Makassar, Sulsel—Seiring perkembangan jaman dan teknologi informasi (TI), ilmu dan informasi tidak lagi tersimpan dalam bentuk karya cetak dan karya rekam (KCKR). E-book, e-magazine, dan e-paperyang banyak bermunculan saat ini tidak tertera secara eksplisit dalam UU Deposit Nomor 4 Tahun 1990, sehingga banyak pelaku KCKR yang tidak menyerahkan hasil karyanya kepada Perpustakaan Nasional dan perpustakaan provinsi. Alasan ini yang menjadi dasar Perpusnas dan Komisi X DPR-RI memandang perlu untuk mengganti UU tersebut menjadi RUU tentang serah simpan KCKR dan Karya Elektronik dengan materi perubahan yang cukup mendasar.
Usia UU yang lebih dari 25 tahun dianggap sudah tidak mampu menjawab kemajuan peradaban teknologi informasi. Permasalahan yang acap ditemui, yakni (1) kurangnya kesadaran pelaku serah simpan KCKR untuk menyerahkan karyanya ke Perpusnas dan perpustakaan provinsi, (2) regulasi mengenai serah simpan belum mengikuti kemajuan dan perkembangan di bidang informasi dan teknologi, seperti e-book, e-journal, e-newspaper, dan lainnya, (3) belum mengatur mengenai kewajiban setiap orang yang berasal dari luar negara Indonesia yang melakukan penelitian di dalam negeri untuk wajib menyerahkan KCKR yang dihasilkan tentang segala jenis informasi terkait daerah tertentu di Indonesia, (4) penerapan sanksi dalam UU ini juga belum efektif sehingga perlu dipertimbangkan alternatif sanksi yang dapat menimbulkan efek jera bagi yang tidak mematuhi, (5) perlu pengaturan mengenai kordinasi antara Perpusnas dengan pihak-pihak terkait yang mempunyai kewajiban serah simpan KCKR, dan (6) substansi dan nomenklatur perlu disesuaikan dengan ketentuan peraturan per-UU yang baru, seperti UU Perpustakaan, UU Sistem Perbukuan, UU Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga tersusun pengaturan yang komphrehensif.
“Selama kurun waktu 25 tahun pelaksanaan KCKR belum bisa maksimal sehingga perlu ada kajian dari sisi substansi dan implementasi tentang KCKR,” terang Wakil Ketua Komisi X DPR-RI Sutan Adil Hendra di hadapan ratusan peserta workshop UU Serah Simpan KCKR di Makassar, Selasa, (21/11).
RUU Serah Simpan KCKR dan Karya Elektronik memuat tujuh Bab dan 42 Pasal. Titik berat RUU tersebut mengatur mengenai bidang informasi, dokumentasi, proteksi dan kesejahteraan. Kesemuanya menunjang penelitian dan pengembangan Iptek, urai Sutan yang sekaligus sebagai Ketua Tim Panja RUU.
Informasi yang dimaksud dalam RUU agar terciptanya penyelenggaraan penyebaran informasi dan pengetahuan yang merata ke seluruh Indonesia yang menunjang pembangunan Pendidikan, penelitian, serta pengembangan Iptek. Dokumentasi dimaksudkan sebagai sarana penyimpanan dokumen karya cetak, karya rekam, dan karya elektronik yang bersejarah.
Proteksi dalam RUU ini diartikan sebagai cita-cita untuk mewujudkan koleksi nasional, menyelamatkan KCKR dari ancaman bahaya yang disebabkan oleh alam atau perbuatan manusia. Dan kesejahteraan dimaksudkan agar segala bentuk KCKR dan karya elektronik bisa menjadi sarana promosi bagi penerbit, produser rekaman, maupun film.
Workshop UU Serah Simpan KCKR dimaksudkan untuk mendengar berbagai masukan dari masyarakat sebelum nantinya dijadikan Undang-undang yang baru. Workshop diselenggarakan serentak di tiga kota, yakni Palembang, Surabaya, dan Makassar. Wokrshop melibatkan seluruh kepala perpustakaan di Kabupaten/Kota, para penerbit, pengusaha rekaman dan film, para pegiat perpustakaan dan informasi, akademisi, pustakawan, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Asosiasi Pengusaha Rekaman Indonesia (ASIRI), dan Serikat Perusahaan Pers (SPS).
Reportase : Hartoyo Darmawan