Bangkit Dari Pandemi Dengan Literasi

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Webinar "Bangkit dari Pandemi dengan Literasi"

Oleh: Suprawoto (Bupati Magetan)

Pada Sabtu, 6 Juni 2020, tiba-tiba saya mendapat pesan melalui WhatsApp sekaligus surat, yang isinya diminta menjadi salah satu narasumber dalam webinar nasional. Saya tidak terlalu tahu alasannya mengapa ditunjuk menjadi salah satu narasumber. Namun dugaan saya, salah satu alasannya karena aktivitas dalam kegiatan literasi. Tidak hanya akhir-akhir ini atau selama menjadi bupati, namun sudah puluhan tahun kegiatan ini dilakukan.

Ketertarikan saya menulis terinspirasi dari tulisan Anton Tabah di pelbagai media nasional berpengaruh. Anton Tabah adalah seorang polisi yang pada era talitsn 1980-an, namun bukan dari akademi. Yang bersangkutan dari wajib kerja sarjana. Yang membuat menarik saya, dalam setiap tulisan yang khusus membela atau menulis tentang polisi ditulis dengan amat menarik.

"Tidak terasa pembaca sangat terbawa pada logika berpikirnya. Dan saya yakin, karena keterampilan menulisnya, pada akhirnya dikenal oleh pimpinan tinggi Polri. Malah dalam kaiernya, sempat menjadi Kapolres Klaten. Hanya sedikit perwira polisi yang menjadi Kapolres bukan dari didikan akademi. Kemudian saya juga ingat akademisi sekaligus kolumnis dari Universitas Airlangga (Unair), (alm) Prof. Soetandyo Wingjosoebroto, MPA.

Pada awal 1980-an beliau belum terkemuka dalam pemikiran tingkat nasional. Namun, ketika beliau mulai sering menulis di harian nasional terkemuka di Jakarta dan gagasannya dibaca banyak kalangan namanya lantas mencuat di tingkat nasional. Tidak mengherankan kemudian sering diundan menjadi pembicara di seminar hukum, hak asasi manusia, politik, dan sebagainya. Setiap gagasannya menjadi rujukan para akademisi, birokrasi aktivis dan bahkan masyarakat sekalipun.

Karena kepakarannya, pendiri Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair, sangat menginspirasi saya dalam menulis. Bisa menembus ruang dan waktu. Itulah hebatnya seorang yang tingkat literasi yang tinggi. Kalau literasi kita maknai sebagai kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Namun, saat ini batasan itu telah berkembang luas. Ada yang menggunakan di pelbagai bidang keilmuan.

Seperti literasi media, literasi komputer dan sebagainya. Saya memaknai literasi sesuai batasan awal, ketertarikan saya pada dunia ini, khususnya tulis menulis ketika pada 1986 sewaktu bekerja di Surabaya. Ketika itu kebetulan sudah menjabat sebagai Kepala Subbagian. Saya mencoba menulis di beberapa media harian di Surabaya. Dan kebetulan langsung dimuat. Di antaranya di Jawa Pos yang kala itu manajemennya baru diambil alih oleh Tempo Group.

Namun, kegiatan menulis semasa itu belum rutin saya lakukan. Tetapi keinginan itu tidak pernah padam. Hanya karena awal perjuangan dengan keluarga baru dan kesibukan di kantor akhirnya aktivitas tulis menulis saya fokuskan pada media kantor yang memang saat itu sebagai Kepala Bidang yang membawahi media. Sehingga setiap saat wajib mengisi rubrik dan sekaligus mengoreksi sebelum media diterbitkan. Apalagi di era Orde Baru, ada kesalahan sedikit saja sebuah kalimat akan menjadi persoalan yang sangat panjang. Dan bisa jadi mengakhiri karir seseorang karena hanya salah tulis apabila makna dari sebuah tulisan tidak sesuai dengan politik pers di era itu.

Jika kita melihat media saat ini apalagi di media sosial, sangat jauh sekali dari nilai-nilai yang dicita-citakan para pegiat literasi. Sebuah fakta dinarasikan dan dibuat putar balik. Sebuah peristiwa yang terekam di audio visual sengaja diedit sedemikian rupa sehingga jauh dari fakta yang sebenarnya. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 saat ini, sudah semestinya semua bersatu padu untuk menghadapi cobaan ini.

