Salemba, Jakarta—Indonesia benar-benar surganya pelaku digital. Bayangkan, dari total 272 juta penduduk Indonesia, hand phone yang beredar sebanyak 338 juta. Artinya setiap penduduk ada yang memiliki lebih dari satu ponsel. Bahkan, 175 juta penduduk Indonesia aktif di media sosial lebih dari tujuh jam. Namun, sadarkah bahwa bermain digital tanpa dibarengi kecakapan digital (literasi digital) sanggup menjadikan seseorang menjadi pribadi yang rentan termakan hoaks.
Duta Baca Indonesia Najwa Shihab dalam kesempatan Webinar ‘Literasi Digital di Masa Pandemi’ yang diadakan Perpustakaan Nasional pada Jumat, (25/9), mengakui bahwa banyak orang menyukai membaca lewat digital. Karena hanya cukup bermodalkan perangkat HP, dan masuk dari berbagai lini masa media sosial, semisal Face Book. Â
Padahal membaca melalui visual seperti itu selain bisa berdampak pada kelelahan pada mata, juga mengakibatkan konsentrasi tidak utuh karena teralu banyak muncul notifikasi (iklan) ketika membaca.
“Informasi yang terserap menjadi tidak utuh,†jelas Najwa Shihab.
Parahnya lagi, dari data yang disebutkan diatas, masyarakat Indonesia salah satu negara yang paling aktif di media sosial. Apalagi dalam urusan berkomentar di media sosial. Padahal, media sosial memiliki kerentanan cukup parah dalam penyajian informasi. Banyak kedustaan. Jika ini tidak disadari, menyebabkan manusia akan sulit berpikir kritis.
“Inilah yang dialami bangsa Indonesia. Rendah dalam kemampuan berpikir kritis akibat lebih percaya pada internet,†jelas Nana.
Berpikir kritis merupakan bagian dari literasi digital. Yang sayangnya belum bisa digunakan secara maksimal. Sedari pendidikan dasar, anak-anak lebih sering diajari kemampuan menghafal. Padahal kemampuan menghafal hanyalah sedikit dari kemampuan otak yang bisa dioptimalkan.
Literasi digital mengajarkan manusia sadar dengan data (data awareness), berkemampuan menganalisa data sehingga mampu mencerna informasi yang masuk, dan mampu untuk fokus.
“Literasi digital bukan sekedar cakap teknologi. Piawai bikin content tik-tok dan sebagainya. Â
Sementara itu, Pustakawan Utama Perpusnas Sri Sumekar mengatakan bahwa pelaku digital sebagian besar adalah para milenial. Dan saat ini perpustakaan sedang giat melakukan Gerakan Literasi Digital, mengajak peran serta aktif perguruan tinggi.
“Gerakan Literasi Digital sifatnya responsif. Dan sasaran utamanya adalah para milenial,†ujarnya.
Konteks literasi digital sudah menjadi bahasan internasional. International Federation Library Association (IFLA) menyarankan bahwa perpustakaan harus menjadi bagian dari pembangunan nasional berkelanjutan (sustainable development goals/SDG’s) dimana salah satu targetnya pada 2020 adalah peningkatan literasi, inovasi, dan kreatifitas.
Di masa pandemi seluruh fungsi perpustakaan dilakukan melalui digital, seperti penguatan koleksi digital, bantuan buku digital, dan pendirian pondok baca digital (Pocadi).
“Pondok baca digital sudah dimulai sejak 2019. Dan ditargetkan pada 2021 telah mencapai 160 titik,†pungkas Sri Sumekar.
Â
Reportase : Hartoyo Darmawan, Robby Fuji A, Rizki A Gumilar