustakawan, pengusaha rekaman, IKAPI, Lembaga Sensor Film (LSF), asosiasi perfilman, asosiasi penyanyi dan pencipta lagu, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), ASIRI, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Dinas-dinas perpustakaan di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Reportase : Hartoyo Darmawan