Faktanya dapat kita lihat bahwa tidak ada seorang pemimpin yang paling hebat dalam menghadapi pandemi ini. Semua diperlukan kerja sama semua pihak. Baik pemerintah, masyarakat, organisasi-organisasi apapun. Namun, ternyata di negeri ini masih banyak yang memperkeruh ditengah pandemi ini. Kesadaran itu yang kemudian dicoba diangkat dalam Webinar yang diprakarsai oleh Bappenas dan Perpustakaan Nasional dengan tema "Bangkit dari Pandemi dengan Literasi."

Dengan perkembangan teknologi digital juga muncul dampak negatifnya. Masyarakat selain menerima informasi juga bisa memproduksi informasi. Bahkan persoalan bisa jadi malahan bergeser. Awalnya  ancaman Covid-19 boleh dikatakan sebagai krisis kesehatan, namun kini telah bergeser menjadi bencana moral. Indikatomya dapat terlihat, misalnya dengan adanya misinterpretasi atau salah kaprah atas kebijakan PSBB di tingkat paling bawah yang pada gilirannya menimbulkan xenofobia dan "moral panic" berlebihan di masyarakat.

Banyak kasus terjadi. Penolakan kepada seseorang yang meninggal karena terpapar Covid-19 untuk dimakamkan di wilayahnya. Apalagi yang meninggal karena penyakit ini pada awal-awal merebaknya. Pengucilan orang yang terkana covid-19. Bahkan yang sudah sembuh juga ditakutkan. Dengan fakta tersebut, pada akhirnya bisa jadi bencana sesungguhnya yang dirasakan masyarakat bukan lagi pada fakta penularan Covid-19, tetapi adanya realitas "banjir bandang informasi" yang menyesatkan, terutama melalui grup WhatsApp dan media sosial. Sungguh kita merasakan semuanya. Menjadikan begitu kaburnya antara informasi yang valid dan yang tidak sama sekali. Malahan informasi hoaks bertebaran dan malahan jadi viral.

Bagi masyarakat yang terdidik, informasi demikian masih punya filter. Yang dikhawatirkan dan saya yakin malahan lebih banyak yang belum terdidik. Atau dalam bahasa literasi belum melek literasi media. Informasi yang bertebaran di medsos dianggap benar semua. Bahkan ikut memperbanyak. Apalagi informasi itu sesuai dengan keyakinannya. Atau sejalan dengan aliran politiknya.

Kerisauan itulah yang akan dibedah dalam webinar nasional dengan tema tersebut. Banyak narasumber yang diharapkan hadir melalui virtual tersebut. Bahkan acara webinar tersebut akan dibuka sekaligus pembicara kunci Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Manoarfa. Dan didahului pengantar dari Deputi PMMK Bappenas, Subandi Sardjoko. Sedangkan narasumber diskusi, antara lain Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando, dengan topik 'Kenormalan Baru Perpustakaan dan Pemulihan Sosial Ekonomi', Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dengan topik 'Literasi untuk Meningkatkan Kualitas SDM dan Kesejahteraan'. Dan praktisi media, Helmi Yahya dengan topik 'Literasi Digital Dalam Kenormalan Baru'. Dan saya sendiri, Bupati Magetan, Suprawoto, dengan topik Penguatan Literusi Daerah untuk Penanggulangan Dampak Covid-19. Sebagai moderator Webinar adalah Pemimpin Redaksi Indosiar dan SCTV, Retno Pinasti. Tentu banyak pengalaman yang bisa dipetik dalam webinar ini, utamanya dari Gubernur DKI akan banyak informasi yang dapat digali. Mengingat DKI Jakarta sebagai barometer penanganan Covid-19, dan daerah yang pertama menerapkan PSBB.

Demikian juga saya sendiri banyak hal yang bisa saya sampaikan, mengingat Kabupaten Magetan termasuk kelompok yang pertama bersama daerah lain seperti Surabaya, Malang, dan Magetan, khusus wilayah di Jawa Timur. Menariknya, Webinar yang diadakan 17 Juni 2020, jam 14.30 diikuti oleh 1.000 peserta dan telah terpenuhi dalam waktu yang sangat singkat. Ini menunjukkan salah satu atusiasme masyarakat terhadap adanya webinar literasi di tengah Covid-19 ini. Mudah-mudahan antusiasme peserta, hasilnya juga berbanding lurus dengan bangkitnya masyarakat dari keterpurukan pandemi. Aamiin.

PerpusnasPerpustakaan NasionalBuku TerbaruPerpusnas RIPerpustakaan Nasional Republik IndonesiaKoleksi Digital

Hak Cipta 2022 © Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jumlah pengunjung